kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Banjir di Aceh Tenggara, Walhi Aceh: Bukti Kerusakan Hutan Semakin Parah

Banjir di Aceh Tenggara, Walhi Aceh: Bukti Kerusakan Hutan Semakin Parah

Rabu, 15 November 2023 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Banjir yang melanda Kabupaten Aceh Tenggara dalam sepekan terakhir ini membuktikan bahwa kerusakan tutupan hutan semakin parah dan kritis. Baik itu akibat penabangan liar, perkebunan sawit hingga pembukaan jalan baru, seperti pembangunan jalan tembus dari Jambur Latong, Kutacane sampai perbatasan Sumatera Utara.

Kadiv Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Afifuddin Acal mengatakan, kabupaten yang sering banjir merupakan daerah yang tingkat kerusakan hutan masif. Secara alami, setiap akhir tahun intensitas hujan di Aceh memang tinggi, tetapi karena kondisi lingkungan yang kritis, memicu bencana, baik banjir bandang, banjir dan longsor maupun berbagai jenis lainnya.

Selain itu, WALHI Aceh juga menilai pemicu banjir juga akibat adanya pembukaan jalan baru yang dapat memicu illegal logging maupun konflik satwa dan kejahatan lingkungan lainnya. Dengan adanya jalan tersebut para perambah hutan semakin mudah untuk mengakses kawasan hutan untuk menebang kayu.

“Intensitas banjir yang terjadi di Aceh Tenggara sepakan ini membuktikan bahwa kerusakan hutan semakin masif terjadi di Aceh Tenggara,” kata Afifuddin Acal, Rabu (15/11/2023).

Berdasarkan data yang dirilis Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Selasa (14/11/2023) pukul 20.00 WIB, ada 14 kecamatan, 50 desa terdampak banjir di Aceh Tenggara. Banjir terjadi setelah curah hujan dengan intensitas sedang hingga tinggi yang mengguyur sejak pukul 19.00 WIB, mengakibatkan meluapnya sejumlah sungai di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara.

Dampaknya sejumlah ruas jalan nasional di Aceh Tenggara terendam lumpur dan permukiman warga ikut terendam setinggi 20 cm - 30 cm. Hingga sekarang dilaporkan banjir masih menggenang, kendati mulai surut pelan-pelan.

Ada korban terdampak banjir kali ini di Aceh Tenggara mengakibatkan seorang anak berusia 2 tahun meninggal dunia di Desa Pasir Puntung, Kecamatan Semadam. Sedangkan lainnya ada 2 orang mengalami luka-luka di desa yang sama.

”Ini banjir menjadi persoalan klasik, tetapi hanya direspons saat kejadian. Sementara mitigasi diabaikan, padahal kejadian setiap akhir tahun selalu kejadian, pemerintah terkesan macam tidak peduli, padahal bisa berkaca pengalaman setiap tahunnya,” katanya.

Kata Afif, seharusnya Aceh Tenggara itu harus dilestarikan hutannya dengan baik. Mengingat dari luas wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, 92 persen masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi. Berdasarkan SK 580 total luas wilayah Aceh Tenggara 414.664 hektar, 380.457 hektar di antaranya adalah KEL. 

Menurut Afif, wajar banjir terus terjadi di Aceh Tenggara selama ini setiap curah hujan tinggi. Karena kerusakan hutan, khususnya yang masuk dalam KEL terus terjadi. Hutan alam terus ditebang, sehingga mengakibatkan daya dukung tanah menurun, sehingga terjadilah berbagai bencana ekologi.

Berdasarkan SK 580, luas KEL di Aceh Tenggara awalnya 380,457 hektar, terus mengalami penyusutan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Sisa KEL pada 2022 hanya 326,048 hektar, ada terjadi penyusutan seluas 54,409 hektar

“Artinya 14.30 persen itu hilang tutupan hutan di KEL yang ada di Aceh Tenggara. Makanya banjir terus terjadi dan kondisi ini terus terjadi berulang kali setiap akhir tahun, pemerintah macam gak ada solusi apapun,” jelasnya.

Menurut Afif, padahal KEL merupakan salah satu hamparan hutan hujan tropika terkaya di Asia Tenggara, serta lokasi terakhir di dunia yang ditempati gajah sumatera, badak sumatera, harimau sumatera, dan orang utan sumatra dalam satu area.

Parahnya kerusakan tutupan hutan di Aceh Tenggara mayoritas terjadi dalam Hutan Lindung (HL) dan Taman Nasional (TN) yang seharusnya dijaga dan dilindungi. Dampaknya saat musim hujan dengan intensitas tinggi, banjir dengan mudah terjadi, karena daya tampung semakin berkurang karena hutan sudah gundul.

Hutan Lindung di Aceh Tenggara berdasarkan SK 580 seluas 79.267 hektar, sekarang tersisa hanya 68.218 hektar. Artinya pada 2022 terjadi kehilangan tutupan hutan di kawasan ini seluas 11.049 hektar, hampir dua kali lipat luasan kota Banda Aceh.

Kemudian Taman Nasional (TN) di Aceh Tenggara awalnya luasan 278.205 hektar, sekarang tersisa 257.610 hektar, artinya telah terjadi kehilangan 20.595 hektar pada 2022 atau hampir setara 4 kali luasan kota Banda Aceh.

“Kondisi hutan di Aceh Tenggara terus menyusut setiap tahunnya sejak 2014 lalu, ini yang kemudian menjadi pemicu mudah terjadi banjir bila hujan lebat melanda,” kata Afifuddin Acal.

Katanya, bila hutan terus ditebang dan suatu wilayah dilanda curah hujan yang tinggi sehingga menyebabkan luapan air yang berlebih. Padahal pohon memiliki fungsi menyerap air untuk mencegah banjir.

“Pohon itu memiliki peran penting untuk mencegah banjir, terutama banjir bandang, karena pohon sebagai penghalang air banjir, sehingga air meresap dan banjir dapat teratasi. Jadi kalau hutan sudah gundul, tidak ada lagi yang menahan air,” jelasnya.

Sehingga tidak mengherankan saat curah hujan tinggi terjadi banjir, khususnya di Aceh Tenggara dampak dari kehilangan tutupan hutan terus terjadi. Begitu juga di beberapa daerah lainnya, bila musim hujan tiba banjir tidak dapat dihindari, karena banyak hutan sudah gundul. 

Oleh sebab itu, WALHI Aceh mendesak pemerintah Aceh memproteksi kerusakan hutan di Aceh Tenggara yang terus terjadi setiap tahunnya. Begitu juga tidak membuka jalan baru, cukup memaksimalkan jalan yang sudah ada dengan memperbaiki agar mudah dilalui.

Karena bila ada jalan tembus baru dibangun semakin memantik pembalakan liar yang berakibat fatal terhadap kondisi lingkungan di Aceh Tenggara. Selain berdampak terjadinya banjir, juga mengakibatkan konflik satwa karena habitat dan koridor terganggu dan kejahatan lingkungan lainnya.

Berdasarkan pengamatan WALHI Aceh, Aceh Tenggara memiliki riwayat banjir yang tinggi dibandingkan daerah lainnya. Ini tidak terlepas masih terjadi sengkarut ruang yang harus secepatnya diperbaiki.

Jika merujuk pada Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Aceh Tenggara, Nomor 1 tahun 2013 tahun 2013 “ 2033, lima kecamatan yang dilanda banjir berada dalam Wilayah Sungai Strategis Nasional Alas “ Singkil yang meliputi Daerah Aliran Sungai (DAS) Singkil mulanya seluas 1,241,775 hektare.

Namun celakanya, kurun waktu 10 tahun terakhir kerusakan DAS Singkil ini semakin kritis dan membutuhkan perbaikan segera. Faktanya, sisa tutupan hutan pada 2022 sekarang hanya 421,531 hektar, artinya ada terjadi kehilangan 820,244 hektar selama satu dekade terakhir.

Sekarang sisa tutupan hutan di DAS Singkil tersebut hanya tersisa 61 persen, selebihnya sudah rusak parah.

Menurut Afif, semakin sengkarut ruang di Aceh Tenggara yang berdampak serius terhadap bencana terus terjadi bisa dilihat dalam qanun tata ruang. Ada lima kecamatan yang sering dilanda banjir tidak masuk dalam sistem pengendali banjir dan sistem pengamanan sungai. 

Artinya, Kabupaten Aceh Tenggara memiliki masalah dalam konteks pengaturan ruang, tidak heran kemudian jika bencana banjir bandang menjadi agenda tahunan, bahkan berpotensi terjadi beberapa kali dalam setiap tahun.

“Sudah saatnya Aceh Tenggara memasukkan mitigasi bencana banjir dalam merevisi qanun tata ruang kabupaten sebagai salah satu solusi untuk menanggulangi bencana banjir dalam jangka panjang,” kata Afif.

Menurut Afif, Qanun Aceh No 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh tahun 2013 “ 2033 sekarang sedang direvisi. Pemerintah Aceh Tenggara dapat mengambil peluang ini untuk menyinkronkan tata ruang kabupaten dengan provinsi terkait kepentingan penanggulangan bencana banjir.

Selain itu, WALHI Aceh juga mengajak warga yang tinggal di daerah yang rawan bencana alam, baik itu banjir maupun lainnya agar selalu waspada. Penting warga untuk adaptif terhadap berbagai bencana ekologi, baik saat kejadian bencana maupun sebelum bencana terjadi. 

Seperti mempertimbangkan aspek bencana dalam pemanfaatan ruang, pembangunan rumah dan infrastruktur lainnya. Termasuk untuk pemanfaatan lahan harus dipertimbangan aspek bencana, jangan sampai hutan terus menyusut yang berdampak menurunnya daya dukung tanah. 

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda