DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Yayasan APEL Green Aceh kembali mengingatkan publik dan pemerintah tentang tragedi hukum lingkungan terbesar di Aceh: kasus PT Kallista Alam (PT KA) yang merusak Rawa Tripa.
Meski Mahkamah Agung (MA) sejak 2015 telah menjatuhkan putusan final dengan kewajiban denda dan pemulihan lingkungan mencapai Rp366 miliar, hingga kini eksekusi penuh putusan itu masih mangkrak.
Direktur Eksekutif APEL Green Aceh, Syukur Tadu, mengatakan pihaknya bersama jaringan masyarakat sipil telah melayangkan surat resmi kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menuntut penjelasan terkait isu perdamaian dengan PT Kallista Alam.
Ia menilai, jika benar ada kesepakatan yang meringankan kewajiban perusahaan, maka hal itu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap hukum dan merampas hak publik atas lingkungan hidup yang sehat.
“Sudah cukup lama rakyat dan alam menunggu keadilan. Jika putusan pengadilan dibahasakan ulang melalui perdamaian yang meringankan korporasi yang sudah terbukti perusak, itu sama saja merampas hak masyarakat dan mengkhianati hukum lingkungan di Indonesia. Rawa Tripa bukan sekadar lahan gambut; ia adalah rumah orangutan, habitat satwa dilindungi, dan benteng alami kita menghadapi krisis iklim,” tegas Syukur kepada media dialeksis.com, Jum'at, 22 Agustus 2025.
APEL Green Aceh menyampaikan KLHK diminta menjelaskan secara terbuka dasar hukum, bentuk, serta substansi kesepakatan dengan PT KA, agar masyarakat tidak merasa dikaburkan oleh proses yang dilakukan di belakang meja.
Selain itu, Setiap langkah yang mengurangi kewajiban pemulihan lingkungan dinilai mencederai rasa keadilan masyarakat, khususnya korban langsung di Rawa Tripa. Hal itu juga melemahkan preseden hukum penting yang seharusnya menjadi pijakan penegakan hukum lingkungan di Indonesia.
Syukur menekankan pemulihan harus menjadi prioritas, sesuai mandat UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Prosesnya mesti melibatkan masyarakat lokal, akademisi, dan pemerintah daerah, agar transparan dan akuntabel.
“Eksekusi putusan pengadilan bukanlah opsi, melainkan kewajiban. Setiap langkah perdamaian yang melemahkan kewajiban korporasi perusak hanyalah penyiksaan tambahan terhadap alam dan masyarakat yang terdampak,” ujar Syukur.
APEL Green Aceh bersama jaringan masyarakat sipil juga melaporkan keterlambatan eksekusi putusan perkara PT KA ke Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawasan MA (Bawas MA).
Alih-alih menjadi momen kebanggaan, perayaan itu justru dinilai mencoreng wajah peradilan. Selama 9 tahun, putusan yang sudah inkrah tidak dijalankan secara tuntas, padahal PT KA dijatuhi kewajiban membayar Rp114,3 miliar sebagai ganti rugi materiil dan Rp251,7 miliar untuk pemulihan lingkungan, serta uang paksa Rp5 juta per hari akibat keterlambatan.
“Putusan ini adalah tonggak sejarah penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Tapi jika 9 tahun tidak dieksekusi, maka pesan keadilan itu menjadi hampa,” ungkap Syukur.
Rawa Tripa, yang berada di pesisir barat Aceh, adalah bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Ia dikenal sebagai salah satu lahan gambut tropis terkaya di dunia, habitat penting bagi orangutan sumatra, harimau sumatra, dan berbagai spesies langka lainnya. Selain itu, rawa ini memiliki peran global sebagai penyerap karbon alami yang vital untuk mencegah krisis iklim.
Namun, kerusakan akibat pembakaran dan pembukaan lahan oleh PT KA mempercepat degradasi kawasan. Tanpa pemulihan serius, lahan gambut yang rusak akan terus melepaskan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar, menimbulkan banjir, kekeringan, hingga menghilangkan sumber penghidupan masyarakat pesisir.
APEL Green Aceh mengingatkan adanya indikasi “perdamaian” di luar amar putusan yang menjadi alasan penghambat eksekusi. Jika benar, hal ini bertentangan dengan asas keterbukaan hukum dan berpotensi merugikan kepentingan publik.
“Kami khawatir ada upaya ‘mengaburkan’ putusan demi kepentingan pihak tertentu. Ini tidak hanya mencederai hukum, tapi juga mengorbankan lingkungan dan masyarakat,” kata Syukur.
Dalam laporan resminya, APEL Green Aceh meminta KY segera memeriksa proses eksekusi di PN Meulaboh, memastikan kepastian hukum berjalan, serta menindak pihak-pihak yang lalai.
Sementara kepada Bawas MA, mereka menuntut investigasi menyeluruh terhadap PN Meulaboh, PN Suka Makmue, dan PT Banda Aceh, termasuk kemungkinan adanya kesepakatan perdamaian yang bertentangan dengan amar putusan.
Masyarakat sipil mendesak agar hasil pengawasan diumumkan terbuka dan memberikan sanksi kepada pihak yang terbukti menghambat.
Kasus PT KA pernah dipuji dunia internasional sebagai bukti bahwa Indonesia mampu menegakkan hukum lingkungan. Namun, keterlambatan hampir satu dekade justru menjatuhkan wibawa peradilan dan melemahkan semangat perlindungan lingkungan.
“Keadilan sejati tidak berhenti di atas kertas; ia harus hadir nyata di tengah rakyat dan alam. Jika putusan sebesar ini bisa diabaikan, siapa yang bisa menjamin keadilan untuk kasus lingkungan lainnya?” tutup Syukur Tadu.