Anggota DPR RI Asal Aceh Sampaikan Keluhan Masyarakat Terkait Layanan BSI
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI DPR RI dengan Direktur Utama dari lima bank BUMN terkemuka di Indonesia, yakni PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk, PT Bank Tabungan Negara (BTN) Tbk, PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk, dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Foto: tangkap layar TV parlemen
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Komisi VI DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Direktur Utama dari lima bank BUMN terkemuka di Indonesia, yakni PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk, PT Bank Tabungan Negara (BTN) Tbk, PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk, dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Dalam rapat yang berlangsung pada hari Rabu, 13 November 2024, para anggota Komisi VI membahas sejumlah isu penting terkait kinerja korporasi dan rencana kerja masing-masing bank untuk tahun 2025.
Salah satu momen yang mencuri perhatian dalam rapat tersebut adalah penyampaian keluhan dari anggota DPR RI asal Aceh, Gufron Zainal Abidin, yang membawa aspirasi masyarakat Aceh terkait sejumlah masalah layanan yang dialami nasabah PT Bank Syariah Indonesia (BSI), terutama di wilayah Aceh.
Gufron mengungkapkan bahwa sejak sebulan terakhir, masyarakat di Aceh mengalami kesulitan dalam membeli token listrik prabayar melalui aplikasi BSI Mobile.
Ia menambahkan bahwa ini menjadi masalah besar karena masyarakat di Aceh sangat bergantung pada BSI, mengingat dominasi bank syariah tersebut dalam transaksi keuangan lokal akibat adanya qanun lembaga keuangan syariah yang diterapkan di Aceh.
“Kami di Aceh tidak punya pilihan lain, karena mayoritas transaksi keuangan dilakukan melalui BSI. Jika BSI di Aceh bermasalah, ini sangat merugikan bagi masyarakat Aceh,” kata Gufron.
Selain masalah transaksi token listrik, Gufron juga mengungkapkan adanya keluhan terkait transfer kredit yang kembali gagal dan melebihi periode pembayaran ke rekanan, serta gangguan pada layanan penggajian atau payroll yang dilakukan melalui sistem Cuzet BSI.
"Layanan yang kurang memadai ini sudah banyak dikeluhkan oleh masyarakat, terutama nasabah BSI di Aceh," ujarnya.
Puncak dari keluhan ini adalah kritik terkait pelayanan yang tidak sebanding dengan fasilitas fisik yang dimiliki oleh bank tersebut.
"Kami bangga dengan kantor BSI yang mewah di Aceh, tetapi ini harus diimbangi dengan pelayanan yang berkualitas. Masyarakat Aceh tidak bisa hanya menikmati gedung besar jika layanan yang diberikan tidak memadai," tegas Gufron.
Gufron menekankan pentingnya evaluasi berkala terhadap pelayanan BSI di Aceh, mengingat tingginya ketergantungan masyarakat terhadap bank tersebut. Ia juga khawatir jika masalah ini dibiarkan berlarut-larut, citra bank syariah di Indonesia, yang sudah cukup terbangun, bisa tercoreng.
“Kami ingin bank syariah ini profesional, serius, dan dicintai oleh masyarakat. Jangan sampai label syariah digunakan sebagai kambing hitam. Kami ingin BSI diperbaiki agar dapat melayani masyarakat dengan lebih baik,” tambahnya.
Dalam kesempatan tersebut, Gufron berharap agar pihak manajemen BSI segera merespon keluhan-keluhan ini dengan serius dan memperbaiki kinerjanya, khususnya di Aceh.
“Masyarakat Aceh sudah sangat menantikan perbaikan ini, dan kami siap mendukung upaya perbaikan yang akan dilakukan oleh BSI,” tutupnya.
Rapat tersebut juga dihadiri oleh para Direktur Utama dari bank-bank BUMN yang lainnya, yang turut memberikan penjelasan terkait capaian kinerja korporasi hingga triwulan III 2024 dan rencana kerja serta roadmap mereka untuk tahun 2025. Namun, keluhan Gufron terkait BSI menjadi sorotan utama dalam rapat tersebut.
Diharapkan dengan adanya evaluasi dan perbaikan yang cepat, layanan BSI di Aceh akan semakin baik, sehingga dapat memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat yang sangat bergantung pada bank syariah tersebut.