DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Fenomena penyebaran aliran sesat di Aceh kembali menjadi sorotan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Penyebaran Aliran Sesat di Aceh, Ancaman Senyap Masa Depan Bangsa?.
Kepala Bidang Peribadatan, Syiar Islam, dan Pengembangan Sarana Keagamaan, Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, Zulkifli mengatakan bahwa pemerintah Aceh tidak tinggal diam terhadap potensi ancaman ini.
Menurut Zulkifli, penyebaran aliran sesat adalah sesuatu yang bisa terjadi di semua agama jika pemeluknya tidak memiliki dasar ilmu yang kuat.
"Semua orang beragama harus berilmu, agar memiliki landasan yang benar dalam beragama. Sebab, ketika pemahaman agama tidak didasarkan pada ilmu, maka peluang terjadinya penyimpangan itu sangat besar," ujarnya kepada dialeksis.com, Senin (25/8/2025).
Zulkifli mengatakan pentingnya membekali masyarakat dengan ilmu agama yang benar. Pemerintah bersama lembaga keagamaan terus berupaya melakukan pencegahan melalui berbagai cara, mulai dari dialog, pengajian, hingga pendekatan budaya seperti drama dakwah.
"Langkah ini untuk meminimalisir peluang terjadinya penyesatan. Tapi kalau aliran itu sudah muncul dan berkembang, maka harus ada tahapan pembinaan. Jika pembinaan tidak berhasil, barulah ada mekanisme lanjutan sesuai aturan yang berlaku," jelasnya.
Ia menambahkan, setiap langkah pemerintah harus berdasarkan fakta, bukan sekadar dugaan. "Tidak boleh kita asal menuduh. Semua harus melalui pendalaman dan investigasi," tegas Zulkifli.
Pemerintah Aceh, kata Zulkifli, selalu mendorong penguatan pemahaman agama melalui program-program penyiaran Islam.
Peran Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) juga sangat vital dalam menentukan apakah suatu kelompok atau komunitas benar-benar menyimpang dari ajaran agama atau tidak.
"Kalau ada laporan dari masyarakat terkait sebuah komunitas yang dianggap sesat, hal itu harus didalami dulu. MPU sebagai lembaga berwenang akan mengeluarkan fatwa setelah dilakukan kajian mendalam. Kita di Aceh ini daerah khusus, maka pendekatannya pun harus sesuai mekanisme syariat," ungkapnya.
Meski isu aliran sesat juga berkembang di tingkat nasional, Zulkifli mengingatkan bahwa setiap klaim harus memiliki dasar yang kuat.
"Di Jakarta atau daerah lain banyak informasi beredar, tetapi untuk menyatakan sesat atau tidak, itu tetap harus melalui kajian ulama. Tidak boleh asal menghakimi," katanya.
Zulkifli juga menitipkan pesan khusus bagi generasi muda Aceh agar tidak mudah terjebak dalam pemahaman menyimpang. Menurutnya, ada tiga kebiasaan yang harus ditanamkan sejak dini: membaca, menulis, dan berdiskusi.
"Diskusi membuka cakrawala berpikir, sehingga tidak mudah terprovokasi atau menuduh orang lain sesat tanpa dasar. Pintu dialog itu lebih baik, lebih disenangi, dan lebih mendidik," ujarnya.
Ia menegaskan bahwa pemerintah mendukung penuh setiap upaya edukasi dan dialog terbuka. "Lewat dialog, lewat kursiah, kita ingin generasi kita semakin kokoh dalam beragama, tidak gampang terseret oleh ajaran-ajaran yang menyimpang," tutupnya.
Sebelumnya, polisi membongkar kegiatan kelompok aliran sesat Millata Abraham di sebuah masjid di Aceh Utara pada Kamis (25/7/2025) malam. Kapolres Aceh Utara, AKBP Tri Aprianto, menjelaskan bahwa penangkapan berawal dari laporan warga yang resah terhadap pengajian dengan materi yang menyimpang dari syariat.
Tiga orang pertama yang diamankan adalah HA bin YS (60) asal Bireuen, ES bin WS (38) dari Jakarta Barat, dan NA bin AJ (53) warga Aceh Utara. Mereka mengajarkan doktrin Millah Abraham lengkap dengan buku dan potongan ayat yang telah dimodifikasi.
Pengembangan kasus membawa polisi pada penangkapan tiga tersangka tambahan. RH bin SH (39) dan AA bin MA (48), keduanya warga Medan, ditangkap di SPBU Pulau Pisang, Pidie, pada 28 Juli 2025 malam. Sementara MC bin HA (27) asal Bireuen diringkus sehari kemudian di Gandapura.
Dari tangan mereka, polisi menyita enam ponsel, dua sepeda motor, satu mobil, enam kartu identitas, dua lembar potongan ayat, sebuah laptop, dua proyektor beserta layar, tiga buku tabungan bank syariah, 25 buku ajaran Millah Abraham, tiga modul kajian, serta catatan keagamaan lain.
Para tersangka dijerat Pasal 18 ayat (1) dan (2) jo Pasal 7 ayat (1)-(4) Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pembinaan dan Perlindungan Aqidah. [nh]