Aktivis Perempuan Soroti Ketimpangan Gender dalam Seleksi Komisi Informasi Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Aktivis perempuan, Suraiya Kamaruzzaman. Foto: dok pribadi
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aktivis perempuan, Suraiya Kamaruzzaman, menyampaikan keprihatinan terhadap hasil seleksi calon anggota Komisi Informasi Aceh (KIA) periode 2025-2029 yang meloloskan lima laki-laki sebagai anggota penuh, sementara satu-satunya perempuan tercatat sebagai anggota cadangan.
“Keputusan itu, mencerminkan ketimpangan serius yang menghambat upaya untuk menciptakan lembaga yang inklusif dan representatif,” ujarnya kepada Dialeksis, Minggu (26/1/2025).
Co-Founder Flower Aceh itu menyoroti pentingnya kesetaraan gender di berbagai lembaga publik, meskipun UU Keterbukaan Informasi Publik tidak secara eksplisit menyebutkan perempuan dalam keanggotaan Komisi Informasi, konsep "unsur masyarakat" yang dimaksud dalam UU tersebut seharusnya mencakup perempuan dan laki-laki.
Di Aceh, sambungnya, ada regulasi seperti Qanun Nomor 6 Tahun 2009, hasil seleksi ini menunjukkan ketidakseriusan dalam mewujudkan kesetaraan gender di lembaga publik.
“Qanun tersebut mengamanatkan bahwa perempuan berhak menduduki posisi jabatan pada semua tingkatan, baik di sektor pemerintahan maupun non-pemerintahan. Keputusan rapat pleno Komisi I DPRA, jelas bertentangan dengan prinsip dasar kesetaraan gender yang seharusnya diterapkan dalam seleksi jabatan publik di Aceh,” tegasnya.
Suraiya menegaskan, Komisi Informasi Aceh memiliki peran penting dalam mengawal hak masyarakat terhadap informasi publik, dan lembaga ini harus mencerminkan keberagaman, termasuk keterwakilan perempuan.
"Perempuan memiliki perspektif yang tak kalah penting dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat," ujar Suraiya.
Selain itu, ia mengingatkan bahwa Indonesia mengakui pentingnya keterwakilan perempuan dan kesetaraan gender dalam sektor publik, sesuai dengan UUD 1945, UU HAM, Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW), dan Peraturan Presiden tentang RPJMN 2020-2024.
"Oleh karena itu, kebijakan seleksi jabatan publik, seperti yang dilakukan dalam kasus seleksi KIA, harus memperhatikan prinsip kesetaraan gender," tuturnya.
Ia menilai bahwa hasil seleksi ini tidak mencerminkan prinsip keadilan dan keberagaman yang harus ada dalam setiap proses seleksi jabatan publik, serta tidak sejalan dengan komitmen pemerintah Aceh terhadap penguatan hak-hak perempuan dan perlindungan dari segala bentuk diskriminasi.
"Dengan hanya meloloskan laki-laki sebagai anggota penuh, sementara hanya satu perempuan yang tercatat sebagai cadangan, menunjukkan ketidakseriusan dalam mewujudkan keadilan dan kesetraan gender dalam penempatan posisi-posisi strategis, di Aceh," jelasnya lagi.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka ia mendesak kepada Komisi I DPRA dan pihak-pihak terkait untuk melakukan evaluasi dan tinjauan ulang terhadap hasil seleksi ini.
“Keputusan yang didasarkan hanya pada satu dimensi (gender laki-laki) akan memperburuk ketimpangan yang ada dan berpotensi menurunkan kredibilitas lembaga-lembaga publik di Aceh,” jelasnya.
Ia menilai bahwa keputusan ini berpotensi merusak hak sipil dan politik perempuan, serta mengancam pencapaian kesetaraan gender yang menjadi bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Tergerusnya hak perempuan akan berdampak pada pelaksanaan demokrasi yang substantif di Aceh, dan menjadi preseden buruk bagi keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga publik.