DIALEKSIS.COM | Meulaboh - Penurunan hasil tangkapan ikan di perairan Barat Selatan (Barsela) Aceh kian terasa. Banyak nelayan kini harus melaut hingga dua atau tiga malam untuk mendapatkan hasil yang dulunya bisa diraih hanya dalam satu hari. Kondisi ini menjadi sinyal kuat bahwa ekosistem laut di kawasan tersebut sedang tidak baik-baik saja.
Akademisi dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Teuku Umar (UTU) Aceh Barat, Afdhal Fuadi, S.Pi., M.Si., menilai ada sejumlah faktor utama yang mempengaruhi penurunan hasil tangkapan nelayan, terutama praktik penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
“Di Barsela sendiri masih ada kelompok nelayan yang menggunakan pukat tarik (trawl), padahal alat ini sudah dilarang sejak tahun 2015 berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 2 Tahun 2015,” ujar Afdhal kepada media dialeksis.com, Jumat (10/10/2025).
Menurutnya, meski sudah tahu bahwa penggunaan trawl merusak dasar laut dan mengancam keberlanjutan sumber daya ikan, sebagian nelayan tetap menggunakannya karena dianggap lebih mudah dan hasil tangkapannya bisa dijual dengan nilai tinggi.
“Biasanya hasil tangkapan mereka berupa udang sabu dan ikan-ikan kecil yang kemudian dijemur untuk dijual. Tapi dari sisi ekologis, ini sangat berbahaya karena merusak keseimbangan habitat ikan,” jelasnya.
Afdhal menambahkan, tanda-tanda penurunan kualitas ekosistem laut bisa dilihat dari makin jauhnya area tangkap nelayan tradisional.
“Sekarang nelayan sudah harus melaut lebih jauh untuk mencari ikan. Dulu bisa tangkap di dekat garis pantai, tapi sekarang daerah itu sudah habis karena ditarik trawl yang sifatnya aktif mengejar gerombolan ikan,” katanya.
Selain trawl, muncul pula alat tangkap lain yang merusak seperti jaring hantu atau jaring robot. Jaring ini biasanya digunakan siang hari dengan bantuan rumpon, dan pada malam hari ditambah cahaya lampu untuk menarik ikan dalam jumlah besar.
“Metode ini luar biasa dampaknya. Hasil tangkapan besar di satu sisi, tapi dari sisi kelestarian, laut kita makin terkuras,” tegas Afdhal.
Selain masalah alat tangkap ilegal, Afdhal juga menyoroti keberadaan tambang di beberapa wilayah pesisir Aceh Barat yang menambah tekanan terhadap ekosistem laut.
“Sekarang di beberapa daerah sudah ada aktivitas tambang, dan ini juga luar biasa dampaknya. Banyak nelayan dan panglima laot sudah protes, tapi tambang masih tetap jalan,” ujarnya.
Ia menduga, sulitnya pelarangan aktivitas tambang di laut disebabkan oleh kontribusinya terhadap pendapatan daerah (PAD). Namun, Afdhal mengingatkan bahwa kerusakan habitat laut akibat tambang jauh lebih merugikan masyarakat nelayan dalam jangka panjang.
“Kalau ikan sudah tercemar karena tambang, bukan cuma nelayan yang rugi kita semua bisa konsumsi ikan yang sudah tercemar. Ini bahaya besar yang kadang tidak kita sadari,” tuturnya.
Dampak dari kombinasi alat tangkap destruktif dan tambang ini paling dirasakan oleh nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap pasif seperti gill net (jaring insang). Mereka kini harus menghabiskan waktu lebih lama di laut untuk mendapatkan hasil yang layak.
“Dulu nelayan cukup one day fishing--berangkat pukul 3 atau 4 subuh dan pulang jam 11 siang. Sekarang harus meudom atau bermalam 2“3 malam di laut baru bisa bawa pulang tangkapan yang sepadan,” jelasnya.
Hasil tangkapan one day fishing kini hanya sekitar 3-4 timba cet, dengan nilai jual antara Rp600 ribu hingga Rp800 ribu, belum dipotong biaya operasional dan gaji anak buah kapal.
Melihat kondisi tersebut, Afdhal menegaskan perlunya langkah konkret dari pemerintah, terutama Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), untuk menegakkan aturan dan memberikan edukasi kepada nelayan.
“Menurut saya, pemerintah harus ambil sikap tegas terhadap kelompok yang masih pakai alat tangkap dilarang. DKP bisa melakukan sosialisasi dan workshop penggunaan alat tangkap yang lebih ramah lingkungan,” sarannya.
Ia juga mengingatkan agar aktivitas tambang di laut dibatasi secara ketat, termasuk pengawasan terhadap jalur kapal tanker dan kapal tambang yang melintas di perairan Aceh Barat.
“Sekarang di Aceh Barat sudah ada jalur kapal tambang. Laut kita ini belum dipagar, tapi sudah dilewati kapal besar,” katanya.
Afdhal mengajak agar semua pihak pemerintah, nelayan, dan masyarakat sadar bahwa keberlanjutan laut Aceh Barat bergantung pada tindakan hari ini.
“Kalau kita biarkan laut rusak, nelayan akan kehilangan masa depannya. Sekarang memang hasil tangkapan masih ada, tapi 5-10 tahun ke depan bisa hilang semua. Jadi, laut kita belum terlambat tapi harus segera diselamatkan,” pungkasnya. [nh]