kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Ahli Akuntasi Nasional Ungkap Potensi Korupsi Anggaran Bencana di Aceh

Ahli Akuntasi Nasional Ungkap Potensi Korupsi Anggaran Bencana di Aceh

Selasa, 11 Oktober 2022 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Dr Syukriy Abdullah Ahli Akuntasi Nasional. Foto: Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Aceh - Aceh termasuk wilayah yang sangat rawan terhadap bencana, diantaranya gempa yang dapat mengakibatkan gelombang laut tinggi di wilayah pantai dan banjir bandang di wilayah pedalaman. Banyak sains dan temuan ilmiah yang memastikan keberulangan bencana-bencana tersebut, namun tempat dan waktu kejadiannya adalah misteri yang tidak bisa terpecahkan. Akibatnya, dibutuhkan daya prediksi yang lebih baik pada instansi pemerintah yang menangani bencana tersebut.

Mendekati penghujung tahun, wilayah Aceh memasuki musim penghujan dengan intensitas tinggi sehingga menyebabkan banjir di beberapa wilayah, diantaranya ialah Aceh Utara, Aceh Timur, dan sekitarnya. Selain itu, terjadi longsor di sepanjang jalan yang melintasi wilayah pedalaman Aceh, seperti lintasan Babahrot-Blangkejeren, yang menyebabkan arus transportasi darat menjadi terhambat.

Namun, dalam hal penanganan bencana terdapat kerentanan terhadap pengelolaan dana kebencanaan yang berpotensi dikorupsi. Apalagi Aceh saat ini dalam posisi riskan terhadap bencana banjir dan longsor.

Terkait hal itu, Dialeksis.com meminta pendapat ahli keuangan nasional, dan akuntansi pemerintah Dr Syukriy Abdullah, yang juga dosen senior di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala.

Ia menjelaskan, untuk anggaran kebencanaan biasanya Pemda punya konsep mitigasi bencana. Mitigasi bencana ini seharusnya juga dikalkulasikan ke dalam anggaran daerah oleh pemerintah provinsi Aceh maupun pemerintah daerah kabupaten/kota.

“Kewenangan penggunaan anggaran kebencanaan itu sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing daerah, baik digunakan untuk korban bencana, perbaikan infrastruktur, membangun tenda, membagikan selimut, beras, dan makanan pokok lainnya serta keperluan medis,” jelas Syukriy kepada Dialeksis.com, Selasa (11/10/2022).

Kemudian, Pemerintah provinsi itu mempunyai keleluasaan yang besar terhadap semua daerah di Aceh, karena semua yang ada di Aceh merupakan tanggung jawab di provinsi juga. Bahkan provinsi dapat memberikan bantuan kepada kabupaten/kota yang membutuhkan.

Menurut Syukriy, dalam proses penganggaran itu harus dilakukan berdasarkan analisis mitigasi dan konsep bencana, sehingga Pemda bisa memprediksi kondisi bencana dan kebutuhan dana masing-masing daerah. Manajemen bencana daerah perlu diatur lebih lanjut dalam regulasi daerah, setidaknya dalam bentuk peraturan kepala daerah.

“Alokasi anggaran belanja tak terduga kadang terlalu kecil untuk menangani suatu bencana, tapi Pemda bisa menggunakan dana lain yang mereka miliki. Hal ini terutama untuk tenaga medis, obat-obatan, dan penyediaan fasilitas lain yang bersifat darurat, lalu dianggarkan dalam perubahan APBD atau dilaporkan dalam laporan realisasi anggaran” jelasnya lagi.

Persoalannnya, kata Syukriy, banyak kebijakan untuk penentuan angka anggaran penanganan bencana itu tidak berdasarkan analisis. Misal, besaran risiko untuk masing-masing wilayah atau daerah sehingga dipukul rata seolah-olah semua daerah memiliki risiko bencana yang sama.

“Sebenarnya di setiap daerah itu memiliki risiko bencana yang berbeda. Bisa saja di daerah risiko bencana yang tinggi tapi anggarannya kecil, atau juga daerah yang risiko bencana kecil tapi anggarannya sama atau bahkan lebih besar,” terangnya.

Menurutnya, Sekda selaku ketua Tim Anggaran Pemda (TAPD) adalah orang yang paling bertanggungjawab untuk permasalahan anggaran ini. Oleh karenanya, ketika anggaran belanja tak terduga tidak mencukupi, maka keputusan untuk melakukan pembayaran untuk kedaruratan dapat dilakukan melalui pergeseran anggaran oleh Sekda.

“Dalam artian, alokasi anggaran kebencanaan itu tidak berdiri sendiri, tetapi juga terkait dengan anggaran belanja lain, sehingga anggaran sebagai sebuah rencana tidak bersifat kaku dan menyulitkan pemda memberikan pelayanan kepada masyarakat” ungkapnya.

Menurutnya, jika anggaran bencana dibuat besar di awal tahun, ketika nanti sudah melewati setengah tahun atau satu semester, nanti bisa terjadi pergeseran anggaran dan itu berarti, suatu belanja boleh dipindahkan ke belanja lain. “Siapa yang mengatur itu semua adalah Sekda dan tim anggaran pemerintah,” katanya.

Syukriy menambahkan bahwa “pada saat terjadi bencana, anggaran kebencanaan dapat ditambah dengan cara mengurangi anggaran OPD yang lain atas “perintah” kepala daerah. Sebaliknya, pengurangan anggaran BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) dalam perubahan APBD, juga tidak perlu diproets oleh BPD karena potensi risiko bencana semakin rendah dengan semakin singkatnya sisa periode tahun anggaran berkenaan. Pengurangan anggaran BPBD ini dapat menambah alokasi untuk OPD lain.”

“Artinya, Sekda punya kewenangan besar disana untuk merencanakan anggaran, termasuk dengan “menggelembungkan (mark-up) atau membuat alokasi lebih besar untuk penanganan bencana di awal tahun, tapi kemudian dikurangi di perubahan anggaran,” jelasnya.

Namun, kata dia, hal itu perlu adanya analisis bagaimana pola penganggaran total di awal tahun lalu bagaimana perubahannya dan realisasinya. “Kemudian juga berdasarkan beberapa tahun terjadi bencana di masing-masing wilayah, dipetakan mana yang besar potensi bencana alamnya dan mana yang tidak,” lanjutnya.

Syukriy menegaskan, “seharusnya untuk transparansi keuangan daerah, ketika anggaran itu ditetapkan maka BPBD perlu mensosialisasikan lewat media masa tentang pendanaan untuk anggaran bencana yang ada di mereka, sehingga jika ada bencana di daerah, publik tahu dari mana penanganan dapat dibiayai.”

Misal, sebutnya, di provinsi Aceh ada anggaran sekian untuk menangani bencana wilayah di Aceh Utara. Tetapi, karena masyarakat dab media tidak punya informasi tentang anggaran BPBA yang terkait dengan itu, maka tidak tersampaikan informasi kepada BPBA dengan segera. Media semestinya tidak hanya memberitakan, saja tapi juga memberkan analisis dan dampak yang terjadi dalam bencana tersebut.

“Coba kita cari data di dalam APBA dan APBD, tidak ada alokasi yang jelas untuk alokasi anggaran kebencanaan. Anggaran dibuat gelondongan, tanpa ada informasi tambahan untuk penggunaan dan latar belakang pengalokasiannya. Akibatnya, muncul kecurigaan bahwa dalam setiap bencana di daerah, kemungkinan terjadi manipulasi dan korupsi dana,” ungkapnya.

Syukriy menyarankan, “agar tidak terjadi kecurigaan terhadap pengelolaan anggaran kebencanaan, maka perlu dilakukan analisis tentang mitigasi bencana, data historis tentang realisasi anggaran bencana, dan manajemen bencana daerah.”

“Sebenarnya mitigasi bencana dipahamai oleh seluruh masyarakat. Pemahaman ini dilengkapi dengan informasi tentang wilayah-wilayah yang rawan bencana, waktu-waktu yang sering terjadi bencana, pihak-pihak yang dapat dihubungi ketika terjadi bencana, dan budaya lokal yang selama ini berlaku dalam menghadapi bencana,” tandasnya.

Lanjutnya, “harus dapat diketahui bagaimana tren dan kecenderungan yang terjadinya bencana, misalnya di Lhoksukon itu banjirnya di sekitar triwulan 4 yaitu bulan Oktober, November dan Desember,” jelasnya. “Berarti alokasi anggaran untuk triwulan 4 itu harus dialokasikan ke Lhoksukon. Contoh lain, di Aceh Tenggara itu banjirnya itu di triwulan 3 bulan Juli, Agustus, September,” tambahnya.

Untuk itu, kata dia, bisa dibuat rencana kegiatan, yang berimplikasi pada anggaran kas di Pemda. Jadi, dapat direncanakan kapan anggaran bencana itu akan cair, sehingga tidak mengganggu anggaran belanja lainnya. Namun, penyusunan anggaran kas ini tentu harus berdasarkan data historis dan kejadian selama beberapa tahun sebelumnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda