Rabu, 19 November 2025
Beranda / Berita / Aceh / Aceh Masuk Radar Jaringan Internasional Perdagangan Satwa Ilegal

Aceh Masuk Radar Jaringan Internasional Perdagangan Satwa Ilegal

Rabu, 19 November 2025 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Pemerhati lingkungan dan satwa liar Aceh, Tezar Pahlevi. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemerhati lingkungan dan satwa liar Aceh, Tezar Pahlevi, membeberkan temuan terkait maraknya penyelundupan satwa yang kini tidak hanya memenuhi pasar domestik di Pulau Jawa, tetapi juga mengalir hingga ke Thailand, Vietnam, dan bahkan kawasan Timur Tengah.

Menurut Tezar, Aceh telah menjadi salah satu titik sumber pergerakan satwa dilindungi yang diperjualbelikan secara ilegal. Jaringan yang bekerja rapi dan tertutup telah memanfaatkan celah perbatasan laut Aceh untuk mengangkut satwa bernilai tinggi.

“Kami mendeteksi penyelundupan anak orangutan melalui perairan Aceh, kemudian dibawa ke Thailand, Vietnam, lalu diangkut ke Timur Tengah,” ungkap Tezar kepada awak media setelah acara ALSA Legal Discussion in Collaboration with Yayasan HAkA dan Fakultas Hukum, Selasa, 18 November 2025.

Selain orangutan, Aceh juga menjadi jalur peredaran kulit harimau Sumatra, berbagai jenis burung endemik, dan satwa eksotis lainnya.

Tezar menegaskan bahwa faktor terbesar yang melatarbelakangi maraknya kejahatan ini adalah permintaan pasar global.

“Perburuan dan perdagangan satwa dilindungi dilatari beberapa faktor: permintaan pasar internasional, kebutuhan bahan obat tradisional, hingga permintaan kolektor untuk dipelihara,” katanya.

Kerusakan habitat akibat deforestasi dan degradasi lingkungan di Aceh juga berperan besar memudahkan pemburu menemukan satwa liar.

“Dekforestasi yang terjadi di Aceh menyumbang tingginya perburuan. Habitat yang rusak membuat satwa mudah dijangkau,” tegasnya.

Dalam konteks global, perdagangan satwa liar ilegal menempati urutan ketiga dunia dalam perputaran uang kriminal.

“Jumlah perputaran uangnya menempati urutan ketiga setelah narkoba dan perdagangan senjata api ilegal. Karena itu, kejahatan satwa liar harus dijerat juga dengan tindak pidana pencucian uang,” ujar Tezar.

Ia menyarankan agar penegakan hukum tidak hanya berhenti pada pelaku lapangan seperti pemburu dan penampung lokal, tetapi harus menyentuh pemodal utama.

Tezar mengutip laporan UNDP bahwa Indonesia mengalami kerugian ekonomi dari perdagangan ilegal satwa mencapai satu miliar dolar per tahun. Namun, kata Tezar, khusus untuk Aceh belum ada hitungannya.


“Untuk Aceh, belum ada angka kerugian. Bahkan untuk estimasi kerugian per jenis satwa seperti harimau atau orangutan juga belum dihitung,” jelasnya.

Yang paling sering diperdagangkan dari Aceh adalah kulit harimau Sumatra, namun hingga kini belum ada valuasi ekonomi atas kerugian negara dari hilangnya setiap individu harimau.

“Bukan yang paling tinggi, tapi Aceh menjadi salah satu titik sumber perdagangan satwa ilegal di dunia,” ujar Tezar ketika ditanya apakah Aceh menempati posisi tertinggi dalam skala nasional.

Kondisi Aceh yang memiliki bentang hutan luas serta keberadaan spesies kunci membuatnya menjadi target pemburu.

Menurut Tezar, pola perdagangan satwa modern kini bergerak ke ruang digital. “Yang paling banyak saat ini polanya adalah perdagangan online. Dari media sosial, terutama Facebook. Banyak sekali yang menawarkan satwa dilindungi melalui grup-grup tertentu,” ujarnya.

Namun penindakan terhadap jaringan daring ini belum menyentuh seluruh aktor penting. “Belum semua kasus perdagangan online ditindak sampai ke sumber jaringan. Ini masih menjadi PR besar kita bersama,” tegasnya.

Mengenai implementasi hukum, Tezar menilai Aceh cukup baik dalam pengungkapan kasus dibandingkan daerah lain.

“Aceh sudah menerapkan undang-undang terbaru dengan ancaman hukuman yang tinggi. Namun membongkar kejahatan ini sangat rumit karena jaringannya tertutup,” jelasnya.

Ia juga menyoroti praktik pelaku yang kerap tidak memberikan informasi mengenai pemodal utama sehingga penyelidikan berhenti pada tingkat bawah.

Tezar juga berharap kehadiran para hakim yang memiliki SK lingkungan hidup dapat membawa pendekatan hukum yang lebih adil.

“Harapannya hakim-hakim ini dapat memutuskan perkara lingkungan dengan pengetahuan satwa liar yang memadai, sehingga penegakan hukum lebih kuat dan berpihak pada konservasi,” tutupnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI