DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di tengah derasnya arus digitalisasi, minat masyarakat berkunjung ke perpustakaan di Indonesia mengalami fluktuasi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, tingkat kunjungan sempat anjlok drastis saat pandemi Covid-19 pada 2021 hingga hanya menyisakan 3,74%. Memasuki 2024, angka tersebut memang mulai pulih, tetapi masih berada di kisaran 11,91%--belum kembali ke kondisi sebelum pandemi.
Meski demikian, Aceh justru mencatatkan prestasi yang membanggakan. Provinsi paling barat Indonesia ini masuk dalam 10 besar daerah dengan tingkat kunjungan perpustakaan tertinggi secara nasional, bersanding dengan Sumatra Barat, Yogyakarta, dan Bangka Belitung.
Bahkan, berdasarkan survei Kementerian PPN/Bappenas dua tahun lalu, Aceh tercatat sebagai salah satu provinsi yang paling banyak mengunjungi pustaka dan taman baca, mengungguli DKI Jakarta.
Kepala Bidang Layanan Pustaka Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh, Zulfadli, menegaskan bahwa capaian ini harus dijadikan motivasi untuk terus berbenah.
Menurutnya, perpustakaan modern tidak hanya dituntut sebagai gudang buku, tetapi juga harus menghadirkan inovasi layanan dan kedekatan dengan masyarakat.
“Harapannya ke depan, perpustakaan bisa lebih meningkatkan bahan bacaan yang bermutu dan up to date, menghadirkan sarana dan prasarana yang lebih baik, serta terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Tidak kalah penting, kegiatan yang melibatkan masyarakat juga harus diperbanyak, sekaligus sebagai sarana promosi perpustakaan,” ungkap Zulfadli kepada media DIALEKSIS, Selasa (9/9).
Zulfadli tidak menutup mata bahwa era teknologi dan internet membuat perpustakaan menghadapi tantangan besar. Informasi kini bisa diakses hanya dengan satu sentuhan gawai, sementara buku dan ruang baca perlahan kehilangan pamornya.
“Ini tantangan yang nyata. Tapi justru di situlah peluang kita. Perpustakaan tidak boleh sekadar jadi ruang sunyi penuh buku, melainkan harus hadir sebagai pusat aktivitas masyarakat. Dengan kolaborasi, kegiatan literasi, diskusi publik, hingga pameran budaya, perpustakaan bisa kembali merebut hati generasi muda,” ujarnya.
Berdasarkan laporan BPS, beberapa provinsi masih menunjukkan tingkat kegemaran tinggi ke perpustakaan.
Sumatra Barat menempati posisi pertama dengan 19,3%, disusul Yogyakarta (18,46%), Bangka Belitung (16%), Aceh (14,47%), dan NTB (14,46%). Angka ini menegaskan bahwa Aceh masih memiliki tradisi membaca yang cukup kuat dibandingkan banyak daerah lain di Indonesia.
“Data ini membanggakan, tapi jangan sampai membuat kita puas diri. Justru ini menjadi semangat agar layanan perpustakaan di Aceh semakin inovatif, ramah, dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat di era digital,” kata Zulfadli.
Bagi Zulfadli, perpustakaan bukan hanya soal tumpukan buku atau statistik kunjungan, melainkan tentang membangun budaya literasi.
“Kalau kita ingin Aceh maju, literasi harus jadi fondasi. Dan perpustakaan adalah rumah besar untuk mewujudkannya. Harapan saya, semua pihak ikut mendorong agar masyarakat, khususnya generasi muda, menjadikan membaca sebagai gaya hidup,” tutupnya.