Selasa, 12 Agustus 2025
Beranda / Berita / Aceh / Aceh Jadi Pusat Pembelajaran Rekonsiliasi Perdamaian Dunia

Aceh Jadi Pusat Pembelajaran Rekonsiliasi Perdamaian Dunia

Selasa, 12 Agustus 2025 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Syukuran memperingati 20 tahun perdamaian Aceh di pelataran Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Senin malam (11/8/2025). Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Aceh menggelar syukuran memperingati 20 tahun perdamaian Aceh bertajuk Keadilan Transisi: Refleksi, Capaian, dan Tantangan, sekaligus meluncurkan dan mendiskusikan hasil riset keterlibatan masyarakat sipil dalam mendukung Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh

Acara ini berlangsung di pelataran Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Senin malam (11/8/2025) pukul 19.20-22.10 WIB.

Dalam forum tersebut, perwakilan Asia Justice and Rights (AJAR), Mulki Makmun, mengatakan bahwa perdamaian yang berkelanjutan tidak hanya diukur dari pembangunan infrastruktur pasca-konflik, tetapi juga dari sejauh mana negara mampu mendengarkan suara korban dan memberikan pemulihan yang layak.

“Di dalam perdamaian itu harus ada capaian penting seperti lahirnya KKR Aceh. Itu bisa menjadi pembelajaran penting untuk Indonesia secara keseluruhan. Kalau tanpa pemulihan, kami khawatir perdamaian itu tidak akan berjalan baik dan lancar,” kata Mulki kepada Dialeksis.com.

Mulki menjelaskan, pengalaman Aceh dalam membentuk KKR menjadi contoh yang bahkan dipelajari oleh wilayah lain di Asia Tenggara dan dunia.

"Banyak orang Thailand Selatan belajar ke Aceh untuk membangun perdamaian. Di Filipina Selatan, khususnya Bangsa Moro, juga banyak yang datang ke Aceh. Mereka bertemu DPR Aceh, bertemu masyarakat sipil, belajar tentang proses kita,” ujarnya.

Menurutnya, signifikansi ini tidak hanya penting bagi Aceh, tetapi juga menjadi bagian dari modal diplomasi Indonesia. 

“Kita mau pamer bahwa keterlibatan masyarakat sipil di Aceh berhasil melahirkan KKR. Ini harus jadi pembelajaran di tingkat nasional dan regional,” tambahnya.

Mulki menuturkan bahwa Indonesia memiliki pendulum konflik yang berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain: Aceh, Timor Leste, hingga Papua. 

Ia mencontohkan, Timor Leste bahkan membentuk dua kali komisi kebenaran, termasuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan bersama Indonesia yang melahirkan laporan pada 2008 dan diikuti dengan Perpres Nomor 72 Tahun 2009.

“Di Papua, klausul KKR juga tercantum dalam undang-undang otonomi khusus, tetapi yang sudah berjalan baru Aceh, dan itu pun karena dorongan kuat masyarakat sipil,” jelasnya.

AJAR menilai keberlangsungan KKR Aceh tidak bisa hanya ditopang oleh pemerintah daerah. Dukungan pemerintah pusat menjadi indikator nyata keseriusan negara terhadap perdamaian Aceh.

“Harapannya, pemerintah pusat juga memberikan kontribusi dan tanggung jawabnya. Kalau tidak mengalokasikan dana, bagaimana KKR Aceh bisa berfungsi dengan baik? Ini soal komitmen,” tegas Mulki.

Ia juga mengingatkan bahwa upaya penguatan KKR Aceh harus benar-benar memperkuat, bukan justru melemahkan lembaga tersebut. 

“Kemarin ada isu KKR akan dihapuskan, kami bersama LBH Banda Aceh, KontraS Aceh, dan koalisi menolak. Bahkan di Jakarta kami libatkan LBH dan KontraS. Akhirnya pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri mendengar dan tidak jadi melaksanakan rencana itu,” ujarnya.

Acara yang dihadiri berbagai elemen masyarakat sipil itu ditutup dengan refleksi bersama tentang capaian dan tantangan 20 tahun perdamaian Aceh, serta komitmen untuk terus mengawal keberlangsungan KKR Aceh sebagai salah satu pilar keadilan transisi.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI