DIALEKSIS.COM | Lhokseumawe - Kebijakan Perum Bulog Kanwil Aceh mengirimkan 4.000 ton beras ke Provinsi Sumatera Utara menuai sorotan publik. Pengiriman ini dilakukan di tengah tren kenaikan harga beras di pasar Aceh dalam beberapa pekan terakhir, sebagaimana dilaporkan oleh Antara dan sejumlah media lokal.
Berdasarkan data Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) per 11 Agustus 2025 pukul 07.30 WIB, harga rata-rata beras premium secara nasional mencapai Rp16.054 per kilogram, atau 7,7 persen lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET) nasional sebesar Rp14.900 per kilogram. Untuk beras medium, harga nasional mencapai Rp14.087 per kilogram, naik 12,7 persen dari HET sebesar Rp12.500.
Di Aceh, situasi lebih mengkhawatirkan. Data Bapanas per 6 Agustus 2025 mencatat harga beras premium di provinsi ini mencapai Rp16.490 per kilogram dan beras medium Rp15.499 per kilogram. Angka ini jauh melampaui HET zona II yang ditetapkan sebesar Rp13.100 per kilogram.
Sebagai perbandingan, pada 12 Juli 2025, harga beras premium di Aceh masih berada di angka Rp15.570 per kilogram dan beras medium Rp14.326 per kilogram.
Lonjakan harga ini memunculkan kekhawatiran masyarakat akan potensi terganggunya stabilitas pangan lokal jika distribusi beras dari Aceh tidak memperhatikan kecukupan stok daerah sendiri.
Padahal, sesuai Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan kepada Perum Bulog, lembaga ini memiliki mandat untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan, termasuk pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Setiap kebijakan distribusi, terutama lintas provinsi, seharusnya memastikan bahwa kebutuhan daerah asal tidak dikorbankan.
Menanggapi situasi ini, Diki Anaya, mahasiswa Universitas Malikussaleh, menilai pengiriman 4.000 ton beras dari Aceh ke Sumatera Utara layak diaudit secara transparan. Ia menyatakan bahwa publik berhak mengetahui apakah keputusan tersebut sesuai dengan prinsip prioritas kebutuhan daerah.
“Jika audit menemukan bahwa pengiriman ini memicu kelangkaan atau lonjakan harga, maka pejabat terkait di Kanwil Bulog Aceh layak dicopot,” tegas Diki dalam keterangan tertulis yang diterima pada Selasa (12/8/2025).
Ia juga mendesak Pemerintah Aceh untuk tidak bersikap pasif. Menurutnya, pemerintah daerah harus memperketat pengawasan terhadap kebijakan Bulog agar tidak mengorbankan masyarakat Aceh.
“Kedaulatan pangan adalah soal keberpihakan. Saat rakyat Aceh harus membeli beras dengan harga tinggi, setiap butir beras yang keluar dari provinsi ini harus bisa dipertanggungjawabkan,” tutupnya. [*]