31 Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan Untuk Perkebunan Capai 383.397 Hektar
Font: Ukuran: - +
Hutan Pining, Gayo Lues. [Foto: Mongabay/Junaidi Hanafiah]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Sebagian besar dari 192 izin konsesi kawasan hutan yang dicabut oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), lewat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) Nomor: SK.01.MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan, merupakan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan untuk sektor perkebunan.
Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan untuk perkebunan ini jumlahnya ada 137 surat keputusan (SK), mencakup areal kawasan hutan seluas total 1.799.343,42 hektare. 137 izin itu didominasi oleh Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan untuk perkebunan kelapa sawit. 137 izin itu 11 di antaranya adalah Persetujuan Prinsip.
137 izin ini tersebar di 19 wilayah provinsi, yakni Aceh, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Papua, Papua Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, dan Maluku Utara
Bila dilihat dari jumlah Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan per wilayah provinsi, Kalteng menjadi wilayah provinsi dengan jumlah Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan terbanyak yang dicabut yakni 39 izin, seluas total 350.111,35 hektare.
Namun bila dilihat dari wilayah provinsi dengan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan terluas yang dicabut, maka Papua dan Papua Barat yang muncul. Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan di Papua luasnya mencapai 680.929,21 hektare terdiri dari 26 izin, dan Papua Barat seluas 382.070,5 hektare terdiri dari 22 izin.
Selain 137 Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan untuk sektor perkebunan yang dicabut pada 5 Januari 2022 itu, ada pula 31 Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan untuk perkebunan yang masuk dalam daftar evaluasi, 5 di antaranya adalah Persetujuan Prinsip. Areal 31 izin tersebut bila ditotal luasnya mencapai 383.397.61 hektare. Lokasinya berada di Aceh, Jambi, Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Papua dan Papua Barat.
Namun pemerintah masih membuka peluang bagi investor yang izinnya dicabut untuk mengajukan kembali izin serupa di areal yang sama.
Ketua Yayasan Auriga Nusantara, Timer Manurung, menekankan pemerintah seharusnya tak sembarangan mengumbar izin pascapencabutan. Paling tidak evaluasi menyeluruh dapat mengidentifikasi mana saja perusahaan yang bermasalah, baik terhadap masyarakat maupun lingkungan. Jika terjadi pelanggaran yang menyebabkan kerusakan lingkungan maka perusahaan itu harus bertanggung jawab.
“Mestinya perusahaan yang merusak lingkungan, melanggar wilayah hak, dan melakukan perampasan tanah hingga menyebabkan konflik, harus diblacklist. Jangan dikasih izin lagi,” ucap dia.
Sebelumnya, kepada CNBC TV, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PTKL) Ruandha Agung Sugardiman mengatakan, pencabutan izin yang dilakukan pemerintah merupakan bentuk penertiban. Lantaran banyak izin yang diberikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK), Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak dimanfaatkan sebagaimana izin yang sudah diberikan.
“Oleh karena itu, di dalam penertibannya, kita cabut dulu. Nanti kita berikan kepada investor yang betul-betul serius untuk menggarap lahan-lahan tersebut,” kata Ruandha, Kamis (6/1/2022) lalu dikutip dari CNBC.
Menurut Ruandha, perusahaan yang telah dicabut izinnya masih tetap bisa mengajukan izin lagi untuk kawasan hutan yang sama. Asalkan lahan tersebut dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
“Untuk pelepasan kebun kelapa sawit, ada 137 izin, luasnya 1,7 juta hektare. Sangat luas. Itu dicabut, artinya kembali ke pemerintah. Nantinya akan dievaluasi lebih lanjut.” [Betahita]