kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / 16 Tahun MoU Helsinki, Dr Amri: Pemerataan Ekonomi di Aceh Tidak Tepat Sasaran

16 Tahun MoU Helsinki, Dr Amri: Pemerataan Ekonomi di Aceh Tidak Tepat Sasaran

Rabu, 11 Agustus 2021 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur

16 Tahun MoU Helsinki dan Kesejahteran Rakyat Aceh. Pengamat Ekonomi dan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala, Dr. Amri, SE, MSi, Rabu (11/08/2021) mengatakan, jika melihat satu-persatu MoU Helsinki itu bagus sekali. [Foto: Tangkapan Layar]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - 16 Tahun MoU Helsinki dan Kesejahteran Rakyat Aceh. Pengamat Ekonomi dan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (USK), Dr. Amri, SE, MSi, Rabu (11/08/2021) mengatakan, jika melihat satu-persatu MoU Helsinki itu bagus sekali.

“Kemudian diturunkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. dari 273 Pasal itu bagus sekali, tapi yang menjadi persoalan adalah tataran Implementasi. Dari 273 pasal saya lihat salah satunya di pemberdayaan ekonomi, kemudian penekanan pemberdayaan sumber daya manusia (SDM), pemberdayaan bidang politik, pemberdayaan bidang sosial dan budaya, dan yang wujud terkahir semuanya adalah perdamaian abadi,” ucapnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, yang dimaksud dari kelima variabel yang disebutkan adalah kesejahteraan rakyat. Kemudian pada topik yang kedua tentu ada indikator-indikator ekonomi makro, yang dimana angka-angka tersebut tidak bisa berkhayal.

“Karena angka tersebut di terbitkan dan dipublish oleh lembaga resmi. Pertama saya melihat dari indkator kesejahteraan rakyat dari tingkat regional 23 kab/kota, 286 Kecamatan dan 6496 Gampong, kemudian saya melihat tingkat kemiskinan sebesar 15,43 persen di kota dan di perdesaan sebesar 17,96 persen, kemudian, tingkat pengangguran tertinggi di sumatera dan angka rasio 0.319 artinya disini tidak terjadi pemerataan ekonomi di 23 kab/kota, dan pertumbuhan ekonomi sangat rendah se-sumatera,” jelasnya dalam dialog Suara Publik TVRI dengan tema 16 Tahun MoU Helsinki dan Kesejahteraan Rakyat, Rabu (11/08/2021).

Kemudian, Dr. Amri lebih lanjut mengatakan, berdasarkan data dan fakta ini sesuai dengan tema yang dibahas ini belum terwujud sama sekali.

“Sementara berdasarkan MoU Helsinki dan UUPA, dan saya sedikit perjelas UUPA ini bukan UU Aceh tapi UU RI tentang Aceh, jadi setelah saya lihat dan saya baca ini bagus semua, tapi persoalannya saat ini pada tataran Implementasinya,” tegas Dr Amri.

Sementara itu Dr Amri menjelaskan, jika melihat hasil dari MoU Helsinki ujungnya dapat dana yang dari tahun 2008 sampai 2021 hari ini, Aceh yaitu Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA).

“Sampai sejauh yang saya lihat data yang sudah di audit oleh lembaga resmi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI) lebih kurang mencapai Rp 88 Trilliun, karena dalam APBA itu bukan hanya DAU, DAK, PAD, dan Dana Transfer Migas, dan ada DOKA yang dimana di Indonesia itu hanya dua daerah saja yang dapat Aceh dan Papua,” jelasnya.

Dan Aceh itu mendapat DOKA bukan karena keistimewaan saja tapi kekhususan, yang seharunya dana kekhususan ini bisa dioptimalkan untuk pemberdayaan ekonomi.

“Sehingga jika nanti Aceh sudah tidak mendapat DOKA lagi, masyarakat level bawah bisa keluar dari garis kemiskinan. Jadi janganlah melihat Aceh ini dikota saja, tapi lihat di desa-desa, dan ini yang menjadi duduk persoalan hari ini adalah pada tataran implementasi MoU Helsinki, sehingga kesejahteraan rakyat tidak tercapai,” ucap Dr Amri.

Selanjutnya Ia mengatakan lebih jelas lagi, Indikator kesejahteraan rakyat itu bisa berbicara sembarangan karena itu langsung dipublis oleh lembaga resmi, seperti BPS, Bank Indonesia, dan ada data Bappenas.

“Dan saya selalu melihat dari sudut ekonomi sesuai data dari lembaga resmi tersebut, dan jika melihat lagi dengan dana yang sangat besar ini harus kesejahteraan Aceh bisa tercapai, tapi kenapa hari ini berbeda, ini yang menjadi persoalan,” tegas Dr Amri.

Adapun Dr Amri menjelaskan, Aceh sampai saat ini masih sangat bergantung dari APBA, karena jika melihat lagi 23 kab/kota, 286 Kecamatan dan 6496 Gampong itu umumnya hidupnya dari sektor pertanian, kemudian dipinggir laut perikanan, mau itu melaut atau pertambakan, dan jika ditengah rata-rata hidup dari perkebunan.

“Dan Aceh saat ini sangat bergantung dengan APBA karena investor itu hampir tidak ada, dengan seluruh dana yang masuk ke Aceh sejak 2008 saya perhatikan anggaran untuk masuk ke sektor ini sangat rendah dan tidak sampai 3 persen, jika melihat provinsi tetangga disana banyak industri dan tidak bergantung dengan APBA. Disamping itu, Aceh dengan SiLPA itu mencapai Rp 3.96 Trilliun yang angka tersebut sama dengan satu APBD Bengkulu,” tukasnya.

Dr Amri mengatakan di akhir diskusi, pemanfaatan dari dana yang ada tidak tepat sasaran, sehingga rakyat tidak sejahtera.

“Jika masyarakat awan yang bertanya ‘Peuken Meunan?’ (Kenapa Begitu?), saya hanya menjawab, yang direncanakan tidak dikerjakan dan yang tidak direncanakan itu yang dikerjakan,” tutup Dr Amri. [ftr]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda