kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / 15 Elemen Sipil di Aceh Desak Negara Lindungi Pembela HAM

15 Elemen Sipil di Aceh Desak Negara Lindungi Pembela HAM

Sabtu, 09 Oktober 2021 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar (Kiri) dan Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti (kanan) Tangkapan layar video unggahan Haris Azhar yang menyebut Menko Luhut turut serta dalam bisnis tambang di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua. [Foto: Tangkapan layar]


Solidaritas untuk Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar

DIALEKSIS.COM |  Banda Aceh - Elemen masyarakat sipil di Aceh menyuarakan solidaritas untuk aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Keduanya dilaporkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik.

Sebelumnya, Fatia dan Haris Azhar mendapatkan dua kali somasi atas dialog di kanal Youtube NgeHAMtam milik Haris Azhar yang mendiskusikan kajian ‘Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua Kasus Intan Jaya’ yang dibuat sejumlah organisasi masyarakat sipil nasional, yakni YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, Trend Asia, bersama #BersihkanIndonesia.

Melalui kuasa hukumnya, Luhut mempersoalkan ucapan Fatia dalam dialog tersebut yang menyebut dirinya terlibat dalam proyek tambang di Provinsi Papua. Padahal, ucapan itu didasari hasil riset sebagai bentuk pengawasan dan kontrol masyarakat sipil kepada pejabat publik.

Selain itu, koalisi sipil di Aceh juga menyayangkan pasal-pasal yang dikenakan untuk menjerat keduanya, yakni unsur-unsur pidana dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 317 KUHP Jo Pasal 14 Peraturan Hukum Pidana. 

Publik tentu tahu, penerapan UU ITE selama ini telah banyak digunakan untuk mengkriminalkan dan membungkam kritik yang diutarakan masyarakat sipil.

Padahal Presiden RI sendiri telah mengakui bahwa UU ITE sarat dengan substansi yang dapat merampas rasa keadilan masyarakat, sehingga perlu direvisi. Ironisnya, UU ini justru digunakan oleh Menteri Luhut Binsar Pandjaitan untuk melaporkan aktivis HAM. Perlu diketahui juga, kasus yang menimpa Fatia dan Haris adalah satu dari banyak kasus kriminalisasi yang menimpa sejumlah warga di Indonesia. Sangat disayangkan jika pihak yang menggunakan UU ITE ini justru pejabat negara itu sendiri.

Di sisi lain, penting untuk kembali pada prinsip bahwa warga negara memiliki hak atas kebebasan berpendapat. Juga mengenai UU ITE, para penegak hukum perlu mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait Pedoman Implementasi UU ITE, yang ditandatangani Menkominfo, Jaksa Agung dan Polri pada Juni 2021 lalu.

Salah satunya Pasal 27 Ayat (3) yang mengatur terkait muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. SKB menegaskan bahwa muatan pencemaran nama baik harus merujuk pada ketentuan dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, yang diartikan sebagai delik menyerang kehormatan atau menuduh seseorang dengan hal yang tak benar. Sehingga, sebelum penegak hukum memproses pelaporan seseorang, maka harus ada upaya pembuktian terlebih dahulu kebenaran dari suatu informasi yang disebarkan.

Pada prinsipnya, masyarakat sipil meminta pemerintah maupun pejabat negara tidak anti terhadap kritik. Sistem demokrasi justru menjamin keberlangsungan dan perlindungan terhadap kebebasan berpendapat. Apalagi perkara yang menimpa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti beranjak dari hasil riset yang tentu dilakukan dengan metode ilmiah. Memperkarakan ini, hanya akan semakin menunjukkan bahwa negara --melalui pejabatnya, mengangkangi prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.

Aceh sebagai wilayah yang sempat didera konflik berkepanjangan satu dasawarsa lalu, merasakan betul bagaimana sulitnya hidup di masa-masa pembatasan informasi serta pengekangan hak-hak sipil dan politik warganya. Apa yang menimpa Haris dan Fatia telah menyentakkan berbagai elemen masyarakat sipil di Aceh, bahwa kerja-kerja aktivis HAM hari ini dalam mengungkap persoalan negara, ternyata masih direspon dengan pembungkaman dan kriminalisasi.

Maka dari itu, koalisi sipil di Aceh menyampaikan sikap, yakni mendesak kepolisian segera menghentikan proses pemidanaan terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Selain itu, kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan untuk mencabut pelaporannnya.

Terakhir, negara perlu benar-benar hadir memberi perlindungan terhadap hak-hak warganya. Dalam kondisi hari ini, negara dihadapkan pada tantangan untuk mempertahankan demokrasinya dengan terbuka pada kritik publik, atau membiarkan warganya berjuang mati-matian mempertahankan diri dari jeratan kriminalisasi yang dilakukan pihak-pihak yang berkuasa.

Elemen Sipil di Aceh Bersolidaritas untuk Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar:

1. KontraS Aceh,

2. LBH Banda Aceh,

3. Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK),

4. Flower Aceh

5. Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Insonesia (KSBSI) Aceh

6. Komisi Kesetaraan KSBSI Aceh

7. Solidaritas Perempuan Aceh

8. Katahati Institute

9. Walhi Aceh

10. Sekolah Anti Korupsi Aceh (SAKA)

11. Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)

12. GeRAK Aceh

13. Paska Aceh

14. SPKP HAM Aceh

15. K2HAU

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda