Senin, 01 Desember 2025
Beranda / Tajuk / Saatnya Negara Menekan Tombol Darurat

Saatnya Negara Menekan Tombol Darurat

Senin, 01 Desember 2025 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Ilustrasi kejadian bencana banjir dan tanah longsor di Sumatera. Foto: net


DIALEKSIS.COM | Tajuk - Banjir dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah berubah dari bencana alam menjadi tragedi kemanusiaan. Ratusan warga meninggal, ribuan rumah hancur, dan lebih dari satu juta jiwa kehilangan akses terhadap kehidupan yang layak. Di tengah kehancuran yang meluas, negara dituntut hadir bukan sebagai penonton penuh simpati, tetapi sebagai penyelamat dengan kebijakan cepat dan terukur.

Kerangka hukum untuk menetapkan status bencana nasional sesungguhnya telah tersedia. Undang-Undang Nomor 24/2007, PP 21/2008, hingga Perpres 17/2018, semuanya menyediakan indikator yang jelas. Jika mengacu pada skala kerusakan, jumlah korban, dan luas wilayah terdampak, Sumatera telah memenuhi seluruh syarat objektif untuk dinyatakan dalam status bencana nasional.

Namun hingga hari ini, satu pertanyaan tetap menggema: mengapa status bencana nasional belum ditetapkan?

Ini bukan persoalan gengsi birokrasi. Penetapan status bencana nasional adalah tombol darurat yang wajib ditekan ketika kapasitas daerah tidak lagi mampu menahan beban bencana. Keputusan tersebut membuka akses terhadap dana nasional yang dapat dicairkan segera, membentuk komando terpadu di mana TNI, Polri, dan kementerian bekerja dalam satu garis koordinasi, serta memastikan penanganan lintas provinsi berlangsung efektif.

Kelambanan pemerintah justru memunculkan kecurigaan dibenak pikiran masyarakat Indonesia, apakah anggaran penanggulangan bencana telah menipis, atau dialihkan ke program lain yang dianggap lebih “strategis”? Dalam negara yang mengaku menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, dana bencana semestinya menjadi anggaran paling sakral menyangkut nyawa, masa depan, dan martabat rakyat.

Status bencana nasional bukan sekadar label administratif. Ia adalah pengakuan bahwa bencana ini terlalu besar untuk dipikul daerah sendirian. Lebih dari itu, ia merupakan komitmen moral negara untuk hadir sepenuhnya, tidak sekadar memberikan komentar atau meninjau lokasi bencana dari balik rombongan pejabat.

Tanpa keputusan nasional, hambatan akan terus terjadi: distribusi logistik tersendat, layanan kesehatan terbatas, air bersih sulit, dan rehabilitasi jangka panjang kehilangan arah. Kerusakan infrastruktur vital seperti jembatan, sekolah, rumah sakit, hingga jalur transportasi telah melumpuhkan pelayanan dasar. Beberapa wilayah, seperti Aceh Tamiang, bahkan mengalami kelumpuhan total.

Dalam situasi genting ini, Presiden Prabowo Subianto memegang peran penentu. Kebijakan yang diambil kini akan menentukan cepat atau lambatnya Sumatera bangkit. Kepemimpinan tidak diukur dari berapa banyak lokasi bencana yang dikunjungi, tetapi dari keberanian mengambil keputusan yang menyelamatkan nyawa.

Presiden harus membuktikan bahwa kemanusiaan bukan retorika, melainkan prioritas. Bahwa negara tidak hanya hadir dalam konferensi pers, tetapi berada di jantung bencana, di tengah warga yang sedang mempertahankan hidupnya.

Selama korban masih mungkin bertambah dan kerusakan belum sepenuhnya terdata, rakyat menunggu langkah konkret. Mereka membutuhkan negara yang bekerja, bukan negara yang menunda.

Saatnya tombol darurat itu ditekan. Tetapkan status bencana nasional sekarang demi kemanusiaan, demi rakyat, demi Indonesia.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI