Beranda / Tajuk / Pemimpin Toxic Bermuka Dua Mengancam Pilkada Aceh

Pemimpin Toxic Bermuka Dua Mengancam Pilkada Aceh

Minggu, 21 Juli 2024 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

DIALEKSIS.COM | Tajuk - Menjelang penentuan bakal calon (bacalon) dalam Pilkada Aceh, masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi munculnya pemimpin yang toxic, tidak gentleman, dan bermuka dua. Fenomena ini bukan hanya mengancam kualitas demokrasi, tetapi juga dapat berdampak negatif pada stabilitas dan kemajuan daerah.

Pemimpin toxic dan bermuka dua umumnya dicirikan dengan perilaku yang cenderung manipulatif, pendendam, dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok daripada kesejahteraan rakyat. Mereka sering kali menggunakan retorika populis untuk memikat hati pemilih, namun abai terhadap etika kepemimpinan dan tata kelola pemerintahan yang baik. Lebih mengkhawatirkan lagi, beberapa calon bahkan memiliki rekam jejak sebagai penghianat kepentingan rakyat.

Jika mencermati ciri dari pemimpin problematik ini antara lain; narcissisme politik: Selalu menonjolkan diri dan prestasi semu, namun abai terhadap kebutuhan rakyat, manipulasi citra: Pandai memanipulasi media dan opini publik untuk menutupi kekurangan dan skandal.

Bahkan kental perilaku nepotisme terselubung: menggunakan kekuasaan untuk menguntungkan keluarga dan kroni, bukan masyarakat luas. Belum lagi tindakan yang inkonsistensi: sering mengingkari janji dan berubah pendirian demi kepentingan politik sesaat.

Parahnya lagi orang ini memiliki karakter pengkhianatan terhadap orang yang sudah mendukungnya untuk besar, hingga diakui dan mendapatkan posisi jabatan dan kekuasaan.

Semua ciri tersebut perlu diwaspadai. Jangan memberikan ruang dan kesempatan bagi orang-orang berkarakter toxic untuk memimpin Aceh. Jika mereka memimpin, sudah bisa dipastikan kondisi Aceh akan mengalami kemunduran dan rusaknya masa depan daerah ini.

Selain memiliki karakter toxic, sikap tidak gentleman dalam berpolitik juga dapat terlihat dari cara-cara tidak etis dalam berkompetisi, seperti tidak tunduk pada aturan yang sudah mengikat ketika ingin berkompetisi di Pilkada. Ketidakpatuhan ini menunjukkan perlawanan terhadap aturan yang berbahaya jika diberi kesempatan. Siapa pun orangnya, jika memiliki sifat ini akan selalu menentang pemerintah pusat karena tidak tunduk dengan aturan yang mengikatnya. Perilaku semacam ini bukan hanya mencederai prinsip-prinsip demokrasi, tetapi juga dapat memicu konflik horizontal di masyarakat.

Lebih jauh lagi, pasca konflik berkepanjangan, kehadiran pemimpin yang toxic dan bermuka dua berpotensi membuka luka lama dan menghambat proses perdamaian yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, masyarakat Aceh perlu bersikap kritis dan cerdas dalam menilai setiap bacalon yang muncul.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menilai kualitas calon pemimpin antara lain:

1. Track record dan integritas: Sejauh mana calon pemimpin telah menunjukkan dedikasi dan kejujuran dalam karir sebelumnya?

2. Visi dan program: Apakah visi dan program yang ditawarkan realistis dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat?

3. Kemampuan membangun tim dan berkolaborasi: Bagaimana calon pemimpin menunjukkan kemampuannya dalam membangun tim yang solid dan berkolaborasi dengan berbagai pihak?

4. Sikap terhadap kritik dan perbedaan pendapat: Sejauh mana calon pemimpin mampu menerima kritik dan menghargai perbedaan pendapat?

5. Komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM: Bagaimana pandangan dan sikap calon pemimpin terhadap isu-isu demokrasi dan hak asasi manusia?

6. Konsistensi antara ucapan dan tindakan.

7. Transparansi dalam hal kekayaan dan sumber pendanaan kampanye.

Partai politik, lembaga penyelenggara pemilu, dan masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mencegah munculnya pemimpin toxic dan bermuka dua. Mereka perlu menerapkan standar yang ketat dalam proses seleksi bacalon, termasuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan yang komprehensif.

Masyarakat Aceh harus belajar dari pengalaman pahit masa lalu dan tidak terjebak pada pesona retorika kosong atau janji-janji muluk yang tidak realistis. Pilkada harus menjadi momentum untuk memilih pemimpin yang benar-benar mampu membawa Aceh ke arah yang lebih baik, bukan sekadar pertarungan ego atau perebutan kekuasaan semata.

Dengan kesadaran kolektif dan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat, Aceh dapat terhindar dari jebakan pemimpin toxic dan bermuka dua. Pilkada harus menjadi ajang kontestasi ide dan program, bukan adu kekuatan atau intimidasi. Hanya dengan demikian, Aceh dapat melangkah maju menuju masa depan yang lebih cerah dan sejahtera.


Keyword:


Editor :
Redaksi

kip
riset-JSI
Komentar Anda