DIALEKSIS.COM | Aceh - Pameran tumpukan uang tunai senilai Rp6,6 triliun oleh Kejaksaan Agung menjelang akhir tahun memantik pertanyaan publik. Uang yang diklaim berasal dari penertiban kawasan hutan, dugaan korupsi ekspor sawit, serta praktik impor gula sejak Januari 2025 itu dinilai menyisakan banyak kejanggalan, terutama soal asal-usul dan mekanisme pengelolaannya.
Dosen FISIP Universitas Malikussaleh, Dr. Teuku Kemal Fasya, mempertanyakan di mana uang tersebut disimpan sejak awal tahun sebelum dipertontonkan ke publik. Menurut dia, jika praktik pengemplangan dan korupsi itu terjadi sejak Januari, semestinya ada penjelasan terbuka mengenai posisi dan pengamanan dana tersebut sebelum diserahkan negara.
“Anehnya, sejak Januari sampai sebelum pameran oleh Kejagung, duit itu diletakkan di mana selama ini?” kata Kemal Fasya kepada redaksi Dialeksis.
Ia juga menyoroti fakta bahwa uang tersebut belum langsung dimasukkan ke perbendaharaan negara, padahal tahun anggaran hampir ditutup. Kondisi itu, menurutnya, bertentangan dengan prinsip tata kelola keuangan negara yang menuntut kejelasan waktu dan mekanisme penyetoran.
“Lebih aneh lagi, kenapa uang itu belum dimasukkan ke perbendaharaan negara, padahal sudah mau tutup buku,” ujarnya.
Kemal juga mempertanyakan bentuk uang yang dipamerkan dalam wujud tunai. Ia menilai, praktik korupsi di sektor kehutanan, sawit, dan impor komoditas biasanya melibatkan skema korporasi, pembukuan perusahaan, serta pencucian uang lintas rekening, bukan disimpan dalam bentuk kas.
“Kalau ini uang dari korupsi hutan, sawit, dan gula, biasanya sudah rapi di pembukuan perusahaan atau lewat money laundering. Bukan cash. Cash seperti ini lebih mirip kasus operasi tangkap tangan,” kata dia.
Ia menambahkan, kemunculan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) sebagai aktor utama pengumpulan dana tunai sebesar itu juga memunculkan tanda tanya. Menurut Kemal, selama ini publik lebih mengenal Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga yang menangani penyitaan uang tunai dalam jumlah besar melalui OTT.
“Saya baru dengar ada satgas yang dalam setahun bisa mengumpulkan uang cash ala OTT sampai Rp6,6 triliun. Ini bahkan terkesan lebih hebat dari KPK,” ujarnya.
Kemal menilai, tanpa penjelasan rinci dari aparat penegak hukum, publik berisiko disuguhi narasi simbolik tanpa kejelasan prosedural. Ia meminta Kejaksaan Agung dan pemerintah membuka informasi secara transparan agar tidak menimbulkan spekulasi di tengah situasi sosial dan politik yang sensitif menjelang pergantian tahun.
“Aneh atau tidak, publik berhak diberi penjelasan. Supaya masyarakat tidak dibiarkan bertanya-tanya di momen duka cita nasional seperti sekarang,” kata Kemal Fasya menutup komentarnya.