DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Ar-Raniry, Ramzi Murziqin, menyoroti keanomalian serius yang muncul dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait pemisahan Pemilu Serentak Nasional dan Pemilu Serentak Lokal. Menurutnya, amar putusan tersebut berdampak langsung pada tata kelola politik Aceh yang memiliki lanskap berbeda dibanding daerah lain di Indonesia.
Ramzi menilai, meski putusan itu memastikan pemenuhan prinsip konstitusional lima tahunan untuk pemilihan Presiden, DPR RI dan DPD pada Pemilu 2029, namun MK tidak memberi kejelasan mengenai mekanisme pengisian kursi legislatif daerah, khususnya DPRA dan DPRK. Padahal posisi lembaga legislatif di Aceh memiliki kekhususan tersendiri dalam kerangka Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
“Pasal 22E UUD 1945 mengatur bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun. Pemilu pusat aman, jadwalnya jelas. Namun untuk Aceh, MK 135 tidak memuat satu pun pedoman bagaimana mengisi kursi DPRA dan DPRD ketika pemilu daerah dipisahkan dari pemilu nasional. Kekosongan norma ini berpotensi memunculkan kekacauan tata kelola pemerintahan,” kata Ramzi kepada Dialeksis, Minggu (23/11).
Ramzi menjelaskan Aceh memiliki desain politik yang tidak identik dengan provinsi lain. DPRA bukan sekadar DPRD provinsi, melainkan lembaga dengan kewenangan legislasi yang bersentuhan langsung dengan implementasi kekhususan Aceh, termasuk qanun, perjanjian damai, dan pengaturan adat.
Karena amar MK 135 tidak menjelaskan apakah masa jabatan legislatif daerah diperpanjang atau diperpendek, tidak pula menjelaskan kapan Pemilu Lokal akan digelar setelah dipisahkan, maka Aceh menghadapi risiko kekosongan legitimasi legislatif.
“Jika masa jabatan DPRA berakhir tetapi pemilu legislatif lokal baru digelar dua atau tiga tahun setelahnya, siapa yang memegang mandat rakyat? Ini persoalan serius yang tidak bisa dibiarkan mengalir tanpa aturan,” ujarnya.
Selain itu, tanpa aturan transisi, pemerintah pusat maupun Pemerintah Aceh dapat dipaksa mengambil keputusan ad hoc, seperti perpanjangan masa jabatan legislatif atau pengisian kursi sementara. Kebijakan semacam itu berpotensi memicu konflik politik baru dan sengketa hukum lanjutan.
Ramzi memetakan sedikitnya empat dampak yang dapat muncul di Aceh jika kekosongan aturan ini tidak segera ditangani, yaitu:
1. Kekosongan legitimasi DPRA/DPRK jika masa jabatan berakhir lebih cepat dari jadwal Pemilu Lokal.
2. Risiko perpanjangan jabatan legislatif secara sepihak, yang dapat dipandang sebagai tindakan politis dan merusak kepercayaan publik.
3. Terganggunya agenda legislasi Aceh, terutama yang berkaitan dengan qanun, otonomi khusus, dan keberlanjutan program strategis daerah.
4. Kebingungan penyelenggara pemilu, karena KIP Aceh harus menyiapkan pemilu dengan kalender baru tapi tanpa dasar hukum yang memadai.
Menurutnya, kondisi ini bukan sekadar ketidakjelasan administratif, melainkan potensi anomali politik yang dapat mengganggu keseluruhan arsitektur pemerintahan Aceh.
Sebagai akademisi yang menelaah dinamika politik Aceh, Ramzi memberikan sejumlah rekomendasi untuk mencegah munculnya kekosongan kekuasaan maupun kekacauan aturan.
Pertama, DPR RI perlu segera menyusun dan mengesahkan aturan transisi melalui revisi UU Pemilu atau membentuk paket legislasi transisi khusus. Aturan ini harus secara jelas mengatur masa jabatan legislatif daerah dan waktu pelaksanaan Pemilu Lokal.
Kedua, pemerintah pusat dapat menyiapkan regulasi transisi bersifat sementara--baik melalui Peraturan Pemerintah maupun Perppu namun langkah tersebut harus ditempuh secara transparan dan tidak membuka ruang kecurigaan politik.
Ketiga, Aceh membutuhkan meja dialog khusus antara Kemendagri, KPU, KIP Aceh, Pemerintah Aceh, dan DPRA untuk menyusun mekanisme sinkronisasi yang sesuai dengan UUPA. Menurut Ramzi, Aceh bahkan bisa mempertimbangkan pemilu legislatif daerah dengan masa jabatan singkat sebagai periode penyesuaian menuju siklus lima tahunan yang baru.
Keempat, penyelenggara pemilu harus segera menyiapkan pedoman teknis (PKPU dan Peraturan KIP Aceh) agar publik tidak terjebak dalam kebingungan informasi.
Ramzi menegaskan, putusan MK 135 bukanlah masalah pada esensinya, melainkan pada kekosongan teknis yang ditinggalkan. Tanpa regulasi pelaksana yang memadai, Aceh berpotensi memasuki fase transisi politik yang tidak pasti.
“MK memberi arah baru. Namun arah itu harus diterjemahkan dengan aturan yang tepat agar tidak merusak kelangsungan pemerintahan. Untuk Aceh, kepastian hukum bukan hanya soal prosedur, tapi soal keberlanjutan perdamaian dan tata kelola,” tegas Ramzi.
Dengan demikian, ia berharap pemerintah pusat, DPR RI, KPU, dan Pemerintah Aceh bergerak cepat mengisi kekosongan tersebut sebelum krisis legitimasi muncul pada masa transisi Pemilu 2029.