DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak kasus guru yang dilaporkan ke pihak berwajib oleh orang tua murid karena menegur atau memberikan konsekuensi edukatif kepada siswa. Situasi ini menimbulkan keprihatinan mendalam, terutama di kalangan dunia pendidikan.
Sekretaris Jenderal Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Aceh Tengah (IPPEMATA), Riza Amri, yang juga guru di SMP Islam Qur’ani Banda Aceh, menyebut kondisi tersebut sebagai bentuk kemunduran moral dan sistem perlindungan hukum terhadap pendidik.
“Dalam kasus-kasus seperti ini, guru seakan ditempatkan pada posisi paling lemah. Ketika mereka menjalankan tugas edukatif dan menegakkan kedisiplinan, tiba-tiba diposisikan sebagai tersangka. Ini adalah tragedi dalam dunia pendidikan kita,” tegas Riza Amri kepada media dialeksis.com, Selasa, 25 November 2025.
Menurut Riza, pendidikan tidak hanya berkaitan dengan transfer ilmu, tetapi juga pembentukan karakter. Namun dalam realitas saat ini, guru sering berada dalam dilema besar yaitu jika bertindak tegas berisiko dipolisikan, jika membiarkan perilaku siswa, sekolah kehilangan kontrol terhadap proses pembentukan karakter.
“Guru kini bekerja dalam ketakutan. Banyak rekan kami mengatakan ‘lebih baik diam, daripada berurusan dengan polisi’. Padahal disiplin adalah bagian integral dari pendidikan,” lanjutnya.
Riza menilai, maraknya laporan polisi terhadap guru tidak semata soal hukum, melainkan menunjukkan lemahnya sistem pendampingan profesional.
Ketika terjadi konflik, guru sering dibiarkan sendirian menghadapi konsekuensi hukum tanpa pembelaan dari pihak sekolah, dinas pendidikan, maupun organisasi profesi.
Dalam beberapa kasus, orang tua murid disebut terlalu cepat mengambil jalur hukum tanpa memahami batas kewenangan guru sebagai pendidik. Hal ini memicu krisis kepercayaan yang akut antara sekolah dan keluarga.
“Ada kecenderungan sebagian orang tua memandang sekolah hanya sebagai penyedia layanan, bukan mitra dalam membentuk karakter anak mereka. Ketika terjadi masalah kecil, langsung proses hukum. Ini sangat tidak mendidik,” ujar Riza.
Ia menegaskan bahwa negara seharusnya hadir melalui instrumen perlindungan hukum dan regulasi yang jelas, agar guru tidak menjadi korban kriminalisasi.
IPPEMATA mendorong lahirnya regulasi khusus dan pendampingan hukum otomatis bagi guru yang terlibat konflik dengan siswa dan orang tua.
“Kami menuntut pemerintah, Dinas Pendidikan, dan DPR untuk menghadirkan payung hukum yang tegas. Guru yang menjalankan tugas profesional harus dilindungi, bukan dikriminalisasi,” kata Riza.
Ia menambahkan bahwa penghilangan disiplin bukan solusi. Sekolah tanpa disiplin akan melahirkan generasi yang lemah, tidak menghormati aturan, dan sulit diarahkan.
“Bangsa ini akan hancur kalau guru tidak bisa lagi mendidik. Perlindungan terhadap guru berarti perlindungan terhadap masa depan anak-anak kita,” ujarnya.
Riza mengajak adanya rekonsolidasi moral antara semua pihak yang terlibat dalam pendidikan--sekolah, keluarga, masyarakat, dan negara.
“Hormatilah guru. Berikan kepercayaan dan ruang yang layak bagi mereka. Jika terjadi masalah, selesaikan secara edukatif dan kekeluargaan, bukan kriminal,” pungkasnya.