DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina) menanggapi secara kritis wacana dan tawaran pengelolaan kayu yang terbawa arus pasca bencana banjir bandang dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Aceh.
Forbina menilai, isu tersebut tidak boleh diperlakukan sebagai peluang bisnis semata, melainkan harus ditempatkan dalam kerangka pemulihan lingkungan dan kepentingan masyarakat terdampak.
Direktur Eksekutif Forbina, Muhammad Nur, S.H., menegaskan bahwa kayu-kayu yang hanyut akibat bencana merupakan bagian dari kerusakan ekologis yang serius, bukan komoditas yang dapat dikelola tanpa dasar hukum dan kajian lingkungan yang ketat.
“Kami mengkritik keras setiap tawaran pengelolaan kayu pasca banjir bandang dan longsor yang hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi. Ini sangat berbahaya jika negara dan pemerintah daerah abai terhadap akar persoalan, yakni kerusakan hutan dan tata kelola lingkungan yang buruk,” tegas Muhammad Nur saat diminta tanggapan Dialeksis, 21/12/2025.
Menurutnya, praktik semacam ini berpotensi melegitimasi pembalakan liar secara tidak langsung, sekaligus mengaburkan tanggung jawab pihak-pihak yang selama ini diduga berkontribusi terhadap degradasi kawasan hutan di Aceh.
Muhammad Nur menilai, sebelum berbicara soal pengelolaan kayu, pemerintah harus lebih dahulu melakukan audit menyeluruh terhadap penyebab bencana, termasuk aktivitas perizinan kehutanan, pertambangan, dan pembukaan lahan di daerah hulu.
“Jika kayu yang terbawa arus kemudian dikelola tanpa transparansi dan pengawasan ketat, ini justru membuka ruang moral hazard. Seolah-olah bencana menjadi pintu masuk legalisasi kayu yang asal-usulnya patut dipertanyakan,” ujarnya.
Namun demikian, Forbina tidak menutup mata terhadap kebutuhan penanganan material kayu yang berserakan dan mengganggu pemulihan wilayah terdampak. Muhammad Nur menekankan bahwa pengelolaan hanya dapat dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, berbasis hukum, dan berpihak pada masyarakat.
“Solusinya harus jelas dan tegas. Pertama, pemerintah wajib memastikan status hukum kayu tersebut. Kedua, pengelolaannya harus berada di bawah kendali negara dengan melibatkan masyarakat lokal, bukan diserahkan kepada kepentingan bisnis tertentu. Ketiga, hasilnya harus dikembalikan untuk pemulihan lingkungan dan kesejahteraan korban bencana,” jelasnya.
Forbina juga mendorong agar momentum bencana ini dijadikan titik balik untuk membenahi tata kelola sumber daya alam di Aceh secara menyeluruh, bukan sekadar penanganan sesaat.
“Aceh tidak boleh terus-menerus menjadi korban dari kesalahan kebijakan lingkungan. Jika tidak ada pembenahan serius, bencana akan berulang dan masyarakat kembali menanggung akibatnya,” tutup Muhammad Nur.
