Minggu, 23 November 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Fahrul Rizha Yusuf: Putusan MK 135 Momentum Mengubah Arah Pemilu Aceh

Fahrul Rizha Yusuf: Putusan MK 135 Momentum Mengubah Arah Pemilu Aceh

Minggu, 23 November 2025 13:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Komisioner Panwaslih Aceh, Fahrul Rizha Yusuf. Foto: doc Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Komisioner Panwaslih Aceh, Fahrul Rizha Yusuf, mengingatkan bahwa pemahaman publik terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 masih jauh dari memadai. Putusan yang memisahkan penyelenggaraan Pemilu Serentak Nasional dan Pemilu Serentak Lokal ini, kata dia, membawa implikasi besar terhadap desain pemilu, namun belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat pemilih hingga aktor politik di tingkat paling bawah.

“Masih banyak kerancuan di masyarakat terkait konsekuensi putusan ini. Karena itu, edukasi demokrasi pemilu harus terus dirawat,” ujar Fahrul saat bertemu Dialeksis di Jakarta Coffee House Jalan Wahid Hasyim, Minggu 23 November 2025. Untuk memperkuat ruang diskusi demokrasi, Panwaslih Aceh menggelar rangkaian diskusi publik di 23 kabupaten/kota. Forum itu mempertemukan penyelenggara, akademisi, organisasi masyarakat sipil. 

Fahrul mengatakan, diskusi ini bukan sekadar rutinitas sosialisasi pemilu belaka, tapi ruang percakapan kritis evaluasi pemilu dan pilkada untuk merawat semangat berdemokrasi di Aceh.  

Termasuk tentang bagaimana putusan MK mengubah sistem tata kelola pemilu. “Kita ingin publik memahami landscape arah baru pemilu, bukan sekadar hafal jadwal dan mekanisme teknis tahapan pemilu belakan.”

Dari rangkaian dialog itu, Panwaslih mencatat munculnya harapan yang relatif seragam dari masyarakat akar rumput. Pemilih menginginkan perubahan yang lebih substansial, mulai dari cara berkampanye, cara berkolaborasi dan berpartisipasi hingga cara penyelenggara menindak pelanggaran,.

Hasil rangkuman dari lapangan di 23 kabupaten/kota di Aceh dilakukan Panwaslih Aceh, teridentifikasi masyarakat menuntut: kampanye politik yang mencerdaskan, bukan transaksional, pendidikan politik lintas sektor yang membangun peradaban demokrasi, penegakan yang lebih tegas terhadap politik uang, dan transparansi dan akuntabilitas terhadap hasil pemilu.

“Intinya, publik ingin pemilu yang bermartabat. Mereka ingin proses demokrasi yang memberi ruang pendidikan, menjasian rakyat yang berdaulat bukan praktik yang dipertontonkan dan mengulang kerusakan,” kata Fahrul.

Fahrul juga menyinggung pula Putusan MK Nomor 104/PUU-XXIII/2025, yang memperkuat kewenangan Bawaslu dalam menangani pelanggaran administrasi Pilkada. Dalam konteks itu, ia menegaskan bahwa rekomendasi pengawas pemilu kepada KPU atau KIP bukanlah panduan normatif yang bisa dinegosiasikan. 

“Rekomendasi harus dipahami sebagai keputusan yang wajib ditindaklanjuti. Ini menyangkut integritas hasil pemilu," tegasnya.

Menurut Fahrul, kelembagaan pengawasan pemilu perlu dibenahi khususnya dalam hal hirarkhis. Ia menyebut bahwa selama ini, struktur pengawas Pilkada sering kali memunculkan beban tambahan bagi daerah karena pembentukan Panwaslih pilkada membutuhkan anggaran yang besar yan membebankan APBA dan APBK. 

Akibatnya, sejumlah daerah kerap terlambat membentuk panwaslih adhok khusus pilkada karena menunggu kepastian anggaran. Kondisi itu, kata dia, menjadi tidak efisien dan menambah kerumitan koordinasi padahal tahapan pilkada telah berlangsung.

“Jika pengawasan berada dalam satu struktur tunggal dengan Bawaslu, koordinasi lebih cepat, beban anggaran daerah berkurang. Pemerintah Aceh dan kabupaten bisa mengalokasikan lebih banyak anggaran untuk kesejahteraan rakyatnya, bukan untuk badan ad hoc yang berulang.”

Berbeda dengan Panwaslih Pemilu semua anggaran telah tersedia dari APBN setiap tahun termasuk sekretariat yang terus dilatih oleh Bawaslu untuk menjamin keberlangsungan penguatan kelembagaan permanen.

Fahrul menegaskan bahwa Putusan MK 135 menutup ruang bagi dualisme pemilu. Pemilu nasional dan lokal kini menjadi satu rezim tunggal, sehingga landasan hukumnya tidak boleh lagi dipisahkan. 

“UU Pemilu dan UU Pilkada harus diselaraskan. Secara logika hukum, keduanya harus duduk dalam satu bangku regulasi bukan dua sistem yang berjalan sendiri," jelasnya. 

Di akhir pembicaraan, Fahrul menekankan tantangan spesifik Aceh pada pertanyaan  bagaimana menjaga pemilu tetap demokratis, namun tidak tercerabut dari nilai-nilai syariat.

“Pemilu Aceh harus memadukan dua keutamaan yakni demokrasi yang sehat dan sesuai dengan nilai-nilai syariat dalam praktek berpolitik. Aceh harus mampu bukan hanya menjadikan pemilu berlangsung damai. Kedepan Pemilu di Aceh harus menjadi pilar menjaga kearifan lokal yang bersyariat dalam setiap kontestasi pemilihan menghadirkan pendidikan politik bagi masyarakat sebagai bagian membangun peradaban yang memberi arah adab berpolitik. Itu tantangan besar kita,” pungkas ahli Pemilu ini.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI