DIALEKSIS.COM | Jakarta - Isu dugaan pungutan liar (pungli) yang disebut-sebut berlangsung secara masif di Aceh Selatan kembali mencuat dan menimbulkan keresahan publik.
Pemerhati Intelijen, Sri Radjasa, secara tegas mendesak aparat penegak hukum di Aceh, khususnya di Aceh Selatan, agar segera menindaklanjuti berbagai informasi yang telah lama berkembang di tengah masyarakat.
Menurut Radjasa, informasi yang beredar luas tidak boleh dibiarkan tanpa respons hukum yang jelas. Pembiaran justru akan memperkuat persepsi publik bahwa penegakan hukum tumpul ke atas dan kehilangan keberpihakan pada rasa keadilan masyarakat.
“Berdasarkan informasi yang berkembang di masyarakat, ada oknum orang dekat Bupati yang melakukan pengutipan sekitar 15-17 persen terhadap rekanan, khususnya bagi pihak yang ingin agar utang tahun 2024 dibayarkan ,” ujar Sri Radjasa, Jumat (26/12/2025).
Ia menegaskan, informasi awal yang telah menjadi konsumsi publik tersebut seharusnya cukup menjadi pintu masuk bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut. Terlebih, di setiap institusi penegak hukum terdapat unsur intelijen yang memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menelusuri indikasi awal secara mendalam dan terukur.
Radjasa juga menyoroti ketimpangan antara narasi efisiensi anggaran yang selama ini disampaikan Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan dengan realisasi pembayaran utang daerah. Berdasarkan informasi yang ia peroleh, dari total utang Pemkab Aceh Selatan tahun 2024 sebesar Rp184,2 miliar, pemerintah daerah disebut hanya merealisasikan pembayaran sekitar Rp20 miliar.
Angka tersebut dinilai sangat janggal, mengingat total APBK Aceh Selatan disebut mencapai lebih dari Rp1,4 triliun. Kondisi ini, menurut Radjasa, menunjukkan lemahnya komitmen kepemimpinan daerah dalam menyelesaikan kewajiban kepada pihak rekanan.
“Selama ini alasan yang disampaikan adalah efisiensi dan beban utang daerah, sehingga masyarakat dan rekanan diminta bersabar. Namun faktanya, dari APBK yang besar, hanya Rp20 miliar yang dibayarkan. Ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kesungguhan pemerintah daerah,” tegasnya.
Jika dugaan adanya pungutan hingga 15-17 persen tersebut benar, Radjasa menilai praktik itu semakin menekan posisi rekanan yang sejak awal telah dirugikan akibat keterlambatan pembayaran utang.
“Ini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, lalu ditimpa lagi pakai kursi,” katanya.
Selain dugaan pungli terkait pembayaran utang, Radjasa juga menyinggung adanya isu pengutipan liar dalam program revitalisasi sekolah yang dananya turun ke Aceh Selatan. Berdasarkan informasi yang beredar di masyarakat, pungli dalam program tersebut diduga mencapai sekitar 15 persen dan melibatkan oknum non-ASN yang disebut-sebut dekat dengan lingkaran kekuasaan.
Menurutnya, dugaan ini tidak bisa dianggap sepele karena program revitalisasi sekolah merupakan bagian dari program prioritas nasional.
“Program revitalisasi sekolah adalah program prioritas Presiden. Jangan sampai program yang seharusnya meningkatkan kualitas pendidikan justru dibajak oleh kepentingan oknum,” ujarnya.
Atas berbagai indikasi yang berkembang di masyarakat tersebut, Radjasa mendesak Kejaksaan Negeri Aceh Selatan yang baru agar bersikap tegas, profesional, dan independen dalam menindaklanjuti setiap informasi yang berkembang. Ia mengingatkan bahwa sikap diam aparat penegak hukum hanya akan memperdalam krisis kepercayaan masyarakat.
“Jika penegak hukum di Aceh Selatan tidak menindaklanjuti secara serius, maka hal ini patut dilaporkan ke Kejaksaan Agung. Kejagung harus turun tangan melakukan supervisi,” tegasnya.