DIALEKSIS.COM | Opini - Ketika bencana berlalu, biasanya yang pertama kali dihitung adalah jumlah rumah rusak, jembatan putus, dan dana rehabilitasi yang digelontorkan. Data disusun rapi, laporan diserahkan, dan status darurat perlahan dicabut. Namun, ada satu hal yang jarang masuk dalam perhitungan pascabencana di Aceh, yakni berapa banyak anak yang masih terbangun di malam hari karena takut hujan, gelisah setiap kali mendengar suara keras, atau kehilangan minat belajar tanpa tahu bagaimana menjelaskannya.
Aceh bukan wilayah yang asing dengan bencana. Gempa bumi dan tsunami 2004 menjadi trauma yang tidak dapat dihilangkan begitu saja bagi masyarakat Aceh hingga hari ini. Setelah itu, bencana terus datang dalam bentuk lain seperti banjir, longsor, abrasi, dan cuaca ekstrem yang hadir hampir setiap tahun di berbagai kabupaten/kota.
Realitas ini menegaskan bahwa Aceh hidup dalam wilayah risiko bencana yang berulang. Di tengah kondisi tersebut, anak-anak tumbuh bukan hanya dengan ancaman fisik, tetapi juga tekanan psikologis yang sering kali luput dari perhatian kebijakan.
Selama ini, penanganan pascabencana di Aceh masih bertumpu pada pendekatan fisik dan administratif. Keberhasilan diukur dari seberapa cepat rumah dibangun kembali, infrastruktur diperbaiki, dan bantuan logistik disalurkan. Pendekatan ini tentu penting, tetapi menjadi tidak memadai ketika pemulihan psikologis anak tidak ditempatkan sebagai prioritas. Akibatnya, pemulihan yang terjadi sering kali hanya menyentuh permukaan, sementara luka emosional anak-anak dibiarkan pulih secara alamiah atau justru mengendap tanpa pernah benar-benar tertangani.
Bagi anak, bencana bukan sekadar peristiwa alam yang tercatat dalam laporan. Bencana adalah pengalaman yang mengguncang rasa aman paling dasar. Tinggal di pengungsian, kehilangan ruang bermain dan belajar, menyaksikan kepanikan orang dewasa, atau terpisah dari figur yang memberikan rasa aman merupakan pengalaman yang dapat meninggalkan jejak psikologis mendalam. Trauma pada anak sering kali tidak tampil dalam bentuk yang dramatis, melainkan hadir secara senyap melalui perubahan perilaku. Anak menjadi pendiam, mudah marah, sulit berkonsentrasi, atau kehilangan motivasi belajar.
Dalam perspektif psikologi perkembangan, anak sangat bergantung pada stabilitas lingkungan untuk tumbuh secara sehat. Bencana merusak stabilitas tersebut secara tiba-tiba dan drastis. Di Aceh, tantangan ini menjadi lebih kompleks karena sebagian anak tidak hanya mengalami satu peristiwa traumatis, tetapi hidup dalam kemungkinan trauma yang berulang. Tanpa mekanisme pemulihan psikologis yang sistematis dan berkelanjutan, pengalaman ini berpotensi menumpuk dan membentuk kecemasan jangka panjang yang memengaruhi perkembangan emosi, sosial, dan akademik anak.
Utamakan Pemulihan Psikologis Anak
Pemulihan psikologis anak pascabencana masih kerap dipahami sebagai kegiatan tambahan, bukan sebagai kebutuhan utama. Pengalaman Tsunami Aceh 2004 menunjukkan bahwa perhatian besar pada fase darurat dan rekonstruksi fisik sering kali tidak diiringi dengan upaya pemulihan psikologis yang berkelanjutan bagi anak-anak. Ketika fase darurat dinyatakan selesai, perhatian terhadap kondisi psikologis anak perlahan menghilang, seolah-olah trauma dapat pulih dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.
Pandangan ini mencerminkan paradigma penanganan bencana yang masih berorientasi pada hasil cepat dan terukur secara fisik. Padahal, pemulihan psikologis merupakan proses jangka panjang yang tidak selalu menghasilkan capaian instan. Anak membutuhkan ruang aman yang konsisten, relasi yang suportif, serta pendampingan berkelanjutan untuk membangun kembali rasa percaya terhadap lingkungan. Tanpa dukungan tersebut, trauma dapat bertransformasi menjadi masalah perilaku, kesulitan belajar, bahkan gangguan kesehatan mental di kemudian hari.
Menjadikan pemulihan psikologis anak sebagai prioritas berarti melakukan reorientasi paradigma secara mendasar. Prioritas di sini berarti menempatkan kesejahteraan psikologis anak sejajar dengan pemulihan fisik dan ekonomi. Dalam konteks ini, keberhasilan penanganan pascabencana tidak lagi semata diukur dari berdirinya bangunan baru, tetapi juga dari pulihnya fungsi psikososial anak dalam kehidupan sehari-hari.
Di Aceh, reorientasi paradigma ini menjadi sangat relevan. Wilayah yang berulang kali mengalami bencana membutuhkan pendekatan penanganan yang tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga preventif dan berkelanjutan. Pemulihan psikologis anak bukan sekadar respons terhadap peristiwa bencana, melainkan bagian integral dari strategi jangka panjang untuk membangun ketangguhan sosial masyarakat.
Dalam kerangka tersebut, sektor pendidikan memegang peran strategis. Sekolah merupakan salah satu institusi yang relatif stabil pascabencana dan menjadi titik temu berbagai aspek pemulihan. Bagi anak-anak Aceh, kembali ke sekolah sering kali menjadi simbol awal kembalinya keteraturan hidup. Namun, sekolah tidak boleh hanya berfungsi sebagai tempat mengejar ketertinggalan akademik, melainkan juga sebagai ruang pemulihan psikososial.
Guru berada di garis depan dalam mengenali kondisi emosional anak. Perubahan perilaku, penurunan konsentrasi, atau kecenderungan menarik diri sering kali pertama kali teramati di ruang kelas. Namun, peran ini tidak dapat sepenuhnya dibebankan kepada guru tanpa dukungan kebijakan dan peningkatan kapasitas. Literasi psikologis dasar serta pendekatan pembelajaran yang peka terhadap trauma perlu menjadi bagian dari sistem pendidikan di wilayah rawan bencana seperti Aceh.
Pendekatan pendidikan yang peka terhadap trauma bukan berarti menurunkan standar pembelajaran. Sebaliknya, pendekatan ini memungkinkan proses belajar berlangsung secara lebih manusiawi dan efektif. Anak yang merasa aman secara emosional akan lebih siap menerima pelajaran dan berinteraksi secara sehat. Dalam konteks Aceh, pendekatan ini sejalan dengan nilai-nilai kultural dan keagamaan yang menjunjung tinggi empati, kepedulian, serta perlindungan terhadap anak.
Di luar sekolah, keluarga dan komunitas memegang peran penting dalam pemulihan psikologis anak. Orang tua di Aceh, yang sering kali juga menjadi korban bencana, membutuhkan pendampingan agar mampu berfungsi sebagai sumber dukungan emosional bagi anak-anak mereka. Tanpa dukungan yang memadai, keluarga justru berpotensi menjadi ruang reproduksi kecemasan. Oleh karena itu, layanan kesehatan jiwa berbasis komunitas dengan pendekatan yang sensitif terhadap budaya lokal menjadi kunci dalam membangun ekosistem pemulihan yang berkelanjutan.
Dari sisi kebijakan publik, pemerintah daerah Aceh perlu secara tegas memasukkan pemulihan psikologis anak ke dalam strategi penanganan pascabencana. Indikator keberhasilan tidak cukup diukur dari jumlah rumah yang dibangun atau besaran bantuan yang disalurkan, tetapi juga dari kesejahteraan psikologis anak, termasuk kemampuan mereka kembali belajar dengan nyaman, rasa aman di lingkungan sekitar, serta harapan terhadap masa depan.
Pengalaman panjang Aceh dalam menghadapi bencana seharusnya menjadi modal penting untuk membangun pendekatan penanganan yang lebih matang dan manusiawi. Pemulihan psikologis anak bukan sekadar isu pendidikan atau kesehatan, melainkan investasi jangka panjang bagi kualitas sumber daya manusia Aceh. Anak-anak yang pulih secara emosional memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh menjadi generasi yang tangguh, adaptif, dan berdaya.
Pada akhirnya, bencana di Aceh tidak hanya menguji ketangguhan infrastruktur, tetapi juga menguji keberpihakan kebijakan terhadap generasi masa depan. Dengan menjadikan pemulihan psikologis anak sebagai prioritas dalam penanganan pascabencana, Aceh tidak hanya merespons krisis hari ini, tetapi juga menyiapkan fondasi yang lebih kuat bagi masa depan yang adil, manusiawi, dan berkelanjutan. [**]
Penulis: Djamaluddin Husita, S.Pd., M.Si (Kepala MA Ulumul Quran Kota Banda Aceh)