Sabtu, 06 Desember 2025
Beranda / Opini / Mengapa Pemerintah Lambat Tangani Bencana Banjir Di Aceh?

Mengapa Pemerintah Lambat Tangani Bencana Banjir Di Aceh?

Sabtu, 06 Desember 2025 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Taufiq A Gani

DIALEKSIS.COM | Opini - Tulisan ini hadir setelah saya terlibat diskusi ringan dengan teman menjelang tidur malam. Bencana besar yang menimpa Aceh dan wilayah Sumatera bagian utara kembali membuka satu persoalan yang terus berulang dari waktu ke waktu: negara terlihat lambat pada hari-hari pertama, saat masyarakat justru paling membutuhkan kepastian arah dan langkah. 

Percakapan saya dengan sejumlah kawan di lapangan malam ini memperlihatkan pola yang sama: warga bergerak sendiri, relawan menutupi kekosongan, sementara struktur tanggap darurat belum bekerja sebagaimana yang diamanatkan oleh regulasi.

Dalam kerangka hukum kebencanaan, garis tanggung jawab sebenarnya jelas. Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) sebenarnya cukup kuat. Karena kepalanya bukan semacam Kepala BAPPEDA, Kepala BPSDM atau kepala dinas eselon 2 lainnya. Kepala BPBA langsung dijabat oleh Gubernur Aceh secara ex officio.

Rancangan jabatan seperti ini dibuat supaya BPBA dapat langsung berkoordinasi dengan semua Satuan Kerja Pemerintah Aceh yang lain dengan cepat. Sebagai juga pimpinan daerah, Ka. BPBA lebih mudah berkoordinasi dengan pihak kepolisian dan militer di daerah. Ka. BPBA akan lebih mudah berkoordinasi dengan pemerintah pusat sipil dan militer. Dengan peran seperti diatas, BPBA seharusnya segera dapat mengaktifkan pusat pengendalian operasi dan memastikan aliran informasi yang konsisten dari provinsi hingga kabupaten/kota. Namun yang tampak di awal justru fragmentasi. 

Pejabat terlalu banyak hadir di lapangan untuk membagikan bantuan secara langsung, padahal fungsi itu dapat dijalankan unsur lain. Yang mestinya dilakukan di jam-jam pertama adalah memastikan mekanisme penyelamatan dan koordinasi darurat berjalan.

Teman-teman dari TDMRC USK mengingatkan bahwa bencana ini memang bukan peristiwa biasa. Fenomena badai yang menghantam Aceh disebut sebagai sesuatu yang belum pernah tercatat sejak Indonesia merdeka. Data NASA selama 150 tahun bahkan menunjukkan bahwa lintasan badai sebesar ini tidak pernah melewati Aceh sebelumnya. 

Tetapi fakta bahwa bencana ini luar biasa tidak menghilangkan kewajiban negara untuk hadir secara terstruktur dan terukur. Justru pada kejadian yang melampaui kapasitas daerah, struktur tanggap darurat harus bekerja lebih cepat.

Di lapangan, cerita yang muncul cukup menyakitkan. Ada desa yang delapan hari tidak tersentuh bantuan. Warga menyaring air banjir untuk minum. Data dari kabupaten-kabupaten tidak seragam, membuat situasi semakin sulit dipetakan. Ini bukan sekadar persoalan distribusi bantuan, tetapi cerminan bahwa rantai tanggap darurat belum tersusun rapi. Dalam bencana besar, penyelamatan harus dipimpin melalui kendali terkoordinasi, bukan melalui kunjungan sporadis atau respons tanpa basis data yang mutakhir.

Di tengah situasi itu, muncul pula dorongan agar bencana ini ditetapkan sebagai Bencana Nasional. Argumen tersebut lahir dari skala kerusakan yang melampaui kemampuan daerah dan jenis ancaman yang tidak pernah diperhitungkan dalam desain infrastruktur. Namun bagi saya, sebelum membahas status, yang lebih mendesak adalah menghidupkan kembali fungsi-fungsi dasar sistem tanggap darurat. Tanpa itu, apa pun status yang dipilih hanya akan menjadi perdebatan administratif tanpa perubahan di lapangan.

Ketika saya bertanya, “Siapa yang sebenarnya mengoordinasikan penyelamatan darurat? Bagaimana alur teknisnya di provinsi dan turunannya?” jawaban yang muncul menunjukkan adanya celah besar antara rapat koordinasi dan operasi nyata. Ada rapat harian, ada data masuk ke kanal provinsi, tetapi mekanisme operasional yang seharusnya memimpin penyelamatan belum terlihat hadir sebagai pusat kendali yang menentukan.

Kita bisa sepakat bahwa ini bencana yang luar biasa besar. Kita pun tentu menghormati relawan, masyarakat, dan aparat yang bekerja keras melewati lumpur, hujan, dan medan berat. Namun pada saat yang sama, kita perlu jujur bahwa keterlambatan sistemik ini harus dibicarakan. Jika tidak, pola yang sama akan berulang setiap kali bencana besar datang.

Setelah mengamati dinamika penanganan darurat kali ini, saya hanya ingin menegaskan satu hal: negara tidak boleh kalah dari menit-menit pertama bencana. Saat struktur tanggap darurat tidak bergerak cepat, rakyatlah yang menanggung seluruh akibatnya. Dan itu tidak boleh terus terulang.

Penulis: Taufiq A Gani, Alumni PPRA 65 Lemhannas, Peneliti IDCI, ASN di Perpusnas RI

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI