DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Hari Ibu hampir selalu hadir dengan narasi yang sama: ibu adalah sosok paling kuat, paling sabar, dan paling ikhlas. Ia dipuji karena kemampuannya menahan lelah, menekan emosi, dan menempatkan kebutuhan orang lain di atas dirinya sendiri. Ketangguhan ini dirayakan dalam pidato, spanduk, dan unggahan media sosial. Namun di balik pujian tersebut, ada satu kenyataan yang jarang dibicarakan secara jujur. Kekuatan yang terus dipaksakan, tanpa ruang untuk rapuh, sering kali berubah menjadi luka yang tak terlihat pada kesehatan mental perempuan.
Dalam praktik klinis sehari-hari, saya kerap menjumpai perempuan yang datang bukan dengan keluhan “gangguan jiwa”, melainkan dengan tubuh yang seolah menyerah. Mereka mengeluh sulit tidur, mudah tersinggung, jantung berdebar, nyeri tanpa sebab medis yang jelas, rasa kosong, hingga kelelahan emosional yang berlangsung lama. Ketika ditelusuri lebih dalam, hampir selalu ada cerita tentang peran yang terlalu banyak dan beban yang terlalu lama dipikul sendirian. Kelelahan yang menetap, mengganggu fungsi sehari-hari, atau disertai perasaan putus asa bukan lagi sekadar lelah biasa, melainkan sinyal kesehatan mental yang perlu diperhatikan.
Perempuan, terutama ibu, memikul apa yang dikenal sebagai beban mental, yakni tanggung jawab psikologis yang tak kasatmata, tetapi terus bekerja di kepala. Mengatur rumah, mengasuh anak, menjaga stabilitas emosi keluarga, memikirkan kebutuhan semua orang, sekaligus sering kali tetap bekerja mencari nafkah. Beban ini tidak tercatat, tidak diberi upah, dan jarang diakui. Namun dampaknya sangat nyata terhadap kesehatan mental, terutama ketika berlangsung tanpa dukungan yang seimbang.
Masalahnya, budaya kita terlalu lama memuliakan perempuan yang “kuat” tanpa menyediakan ruang yang aman untuk lelah dan rapuh. Ibu yang mengeluh dianggap kurang tabah. Ibu yang kelelahan dinilai tidak bersyukur. Ibu yang mencari bantuan psikologis sering kali dicap berlebihan atau kurang iman. Padahal, mencari bantuan profesional saat ibu merasa kewalahan bukan tanda kegagalan, melainkan bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri dan keluarganya. Stigma ini membuat banyak perempuan memilih diam dan bertahan hingga akhirnya jatuh dalam depresi, gangguan kecemasan, atau kelelahan mental berat yang terlambat ditangani.
Secara ilmiah, data global maupun nasional menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan mengalami depresi dan gangguan kecemasan dibanding laki-laki. Risiko ini meningkat pada fase-fase kehidupan tertentu, seperti masa remaja, kehamilan, pascamelahirkan, hingga saat menghadapi beban pengasuhan dan tekanan ekonomi di usia produktif. Pada perempuan lanjut usia, tekanan kehilangan peran, kesepian, dan masalah kesehatan fisik turut memperbesar risiko gangguan mental. Namun alih-alih dipahami sebagai persoalan kesehatan, kondisi ini masih sering dipersepsikan sebagai kelemahan personal semata.
Setiap fase kehidupan perempuan membawa tantangan psikologisnya sendiri. Remaja perempuan belajar menyesuaikan diri dengan perubahan tubuh, tekanan sosial, dan tuntutan prestasi. Ibu muda menghadapi kelelahan fisik dan emosional yang intens, sering kali tanpa persiapan mental yang memadai. Di usia produktif, perempuan memikul peran ganda antara keluarga dan pekerjaan, dengan ekspektasi untuk tetap sempurna di kedua ranah. Sementara pada usia lanjut, banyak perempuan menghadapi penurunan dukungan sosial, kehilangan pasangan, dan minimnya perhatian terhadap kesehatan mental lansia perempuan.
Yang kerap luput disadari, kesehatan mental ibu bukan hanya urusan individu. Ia adalah fondasi kesehatan mental keluarga. Ibu yang mengalami tekanan psikologis berkepanjangan tanpa dukungan memadai akan kesulitan hadir secara emosional bagi anak-anaknya. Ini bukan soal kurangnya cinta, melainkan keterbatasan kapasitas mental. Mengabaikan kesehatan mental ibu berarti membiarkan kerentanan yang sama diwariskan secara diam-diam ke generasi berikutnya.
Peran pasangan, khususnya suami, menjadi faktor penting yang sering diabaikan. Dalam banyak keluarga, pembagian peran yang timpang masih dianggap wajar. Dukungan emosional, pengasuhan, dan kerja domestik kerap diposisikan sebagai tugas alami ibu. Ketika ibu kelelahan, solusi yang ditawarkan sering kali bukan berbagi peran, melainkan menasihati agar lebih sabar. Padahal, dukungan emosional dan peran merawat adalah tanggung jawab bersama, bukan beban sepihak.
Pola komunikasi dalam keluarga turut menentukan apakah tekanan psikologis ibu akan mereda atau justru memburuk. Relasi suami dan istri yang minim dialog, penuh kritik, atau menormalisasi konflik tanpa penyelesaian sering membuat ibu merasa sendirian meski hidup serumah. Banyak ibu terbiasa memendam perasaan demi menjaga keharmonisan, tanpa menyadari bahwa emosi yang ditekan terus-menerus justru dapat muncul dalam bentuk gangguan kesehatan mental. Komunikasi yang terbuka dan saling menghargai bukan sekadar urusan relasi, melainkan kebutuhan kesehatan jiwa.
Ironisnya, dalam banyak keluarga, ibu justru menjadi tempat semua orang menumpang kuat. Anak bergantung, pasangan bersandar, lingkungan menuntut. Namun hampir tidak ada ruang bagi ibu untuk bersandar. Ketika ia akhirnya runtuh, yang disalahkan sering kali bukan sistem atau relasi yang tidak adil, melainkan dirinya sendiri.
Di ruang sosial, perempuan, terutama ibu, kerap dinilai dari kemampuannya mengatasi semuanya. Ibu yang tampak kewalahan dianggap tidak becus mengatur rumah tangga, sementara ibu yang terlihat rapuh dicurigai kurang kuat menghadapi hidup. Tekanan untuk selalu terlihat mampu ini membuat banyak perempuan menjalani peran dengan topeng ketangguhan. Media sosial bahkan memperkuat ilusi tersebut dengan menampilkan gambaran ibu ideal yang selalu tersenyum, produktif, dan penuh syukur. Di balik tuntutan untuk tampil kuat, ada banyak perempuan yang sebenarnya sedang berjuang agar tidak runtuh.
Ketakutan terbesar banyak perempuan bukanlah sakitnya itu sendiri, melainkan penilaian lingkungan ketika mereka berani mengaku lelah. Mengeluh dianggap membuka aib keluarga, mempermalukan pasangan, atau menunjukkan ketidakmampuan diri. Akibatnya, masalah kesehatan mental sering disimpan rapat, dibicarakan dalam bisik-bisik, atau bahkan disangkal. Dalam budaya yang sangat komunal, tekanan sosial ini sering kali lebih kuat daripada dorongan untuk mencari pertolongan.
Pengaruh nilai agama dan adat juga perlu dipahami secara bijak. Nilai ketabahan, kesabaran, dan pengorbanan sejatinya mengandung kebijaksanaan. Namun ketika dimaknai secara sempit dan digunakan untuk membungkam penderitaan, nilai tersebut justru dapat menjauhkan perempuan dari pertolongan yang mereka butuhkan. Merawat kesehatan mental tidak bertentangan dengan iman, melainkan bagian dari ikhtiar menjaga amanah kehidupan.
Ketika tekanan psikologis ibu dibiarkan terus berlangsung, dibungkam oleh norma, dipendam demi harmoni, dan diabaikan oleh sistem, yang terjadi bukan hanya penderitaan personal, melainkan risiko kelelahan yang diwariskan antargenerasi. Anak belajar dari ibu yang kehabisan tenaga emosional, pasangan terbiasa mengandalkan ketangguhan tanpa empati, dan masyarakat terus mereproduksi standar yang tidak manusiawi.
Penulis: Psikiater RSJ Aceh, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, dr. Rina Hastuti Lubis, Sp.KJ.