kip lhok
Beranda / Opini / Fenomena Kedatangan Rohingya Membuktikan Laut Aceh Tidak Baik-Baik Saja

Fenomena Kedatangan Rohingya Membuktikan Laut Aceh Tidak Baik-Baik Saja

Kamis, 28 Maret 2024 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Bahagia
Bahagia, MSi, dosen Prodi Ilmu Politik FISIP USK. [Foto: for Dialeksis.com]

DIALEKSIS.COM | Opini - Kedatangan Rombongan manusia perahu Rohingya ke Aceh tidak ada habisnya, setelah kedatangan di akhir tahun 2023 di beberapa kabupaten/kota di Aceh baru-baru ini di Kabupaten Aceh Barat kedatangan lagi para pengungsi dari Rohingya yang berjumlah puluhan orang.

Namun berbeda dengan kedatangan kali ini, beberapa dari mereka harus tenggelam di laut Aceh dengan perahu atau kapal yang mereka tumpangi di Laut Aceh tepatnya di Aceh Barat. Menurut data sumber Basarnas Pos Meulaboh terbaru sudah 11 mayat warga Rohingya ditemukan di perairan Aceh Jaya dan Aceh Barat.

 Ada apa dengan suku Rohingya? Dari beberapa sumber, suku Rohingya sendiri adalah sebuah kelompok etnis Indo-arya dari Rakhine di Myanmar yang tidak diterima warga negara oleh Myanmar. Berdasarkan BBC News, pemerintah Myanmar enggan dan tidak mengakui kewarganegaraan Rohingya yang minoritas beragama Islam di negaranya. Myanmar sendiri mayoritas beragama Budha dimana pemerintah Myanmar tetap menganggap Rohingya adalah pendatang ilegal dari Bangladesh, akibatnya terjadi pengungsian yang besar dari warga Rohingya dalam sejarahnya sejak tahun 1970-an.

Etnis Rohingya sudah bermigrasi ke seluruh wilayah dengan jumlah yang sangat tinggi,  perjalanan bahayapun mereka lakukan untuk mencari negara yang mau menerima mereka warga Rohingya tidak kecuali Indonesia melalui perairan Aceh. Di tambah lagi akibat operasi militer terhadap Rohinya di Myanmar hingga membuat Rohingya melakukan penyelamatan diri dengan bermacam upaya.

Pemerintah Kabupaten Aceh Barat akan melakukan yang terbaik kepada pengungsi Rohingya atau di sebut juga manusia perahu ini dengan rasa kemanusiaan. Apalagi mereka juga memiliki keyakinan yang sama dengan masyarakat provinsi paling Barat Indonesia Aceh, yaitu Islam. Namun dengan berjalannya waktu, terjadi penolakan pengungsi Rohingya dari masyarakat Aceh khususnya di lokasi pengungsian bagi Rohingya. Saat ini khususnya masyarakat sekitar tempat penampungan para pengungsian Rohingya di Gampong Suak Nie Kecamatan Johan Pahlawan Aceh Barat yang berlokasi di Kantor PMI setempat. Terjadi penolakan oleh warga sekitar, tapi demikian pro dan kontra terhadap penerimaan etnis Rohingnya bagi warga Aceh sendiri.

Fenomena etnis Rohingya masuk ke Laut Aceh bukan pertama kali terjadi, sudah terjadi berulang kali, yang perlu kita pertanyakan sekarang ini bersama, ada apa dengan laut Aceh, sehingga begitu mudahnya warga asing masuk ke dalam Laut Aceh.

Logikanya begitu lemah pertahanan negara di Laut Indonesia khususnya Aceh yang merupakan kedaulatan Indonesia bisa dilihat dengan mudahnya perahu Rohingya masuk. Melihat ini seakan-akan Laut Aceh sekarang ini tidak baik-baik saja, seharusnya fenomena yang selalu berulang terjadi, menjadikan semua stakeholders untuk berperan aktif khususnya pemerintah dalam melakukan kebijakan bersama TNI khususnya TNI Angkatan Laut dan Udara serta Polri melalui Korpolairud untuk mencari solusi menjaga laut Aceh, karena jika ini terus dibiarkan bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi kamp pengungsian terbesar bagi para pengungsi Rohingya di Indonesia ke depannya seperti kamp pengungsi Kutupalong yang terletak di Ukhia Cox’s Bazar Bangladesh.

Pastinya sangat sulit ini dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Meskipun dipindahkan, Rohingya juga akan berada di negara yang sama, yaitu Indonesia, hanya beda provinsi atau kabupaten dan kota karena solusinya pemindahan harus melibatkan UNHCR dengan syarat adanya negara ketiga yang mau menerima para pengungsi Rohingya.

Kita melihat fenomena penolakan yang dilakukan di Kabupaten Aceh Barat tidak jauh beda dengan kabupaten lain di Aceh seperti di Sabang, Aceh Besar, Pidie di tahun 2023 dan Aceh Barat di tahun 2024, di sinilah UNHCR harus secepatnya mencari solusi bagi para pengungsi Rohingya yang ada di Aceh.

Tanggung jawab ada di UNHCR untuk urusan pengungsi yang bermarkas di Jenewa Swiss. Badan ini didirikan pada tanggal 14 Desember 1950, yang bertujuan untuk melindungi dan memberikan bantuan kepada pengungsi berdasarkan permintaan sebuah pemerintahan atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian untuk mendampingi para pengungsi dalam proses pemindahan tempat menetap mereka yang baru.

Oleh sebab itu Pemerintah Aceh harus melakukan kebijakan-kebijakan secara cepat dan bijak dalam solusi pemindahan para pengungsi Rohingya yang ada di beberapa kabupaten di Aceh. Pemerintah Aceh tidak bisa membiarkan mereka terlalu lama tanpa ada solusi dari UNHCR di Aceh. Apalagi dalam tahun 2024, pemerintah akan melaksanakan dua kegiatan besar yaitu PON XXI Aceh-Sumut dan Pilkada di tahun yang sama.

 Pemerintah pusat harus ikut serta membantu pemerintah Aceh serta pemerintah Kabupaten Aceh Barat dalam upaya untuk proses pemindahan Rohingya. Peristiwa pengusiran dan penolakan yang dilakukan warga menjadi urgensi tersendiri untuk mencari solusi pemindahan warga Rohingya di Kabupaten Aceh Barat dan ini pastinya tidak mudah dilakukan dimana dalam satu sisi pemerintah Aceh Barat melihat rasa kemanusiaan sesuai UUD 1945, tapi di lain sisi terjadi penolakan dari warga sehingga membuat Pemkab Aceh Barat mengusir para warga Rohingya ke Kantor Bupati Aceh Barat untuk sementara waktu hingga ada solusi yang akan diberikan oleh UNHCR dengan Pemerintah Aceh serta Pusat sehingga tidak terjadi konflik antara warga lokal dengan warga Rohingnya yang akhirnya berlawanan dengan hukum. [**]

Penulis: Bahagia MSi (Dosen Prodi Ilmu Politik FISIP USK)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda