DIALEKSIS.COM | Opini - Tragedi ekologis di Aceh telah mencapai titik kritis. Setiap musim hujan, berita tentang banjir bandang, tanah longsor, dan pemukiman yang terendam atau bahkan terseret arus deras menjadi pengingat pahit akan kegagalan kita dalam mengelola lingkungan.
Banjir terbaru yang melanda berbagai kabupaten, dari hulu pegunungan hingga pesisir, adalah manifestasi langsung dari luka parah yang diderita oleh ekosistem hutan kita. Ini bukan sekadar fenomena cuaca ekstrem; ini adalah bencana akibat pilihan kebijakan yang membiarkan fungsi hutan terkikis oleh aktivitas masif pertambangan dan perkebunan skala besar.
Sebagai seorang profesional yang pernah mendedikasikan diri pada manajemen ekosistem hutan, saya harus menyatakan ini dengan tegas: wilayah kabupaten yang memiliki bentangan hutan terluas--yang seharusnya menjadi zóna konservasi--justru seringkali menjadi titik tolak kehancuran bagi wilayah di sekitarnya. Deforestasi yang dipicu oleh eksploitasi, terutama di daerah aliran sungai (DAS) yang sensitif dan memiliki kelerengan tinggi, telah menghilangkan daya dukung alam. Air yang harusnya diserap dan dilepaskan perlahan kini menjadi bah yang merusak, menghanyutkan dan menimbun permukiman yang berada di sepanjang aliran sungai, terutama di bagian tengah hingga muara.
Kita telah lama hidup dalam ilusi bahwa hutan hanyalah sekumpulan pohon yang siap ditebang atau dikonversi. Ilusi ini melahirkan paradoks tata kelola yang sangat merugikan: daerah yang menanggung beban menjaga hutan (hulu) tidak mendapatkan insentif yang memadai, sementara daerah yang menerima manfaat (hilir) tidak berinvestasi dalam pemeliharaan sumber manfaat tersebut. Sudah saatnya kita mengakui, dan secara finansial menghargai, hutan sebagai infrastruktur penyedia jasa lingkungan yang nilainya jauh melampaui harga kayu atau komoditas pertambangan.
Anatomi Kerusakan: Hutan yang Hilang dan Fungsi Hidrologis yang Ambruk
Untuk memahami mengapa banjir di Aceh begitu parah, kita perlu menelaah fungsi kunci hutan yang hilang akibat pengundulan yang masif: fungsi hidrologis dan fungsi pengikat tanah.
Kegagalan Fungsi Spons Raksasa
Hutan tropis, dengan stratifikasi kanopinya yang berlapis, lapisan serasah tebal, dan sistem perakaran yang kompleks, bertindak seperti spons raksasa. Intersepsi Kanopi: Kanopi pohon menangkap hingga 20-30% curah hujan, mengurangi intensitas jatuhnya air ke permukaan tanah. Infiltrasi dan Retensi: Serasah dan tanah hutan yang gembur memiliki porositas tinggi, memungkinkan infiltrasi air ke dalam tanah hingga 100 kali lebih cepat daripada tanah gundul yang padat. Air ini disimpan sebagai cadangan air tanah dan dilepaskan secara bertahap ke sungai.
Ketika hutan dikonversi menjadi perkebunan monokultur atau, lebih parah lagi, diubah menjadi area pertambangan yang terbuka (seperti open pit mining), lapisan tanah atas yang kaya bahan organik hilang. Infiltrasi berkurang drastis, menyebabkan sebagian besar air hujan langsung menjadi surface run-off (aliran permukaan) yang cepat dan masif. Inilah yang mengubah hujan lebat biasa menjadi banjir kiriman yang menghancurkan.
Peningkatan Erosi dan Sedimentasi Akut
Aktivitas tambang dan pembukaan lahan perkebunan di lereng curam, terutama yang meninggalkan lahan terbuka tanpa vegetasi penutup, menyebabkan erosi tanah yang luar biasa. Material tanah ini, yang disebut sedimen, dibawa oleh aliran permukaan ke sungai. Dampak Ekologis Ganda:
a) Banjir Bandang (Flash Flood): Sedimen ini mempercepat erosi tepi sungai dan merusak bantaran, mengubah morfologi sungai, serta meningkatkan turbulensi aliran air.
b) Pendangkalan Sungai: Sedimen menumpuk di bagian sungai yang landai (hilir), mengurangi kapasitas tampung sungai secara permanen. Ketika hujan datang lagi, sungai yang sudah dangkal tersebut meluap jauh lebih mudah dan cepat, menyebabkan banjir di daerah perkotaan dan permukiman di dekat muara.
Di Aceh, kita melihat siklus kehancuran ini: eksploitasi di hulu menghasilkan kerugian fisik dan ekonomi yang jauh lebih besar di tengah dan hilir. Ini adalah eksternalitas negatif dari pembangunan yang tidak bertanggung jawab.
Mengapa Kabupaten Hulu Mengalami Dilema: Analisis Transfer Fiskal
Akar masalah mengapa kabupaten pemilik hutan gagal mempertahankan hutannya terletak pada struktur insentif fiskal daerah yang ada saat ini. Kabupaten di hulu menanggung biaya konservasi, namun manfaat utama konservasi (air bersih, pencegahan banjir) dinikmati oleh kabupaten di hilir, yang juga merupakan pusat ekonomi dan populasi.
Biaya Pengawasan dan Pengendalian: Menjaga ribuan hektar hutan dari illegal logging, perambahan, dan kebakaran memerlukan anggaran besar untuk patroli, penegakan hukum, dan pemberdayaan masyarakat. Anggaran ini membebani APBD kabupaten.
Keterbatasan Sumber PAD: Kabupaten hutan seringkali memiliki basis ekonomi yang lebih sempit dibandingkan kabupaten pesisir/perkotaan. Kebutuhan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi tekanan politis dan fiskal yang kuat.
Godaan Eksploitasi: Izin pertambangan, hak guna usaha (HGU) perkebunan, atau konsesi kehutanan menawarkan pemasukan PAD yang signifikan dan cepat. Dalam jangka pendek, ini terlihat sebagai solusi instan untuk menutup defisit anggaran pembangunan daerah.
Saat ini, skema Dana Transfer Umum (DTU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) belum memberikan bobot yang memadai pada kinerja ekologis. DBH Kehutanan, misalnya, seringkali tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan daerah untuk menjaga hutan tersebut, dan tidak memiliki mekanisme insentif yang kuat untuk peningkatan kinerja. Akibatnya, hutan dianggap sebagai beban yang harus dikorbankan demi pembangunan jangka pendek.
Solusi Radikal: Implementasi Insentif Fiskal Berbasis Kinerja Ekologis (IFBKE)
Untuk memutus siklus kehancuran ini, diperlukan intervensi kebijakan anggaran negara yang berani dan transformatif. Saya mengusulkan pembentukan kerangka Insentif Fiskal Berbasis Kinerja Ekologis (IFBKE), yang akan mengubah hutan dari beban menjadi aset fiskal strategis bagi daerah.
Perombakan Formula Dana Transfer Khusus (DTK) Lingkungan
Pemerintah Pusat, melalui Kementerian Keuangan dan Kementerian LHK, harus menciptakan mekanisme Dana Transfer Khusus (DTK) Lingkungan yang dialokasikan secara kompetitif dan berdasarkan kinerja. Dana ini harus memiliki komponen dan formula yang jelas.
Indikator Kinerja Utama (IKU) utama - Alokasi dana akan didasarkan pada perbaikan atau pemeliharaan tiga IKU utama, yaitu:
1. Tutupan Hutan (Persentase Area): Bobot terbesar diberikan kepada daerah yang berhasil mempertahankan tutupan hutan primernya di atas ambang batas kritis (misalnya, 50% dari luas wilayah).
2. Penurunan Laju Deforestasi (Deforestasi): Insentif diberikan kepada kabupaten yang menunjukkan tren penurunan laju deforestasi dibandingkan periode sebelumnya.
3. Anggaran Konservasi Lokal: Kabupaten yang mengalokasikan persentase signifikan dari APBD-nya (di luar belanja rutin) untuk program rehabilitasi DAS dan patroli hutan mendapatkan bobot positif.
Skala Dana - Besaran dana ini harus dirancang agar potensi pendapatan dari insentif konservasi lebih menarik dan berkelanjutan daripada potensi pendapatan dari eksploitasi jangka pendek. Misalnya, setiap hektar hutan yang berhasil dijaga di DAS kritis harus dihargai dengan tarif yang ditetapkan secara ilmiah.
Pemanfaatan Terikat (Earmarked) -Dana insentif ini harus earmarked (dialokasikan secara terikat) untuk membiayai program yang mendukung jasa lingkungan, seperti: pendanaan kelompok masyarakat penjaga hutan, pengembangan komoditas non-kayu hutan (Getah, Madu, Ekowisata), dan pembangunan infrastruktur hijau.
Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan (PES) Antar-Daerah
Konsep Pembayaran Jasa Lingkungan (PES) harus diangkat ke level kebijakan antar-pemerintah daerah (Pemda) di Aceh.
Identifikasi Manfaat dan Pembayar: Kabupaten/Kota hilir (misalnya, kota-kota besar, kawasan industri, sentra pertanian) yang memperoleh pasokan air baku, terhindar dari sedimentasi, dan terlindungi dari banjir, harus diidentifikasi sebagai pihak pembayar.
Pendanaan Bersama: Pemerintah Provinsi Aceh harus memfasilitasi pembentukan Dana Konservasi DAS yang dikelola bersama. Dana ini diisi dari kontribusi wajib (berdasarkan persentase PAD atau biaya operasional) dari pihak pembayar dan disalurkan ke kabupaten hulu.
Peran PDAM dan Korporasi: Perusahaan daerah air minum (PDAM) dan korporasi pengguna air dalam jumlah besar harus memasukkan biaya konservasi sumber air ke dalam struktur biaya mereka, yang kemudian disalurkan sebagai pembayaran jasa lingkungan ke daerah hulu.
Skema PES ini menegakkan prinsip keadilan ekologis: daerah yang menikmati kemakmuran harus turut bertanggung jawab dan berinvestasi dalam pemeliharaan basis sumber daya alam yang menopang kemakmuran tersebut.
Sinkronisasi Rencana Tata Ruang dan Kewenangan DAS
Tidak ada IFBKE yang berhasil tanpa tata ruang yang berbasis daya dukung lingkungan. Pemerintah harus segera meninjau dan menyinkronkan seluruh Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Aceh, terutama di kawasan DAS, untuk memastikan:
- Penetapan Kawasan Lindung Absolut: Kawasan dengan kelerengan sangat curam, zona penyangga sungai, dan kawasan resapan air harus ditetapkan sebagai zona lindung yang tidak dapat dikonversi.
- Penguatan Otoritas DAS: Pembentukan atau penguatan institusi pengelola DAS terpadu yang memiliki kewenangan lintas administratif dan didukung oleh data spasial akurat. Institusi ini harus mampu mengintegrasikan kebijakan tata ruang, sumber daya air, dan kehutanan di seluruh bentang DAS.
Tanggung Jawab Moral dan Visi Pembangunan Berkelanjutan
Masalah banjir di Aceh bukan sekadar masalah teknis atau anggaran, melainkan krisis kepemimpinan dan moralitas lingkungan. Sudah saatnya para pengambil keputusan di Aceh dan Jakarta mengakui bahwa eksploitasi hutan secara serampangan bukan lagi solusi ekonomi, melainkan bunuh diri ekologis.
Investasi dalam IFBKE adalah investasi pencegahan. Biaya rehabilitasi satu DAS yang hancur, kerugian ekonomi akibat banjir yang melumpuhkan kota, ditambah biaya sosial dari hilangnya nyawa dan rumah, jauh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk memberi insentif kepada kabupaten hulu agar menjaga hutannya.
Kita perlu mengembalikan kepercayaan kepada masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai aktor kunci konservasi. Dengan adanya insentif fiskal yang jelas, mereka yang hidup di sekitar hutan akan memiliki tanggung jawab dan insentif finansial yang kuat untuk menjadi garda terdepan perlindungan. Hutan harus menjadi sumber penghidupan, bukan sumber konflik atau objek eksploitasi oleh pihak luar.
Mengakhiri tragedi banjir Aceh memerlukan keberanian politik untuk merombak sistem transfer fiskal yang sudah usang dan gagal. Mari kita bergeser dari model yang menghukum konservasi menjadi model yang menghargai jasa lingkungan. Hanya dengan cara ini, kita dapat mengubah hutan-hutan di Aceh dari titik tolak bencana menjadi benteng pertahanan ekologis dan sumber kesejahteraan yang berkelanjutan bagi seluruh masyarakat Serambi Mekkah.
Implementasi IFBKE adalah langkah krusial untuk memastikan bahwa generasi mendatang di Aceh dapat hidup aman, tanpa ancaman bah yang mengintai setiap musim hujan.
Penulis: Nasrul Zaman, Aktivis Lingkungan-Mantan Ketua Dewan Daerah WALHI Aceh-Analis Kebijakan Publik