Jum`at, 28 November 2025
Beranda / Opini / Banjir dan Longsor Aceh: Bencana Alam yang Dilahirkan oleh Kuasa Ekstraktif

Banjir dan Longsor Aceh: Bencana Alam yang Dilahirkan oleh Kuasa Ekstraktif

Jum`at, 28 November 2025 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Firdaus Mirza

Firdaus Mirza, Dosen Sosiologi FISIP USK dan menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif Dehankam. [Foto: dok. dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Setiap kali hujan deras mengguyur Aceh, berita banjir dan longsor datang seolah mengikuti kalender musiman. Desa terendam, sekolah diliburkan, rumah hanyut, petani kehilangan mata pencaharian, dan warga mengungsi. Seperti biasa, narasi yang paling sering terdengar adalah Ini fenomena alam. Namun menyederhanakan tragedi ini sebagai peristiwa alam hanyalah bentuk pengalihan dari akar persoalan.

Banjir dan longsor di Aceh bukan semata-mata akibat intensitas hujan atau perubahan iklim global. Bencana ekologis ini merupakan hasil keputusan pembangunan yang keliru, perusakan lingkungan yang berlangsung sistematis, dan lemahnya penegakan hukum yang sudah terlalu lama dipelihara.

Kerusakan hutan akibat illegal logging, ekspansi sawit, pertambangan, dan galian C telah mengubah lanskap ekologis Aceh secara drastis. Daerah resapan air hilang, sungai kehilangan kemampuan mengalirkan debit hujan secara stabil, dan struktur tanah di daerah perbukitan melemah hingga rentan longsor. Ketika hujan datang, yang banjir bukan hanya pemukiman, tetapi gagasan pembangunan yang selama ini dipertahankan.

Negara Hadir, Tetapi Untuk Siapa?

Dalam perspektif sosiologi politik dan ekologi, bencana tidak dapat dipahami hanya sebagai fenomena alam, tetapi harus dilihat sebagai hasil interaksi antara kebijakan, relasi kekuasaan, dan struktur ekonomi. Negara idealnya menjadi penjaga keseimbangan ekologis. Namun dalam kenyataan, ia lebih banyak tampil sebagai fasilitator akumulasi modal melalui pemberian izin tambang dan perkebunan skala besar.

Tidak ada izin yang muncul tanpa proses politik. Izin sawit, tambang mineral, serta galian C terbit melalui prosedur birokrasi yang melibatkan otoritas pemerintah, jaringan bisnis, dan elite lokal. Maka wajar jika ketika banjir menghancurkan kampung, pejabat publik menyebutnya sebagai bencana alam, namun saat korporasi membuka ribuan hektare hutan atau mengikis tebing sungai, suara pemerintah cenderung senyap. Inilah apa yang dalam kajian sosiologi disebut ekonomi politik sumber daya, ketika kebijakan publik dikelola untuk melayani akumulasi modal, bukan kesejahteraan rakyat.

Model pembangunan seperti ini menciptakan apa yang disebut Ulrich Beck sebagai masyarakat risiko, yakni kemajuan ekonomi dinikmati oleh sebagian kecil kelompok, sementara risiko dan akibatnya ditanggung oleh masyarakat luas.

Ekstraktivisme dan Normalisasi Kerusakan

Alih-alih membangun perekonomian berbasis keberlanjutan pascakonflik, Aceh justru mempercepat ekspansi sektor ekstraktif. Sawit meluas hingga pinggir sungai, tambang menggerus kawasan hutan lindung, dan galian C memperdalam sedimentasi sungai. Pertumbuhan ekonomi diukur dari berapa banyak alam dikuras, bukan dari seberapa aman dan sejahtera masyarakat hidup.

Kerusakan ini berlangsung dalam dua pola, pertama illegal logging yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dan legal logging dimana penebangan dan pembukaan lahan yang terlegalisasi melalui izin. Penegakan hukum pun timpang, masyarakat kecil dengan satu truk kayu ditangkap, sementara korporasi besar yang merusak ribuan hektare hutan sering dibiarkan. Ini adalah bentuk kekerasan simbolik, Bourdieu menyebutkan ketidakadilan dilegalkan melalui struktur dan aturan resmi.

Jika ini dibiarkan, Aceh tengah menuju fase berbahaya ke normalisasi bencana. Bantuan sosial dan posko pengungsian menjadi rutinitas tahunan, sementara penyebab struktural dibiarkan.

Alam Sudah Mengirim Sinyal Bahaya

Dua tahun terakhir menunjukkan gejala baru yang menguatkan krisis ekologis Aceh:

1. Banjir terjadi meski hujan tidak ekstrem. Ini mengindikasikan bahwa daya serap tanah dan kawasan tangkapan air sudah hilang.

2. Wilayah yang dulu tidak pernah banjir kini menjadi kawasan rawan. Risiko berpindah karena ekosistem hulu rusak dan aliran air mencari jalur baru ke pemukiman.

3. Longsor meningkat di wilayah yang dibuka untuk tambang dan perkebunan. Lereng tanpa vegetasi tidak mampu menahan air dan tekanan tanah.

Fenomena ini merupakan tanda ecological tipping point, yaitu titik ketika kerusakan lingkungan mencapai level yang memicu bencana besar dari pemicu kecil.

Jaringan Kekuasaan di Balik Perusakan Lingkungan

Kecenderungan terbaru menunjukkan bahwa perusakan lingkungan semakin terlindungi jejaring kekuasaan:

1. Perusahaan galian C tetap beroperasi meski izinnya bermasalah atau habis masa berlakunya.

2. Aktivis lingkungan dan warga yang mengkritik kegiatan tambang di beberapa wilayah menghadapi intimidasi sosial maupun administratif.

3. Aparat lebih rajin menindak penambang kecil ketimbang menindak korporasi besar.

Ini adalah pola oligarki sumber daya, ketika elite politik dan pemodal bersekutu untuk mempertahankan akses terhadap komoditas alam.

Ketika Masyarakat Membayar Harga yang Tidak Pernah Mereka Nikmati

Dampak banjir dan longsor tidak semata-mata rusaknya rumah, ia menghasilkan gelombang persoalan sosial yang jauh lebih luas:

1. aktivitas pendidikan terhenti dan fasilitas sekolah rusak,

2. anak-anak rentan mengalami trauma bencana,

3. pendapatan petani turun drastis akibat lahan rusak,

4. penyakit kulit dan diare meningkat setelah banjir,

5. akses logistik terhambat karena jalan dan jembatan runtuh.

Krisis ekologis memperdalam ketimpangan sosial, yang menikmati keuntungan ekonomi adalah korporasi dan elite, sementara masyarakat menanggung risiko dan kerugian.

Hal ini akan memunculkan fenomena baru, dan yang mengkhawatirkan adalah munculnya keinginan pindah permanen dari desa karena wilayah dianggap tidak lagi layak huni. Jika ini terus berlangsung, Aceh akan menghadapi ancaman kerusakan lingkungan memicu perpindahan penduduk, urbanisasi paksa, hilangnya mata pencaharian, dan potensi konflik perebutan lahan.

Mendesak koreksi Arah Pembangunan Aceh

Mengatasi banjir dan longsor bukan hanya soal memperkuat tanggul dan mengirim bantuan sosial. Yang dibutuhkan adalah revolusi tata kelola lingkungan dan keberanian politik pemerintah Aceh. Dua langkah utama tidak dapat ditunda:

Pertama: Evaluasi dan audit perizinan lingkungan

Setiap izin sawit, tambang, dan galian C harus diaudit secara transparan. Izin yang melanggar tata ruang, berada di kawasan hutan lindung, atau terbukti memicu kerusakan ekologis wajib dicabut. Beban restorasi ekosistem harus ditanggung pelaku usaha, bukan APBA.

Kedua: Penegakan hukum tanpa kompromi

Tidak boleh ada zona aman bagi korporasi yang merusak lingkungan. Merusak hutan bukan investasi, melainkan kejahatan sosial karena mengancam keselamatan hidup masyarakat.

Lebih dari itu, pemerintah Aceh memerlukan visi pembangunan baru, yaitu ekonomi hijau berbasis pertanian berkelanjutan, kehutanan sosial, ekowisata, energi terbarukan, dan industri bernilai tambah bukan sekadar ekonomi berlandaskan ekstraksi sumber daya.

Hutan adalah Masa Depan Aceh

Banjir dan longsor di Aceh bukan takdir. Ia adalah produk kebijakan yang salah, pembangunan yang timpang, dan pengabaian terhadap ilmu pengetahuan dan suara masyarakat. Menyembunyikan bencana ekologis di balik istilah fenomena alam adalah sikap yang tidak bertanggung jawab.

Menyelamatkan hutan bukan hanya soal lingkungan, ini adalah agenda kemanusiaan dan keadilan sosial. Setiap hektare hutan yang tersisa adalah penjaga masa depan Aceh. Merusaknya berarti menyerahkan hidup generasi mendatang pada bencana yang tak berkesudahan.

Kini pertanyaannya tinggal satu, apakah pemerintah Aceh memilih keberanian untuk mengakhiri pembangunan ekstraktif atau memilih membiarkan masyarakat terus hidup dalam ancaman bencana yang pemerintah sendiri ciptakan?

Penulis: Firdaus Mirza (Dosen Sosiologi FISIP USK, Sekretaris Eksekutif Dehankam)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI