DIALEKSIS.COM | Aceh - Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Centra Initiative, DeJure, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Imparsial, Raksha Initiatives, Human Rights Working Group (HRWG), dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengecam keras tindakan represif dan penggunaan kekerasan oleh aparat TNI terhadap massa demonstran di Aceh Utara. Aksi tersebut terjadi saat masyarakat menyampaikan tuntutan terkait penanganan bencana.
Koalisi menilai tindakan aparat bertentangan dengan tugas dan fungsi TNI yang seharusnya tidak terlibat dalam pengelolaan unjuk rasa atau demonstrasi. Penyampaian pendapat di muka umum, menurut mereka, merupakan hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945.
“Pengibaran bendera putih ataupun bulan sabit tidak seharusnya dijadikan alasan bagi TNI untuk menggunakan kekerasan. TNI tidak boleh menggunakan dalih ‘bendera bulan sabit’ untuk ikut campur dalam penanganan unjuk rasa. Persoalan tersebut seharusnya dapat diselesaikan secara dialogis oleh Pemerintah Aceh atau kepolisian,” demikian kutipan siaran pers Koalisi, Sabtu (27/12/2025).
Koalisi juga menyoroti pengerahan pasukan dari Korem 011/Lilawangsa yang dinilai menghalangi penyampaian pendapat di muka umum pada 25 Desember 2025. Tindakan tersebut dianggap melanggar Undang-Undang TNI serta prinsip-prinsip demokrasi yang dijamin Konstitusi.
“Unjuk rasa adalah ekspresi sipil yang sah dalam negara demokrasi. Jika terdapat dugaan pelanggaran hukum, penanganannya merupakan kewenangan kepolisian, bukan militer,” tegas Koalisi.
Dalam konteks pemulihan pasca-bencana serta sejarah panjang konflik bersenjata di Aceh, Koalisi menilai tindakan represif aparat justru menunjukkan kurangnya sensitivitas dan kesadaran TNI dalam menangani persoalan sipil di tengah masyarakat.
“Sekali lagi kami mengecam keras tindakan represif TNI terhadap masyarakat sipil di Aceh Utara. Kami mendesak DPR dan pemerintah untuk memerintahkan Panglima TNI agar bertindak cepat dan tegas terhadap oknum yang melanggar, agar tidak menimbulkan trauma baru bagi masyarakat Aceh. Pemerintah seharusnya lebih fokus pada penanganan bencana yang masih menyisakan banyak persoalan,” lanjut keterangan pers tersebut.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Mabes TNI, Mayjen TNI (Mar) Freddy Ardianzah, membenarkan adanya razia terhadap pengibaran bendera bulan bintang di Aceh, meskipun wilayah tersebut tengah berada dalam situasi bencana.
Menurut Freddy, pelarangan pengibaran bendera bulan bintang didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku. Simbol tersebut, kata dia, didentikkan dengan gerakan separatis yang bertentangan dengan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Larangan pengibaran bendera bulan bintang diatur dalam Pasal 106 dan 107 KUHP, Pasal 24 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, serta Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007,” ujar Freddy kepada Liputan6.com, Jumat (26/12/2025).
Terkait video insiden yang sempat viral di media sosial, Freddy menyebut kejadian tersebut sebagai akibat selisih paham. Ia menegaskan bahwa seluruh pihak yang terlibat telah sepakat untuk berdamai.
“Koordinator lapangan aksi menyatakan bahwa kejadian tersebut hanya kesalahpahaman dan telah diselesaikan secara damai,” ujarnya.
Freddy juga mengimbau masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang belum terverifikasi kebenarannya.
“TNI mengimbau masyarakat untuk menahan diri dan tidak mudah terprovokasi oleh tayangan atau informasi yang belum jelas kebenarannya,” tutupnya.
Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, meminta semua pihak menahan diri agar situasi tidak semakin memburuk, terlebih dalam kondisi darurat pasca-bencana.
“Dalam situasi seperti ini, setiap pihak perlu menahan diri agar tidak terjadi gesekan. Saya mengimbau masyarakat untuk menyampaikan aspirasi secara damai dan sesuai aturan,” ujar politisi Partai Golkar tersebut.
Dave juga mengingatkan aparat keamanan agar tetap bersikap profesional dan mengedepankan pendekatan humanis dalam menjalankan tugas.
“Aparat harus mengedepankan sikap humanis. Jangan sampai perbedaan ekspresi di lapangan mengaburkan tujuan utama kita, yakni memastikan keselamatan warga dan kelancaran distribusi bantuan,” katanya.
Ia menambahkan, peristiwa ini harus menjadi pelajaran bersama agar komunikasi antara masyarakat, pemerintah, dan aparat keamanan dapat berjalan lebih baik ke depan.
“Komunikasi yang baik dan sikap saling menghormati adalah kunci untuk mencegah konflik. Pemerintah pusat dan daerah perlu memperkuat koordinasi agar aspirasi masyarakat tersampaikan tanpa menimbulkan ketegangan,” pungkasnya.