DIALEKSIS.COM | Jakarta - Sebanyak 1,4 ton komoditas cabai asal Aceh dilaporkan telah resmi mulai didistribusikan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sejak Jumat, 19 Desember 2025. Distribusi ini merupakan bagian dari upaya menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan di ibu kota.
Namun demikian, realisasi di tingkat pasar menunjukkan kondisi yang belum sepenuhnya berjalan optimal. Sejumlah pedagang di pasar-pasar tradisional Jakarta mengaku masih memilih menjual cabai dari pemasok lama, alih-alih cabai yang baru didatangkan dari Aceh.
Alasan utama para pedagang adalah persoalan kualitas. Beberapa pedagang menyebut kondisi cabai asal Aceh yang mereka terima dinilai kurang baik dan tidak tahan lama.
Amir Wahyudi (35), pedagang sayuran di Pasar Induk Senen, Jakarta Pusat, mengaku hingga kini masih menjual cabai pasokan dari Jepara. Ia menilai kualitas cabai asal Aceh yang sempat diterimanya kurang layak untuk diperdagangkan dalam jangka waktu lama.
“Cabainya lembek, nggak tahan lama. Kalau menurut saya, itu cocoknya buat sambal langsung,” ujar Amir.
Meski demikian, Amir mengakui harga cabai dari Aceh relatif lebih murah dibandingkan pasokan dari daerah lain. Cabai Aceh, kata dia, bisa ditebus di kisaran Rp65 ribu per kilogram, sementara cabai dari Jepara dijual sekitar Rp70 ribu per kilogram.
“Memang lebih murah, tapi cepat busuk. Jadi saya pilih jual yang kualitasnya lebih aman,” tambahnya.
Keluhan serupa disampaikan Dwi (38), pedagang lain di Pasar Induk Senen. Ia menyebut cabai asal Aceh sudah dalam kondisi kurang segar sejak pertama kali tiba di pasar.
“Pas datang saja sudah melempem,” katanya singkat.
Sementara itu, di sejumlah pasar tradisional lainnya di Jakarta, distribusi cabai Aceh belum sepenuhnya dirasakan. Wahyudi, pedagang bahan pangan di Pasar Palmerah, Jakarta Barat, mengatakan dirinya bersama beberapa pedagang lain belum menerima pasokan cabai dari Aceh.
“Belum dapat, kayaknya memang belum semua kebagian,” ujarnya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa meski distribusi cabai asal Aceh telah resmi dimulai, tantangan kualitas dan pemerataan pasokan masih menjadi pekerjaan rumah dalam upaya menekan harga dan menjaga stabilitas pangan di Jakarta. [disway]