DIALEKSIS.COM | Jakarta - Hujan belum juga reda ketika laporan demi laporan masuk ke posko-posko darurat di Aceh dan Sumatera Utara. Di banyak tempat, suara telepon satelit terdengar putus putus, berusaha menembus gangguan jaringan yang lumpuh sejak banjir bandang dan longsor melumat 25 kabupaten/kota di dua provinsi tersebut.
Di Sumatera Utara saja, lebih dari tiga puluh nyawa melayang; sementara di Aceh, puluhan ribu warga kehilangan tempat tinggal, terjebak tanpa kepastian kapan bantuan dapat tiba.
Di tengah situasi itu, Ketua Umum Solidaritas Pemersatu Bangsa Indonesia (SPBI) Dr. Iswadi, M.Pd tampil dengan seruan keras yang menggema di antara kabar duka dan kepungan lumpur: pemerintah pusat harus segera menetapkan status bencana nasional.
Menurutnya, kondisi Aceh dan Sumatera Utara bukan lagi kejadian yang dapat ditangani dengan mekanisme biasa. Yang terjadi kini adalah rangkaian bencana besar yang memutus akses, melumpuhkan komunikasi, merusak ribuan rumah, dan menjadikan banyak wilayah terisolasi total.
Skalanya sudah terlalu besar, sementara kapasitas daerah sangat terbatas. Ini bukan tentang bantuan yang terlambat, tetapi tentang sistem yang sudah tidak mampu menahan beban. Kita butuh negara hadir secara penuh dengan status bencana nasional, dan kita membutuhkannya sekarang, bukan besok, tegas Iswadi.
Di sejumlah kabupaten di pantai barat Sumut Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Humbang Hasundutan, hingga Sibolga jalur utama terputus oleh longsor berlapis. Di beberapa tempat, badan jalan hanyut sepenuhnya, menyisakan tebing terbuka yang tak mungkin dilalui kendaraan apa pun. Tim SAR yang berusaha masuk harus membawa alat panjat dan berjalan kaki berjam-jam melalui jalur alternatif yang licin dan berbahaya.
Sementara itu, di Aceh, sungai sungai besar meluap serentak. Air bah menghantam permukiman, menumbangkan jembatan gantung, dan menenggelamkan akses menuju desa desa di wilayah tengah dan pesisir utara. Internet dan sinyal telepon hilang sejak pagi hari; warga yang terjebak hanya bisa berharap suara mereka terdengar melalui laporan laporan yang tertunda berjam jam.
Bagi Dr Iswadi, situasi ini tidak sekadar darurat. Ia menyebut kondisi tersebut sebagai krisis koordinasi, di mana daerah daerah yang terdampak berat tak bisa lagi berkomunikasi dengan pusat komando, sementara kebutuhan mendesak terus meningkat: makanan siap saji, selimut, tenda, obat obatan, sanitasi darurat, dan alat berat untuk membuka akses.
Menurut Iswadi, penetapan status bencana nasional bukan sekadar penanda administratif. Dengan status itu, pemerintah dapat secara langsung mengerahkan kekuatan nasional TNI, Polri, BNPB, Basarnas, kementerian teknis, hingga lembaga lembaga lain tanpa menunggu proses birokrasi lintas daerah.
Setiap menit menentukan nyawa, katanya. Ketika akses jalan terputus lima, enam, tujuh titik sekaligus, kita tidak bisa menunggu persetujuan berlapis. Kita butuh pengerahan alat berat dalam jumlah besar, evakuasi massal menggunakan helikopter, dan pendistribusian logistik melalui udara. Semua itu hanya efektif jika berada di bawah status bencana nasional.
Ia juga menyoroti bahwa ancaman belum berakhir. Curah hujan tinggi diperkirakan masih mengguyur wilayah Aceh dan Sumut beberapa hari ke depan. Tanah yang sudah jenuh air berpotensi kembali longsor, sementara bendungan bendungan kecil dan tanggul sungai berada dalam tekanan ekstrem.Kita sedang menghadapi bencana yang bisa berkembang menjadi lebih besar. Penundaan dalam pengambilan keputusan justru memperluas risiko, ujarnya.
Dari laporan tim penyelamat yang berhasil masuk ke beberapa lokasi, banyak warga mengungsi dengan perlengkapan seadanya. Beberapa keluarga hanya membawa pakaian yang mereka kenakan ketika berlari keluar rumah pada dini hari. Anak anak kedinginan, orang tua kelelahan, dan banyak warga mulai mengeluhkan kurangnya air bersih.
Koordinasi distribusi bantuan juga terhambat. Truk logistik tidak bisa masuk karena jalan utama tertutup material longsor hingga puluhan meter. Perahu karet dan helikopter menjadi satu satunya sarana untuk menjangkau wilayah yang paling terdampak, namun jumlahnya terbatas dan belum mampu memenuhi kebutuhan ribuan keluarga yang terjebak.
Tanpa status bencana nasional, kita hanya bisa bergerak seperti tambal sulam, kata Dr Iswadi. Kita butuh mobilisasi besar besaran. Tidak boleh lagi bertumpu pada kemampuan masing masing daerah.
Seruan Dr Iswadi kini mulai diperkuat oleh berbagai organisasi kemanusiaan, akademisi, dan tokoh masyarakat. Mereka menilai bahwa langkah penetapan status bencana nasional akan mempercepat respon, memperjelas komando, dan membuka pintu bantuan dari pihak internasional jika diperlukan.
Bagi banyak warga yang masih menunggu di wilayah-wilayah terisolasi, keputusan itu bisa menjadi harapan baru. Harapan bahwa bantuan akan datang lebih cepat. Bahwa keluarga mereka yang masih hilang akan segera ditemukan. Dan bahwa negara benar benar hadir ketika bencana melampaui batas kemampuan manusia untuk bertahan sendiri.
"Kita sedang berhadapan dengan bencana berskala luar biasa. Ini bukan hanya soal kerusakan fisik, tetapi soal kemanusiaan. Saatnya negara hadir dengan seluruh kekuatannya. Kita tidak boleh kehilangan waktu lagi," pungkas Dr Iswadi.[*]