DIALEKSIS.COM | Opini - Banjir yang melanda Sumatera dan Aceh beberapa waktu terakhir bukan sekadar masalah alam. Meski faktor seperti curah hujan tinggi, luapan sungai, dan kerusakan lingkungan berperan besar, bencana ini juga menyingkap ketimpangan sosial yang selama ini terselubung. Terutama, perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak. Mereka harus menghadapi beban ganda: menjaga keselamatan keluarga, mengurus rumah tangga, sekaligus berusaha melindungi harta benda dari genangan air.
Dalam banyak kasus, perempuan tidak memiliki akses yang sama dengan laki-laki terhadap sumber daya penting, informasi peringatan dini, dan fasilitas evakuasi. Ketergantungan ini bukan karena perempuan kurang mampu, tetapi karena struktur sosial patriarkal membatasi posisi mereka dalam ranah publik maupun pengambilan keputusan.
Feminisme radikal menekankan bahwa ketidaksetaraan ini bukan kebetulan, melainkan hasil sistem patriarki yang mengatur siapa berkuasa, siapa diabaikan, dan siapa yang dianggap penting dalam penanganan krisis.
Ketika banjir terjadi, ketimpangan yang sebelumnya tersembunyi menjadi sangat jelas. Proses evakuasi seringkali menempatkan perempuan pada risiko lebih tinggi karena mereka harus memastikan keselamatan anak-anak dan anggota keluarga lain sebelum menyelamatkan diri. Banyak informasi tentang jalur evakuasi atau lokasi bantuan tersebar di ruang publik yang lebih banyak diakses laki-laki, sehingga perempuan tertinggal dalam hal kesiapsiagaan. Di tempat pengungsian, perempuan menghadapi berbagai tantangan: minimnya privasi, fasilitas sanitasi yang tidak memadai, serta risiko kekerasan berbasis gender yang meningkat. Kondisi ini menunjukkan bahwa bencana bukan hanya menghancurkan rumah dan harta benda, tetapi juga memperkuat ketidakadilan sosial yang sudah ada sebelumnya.
Dari sudut pandang feminisme radikal, hal ini menegaskan bahwa struktur patriarki tidak hanya membatasi akses perempuan terhadap sumber daya, tetapi juga mengatur pengalaman mereka selama bencana sehingga mereka lebih rentan dibanding laki-laki.
Aspek ekonomi juga memperlihatkan ketimpangan yang nyata. Banyak perempuan di wilayah terdampak bekerja di sektor informal, seperti usaha rumah tangga, pertanian skala kecil, atau perdagangan harian. Saat banjir merusak fasilitas, peralatan, atau persediaan mereka, kerugian yang dialami sering tidak tercatat secara resmi. Akibatnya, mereka sulit mendapatkan bantuan yang memadai, sementara kontribusi ekonomi mereka dianggap kurang penting. Ini menunjukkan bahwa kerentanan perempuan dalam bencana juga terkait dengan ketidaksetaraan ekonomi yang telah lama ada.
Feminisme radikal menjelaskan bahwa hal ini bukan sekadar masalah distribusi bantuan, tetapi produk sistem sosial yang menilai kerja perempuan lebih rendah dan membatasi akses mereka terhadap pengaruh sosial maupun politik. Dengan kata lain, perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak, bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena struktur patriarki membatasi kekuatan mereka untuk melindungi diri sendiri dan keluarga.
Selain itu, banjir juga menunjukkan hubungan antara eksploitasi lingkungan dan ketidakadilan gender. Deforestasi, pembukaan lahan besar-besaran, dan proyek industri yang agresif meningkatkan risiko banjir, tetapi keputusan-keputusan tersebut biasanya dibuat oleh pihak yang memiliki kuasa ekonomi dan politik, yang didominasi laki-laki. Saat lingkungan rusak, perempuan yang bergantung pada sumber daya lokal untuk mata pencaharian dan kebutuhan domestik merasakan dampak lebih besar. Contohnya, kesulitan memperoleh air bersih atau hilangnya lahan pertanian berdampak langsung pada kemampuan mereka menjalankan peran domestik dan ekonomi.
Perspektif feminisme radikal menekankan bahwa dominasi terhadap alam dan dominasi terhadap perempuan memiliki akar yang sama, yaitu logika patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pengendali dan perempuan sebagai pihak yang dipinggirkan. Dalam hal ini, banjir bukan hanya peristiwa alam, tetapi juga konsekuensi dari pola pembangunan yang timpang dan struktur sosial yang menempatkan perempuan pada posisi rentan.
Proses penanganan bencana juga sering mengabaikan perempuan. Keputusan tentang evakuasi, alokasi bantuan, dan penentuan lokasi pengungsian jarang melibatkan suara perempuan, sehingga kebutuhan mereka tidak diperhitungkan. Feminisme radikal melihat hal ini sebagai contoh bagaimana patriarki mengatur siapa yang berhak menentukan kebijakan dan siapa yang hanya menjadi objek dari keputusan tersebut. Akibatnya, setiap tahap bencana -- mulai dari evakuasi, pengungsian, hingga pemulihan --menjadi arena di mana perempuan selalu lebih terdampak. Kerentanan mereka bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba, tetapi dibentuk oleh struktur sosial yang membatasi mobilitas, akses informasi, kekuatan ekonomi, dan keselamatan fisik mereka.
Dampak jangka panjang juga terlihat pada kemampuan perempuan untuk pulih pascabencana. Banyak perempuan kehilangan penghasilan karena sektor pekerjaan mereka informal dan tidak tercatat, sehingga bantuan yang tersedia sering tidak memadai. Infrastruktur yang dibangun kembali sering tidak mempertimbangkan perspektif gender, sehingga perempuan tetap menghadapi risiko yang sama saat bencana berikutnya. Dengan demikian, bencana ini memperlihatkan bahwa patriarki tidak hanya memengaruhi pengalaman perempuan saat krisis, tetapi juga membentuk pola kerentanan yang berkelanjutan.
Feminisme radikal mengingatkan bahwa solusi terhadap bencana tidak cukup sekadar teknis, tetapi harus menantang struktur sosial yang membuat perempuan selalu berada di posisi paling terdampak.
Melalui lensa feminisme radikal, banjir Sumatera-Aceh bukan sekadar soal air yang meluap atau rumah yang terendam. Bencana ini juga soal bagaimana sistem sosial membentuk pengalaman perempuan, mengatur akses mereka terhadap sumber daya, dan menentukan tingkat risiko yang harus mereka tanggung. Pandangan ini menegaskan bahwa penanganan bencana harus melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan, merancang fasilitas pengungsian yang sensitif gender, dan memastikan hak-hak ekonomi mereka diakui. Hanya dengan cara itu, bencana tidak akan selalu menempatkan perempuan pada posisi paling rentan, dan respons bencana bisa lebih adil serta manusiawi.
Penutup
Banjir di Sumatera dan Aceh memperlihatkan bahwa perempuan selalu menjadi kelompok paling terdampak akibat struktur sosial patriarkal. Dari evakuasi hingga pemulihan, kerentanan mereka terbentuk oleh ketidaksetaraan yang telah lama ada. Perspektif feminisme radikal mengingatkan kita bahwa penanganan bencana tidak cukup teknis; harus ada perhatian serius pada struktur sosial, agar perempuan tidak lagi menjadi pihak yang selalu paling dirugikan. [**]
Penulis: Dicky Aulia (Mahasiswa Ilmu Politik UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
