Minggu, 21 Desember 2025
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Di Balik Desakan Copot Sekda Aceh, Siapa Aktornya?

Di Balik Desakan Copot Sekda Aceh, Siapa Aktornya?

Minggu, 21 Desember 2025 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi
Ilustrasi upaya pencopotan Sekda Aceh. Foto: Net

DIALEKSIS.COM | Indepth - Banjir besar yang melanda Aceh sejak awal Desember 2025 belum sepenuhnya surut. Di sejumlah wilayah, ribuan warga masih bergulat dengan lumpur, akses jalan terputus, dan bantuan yang datang bertahap. Namun di tengah situasi darurat itu, perdebatan lain mengemuka yakni desakan agar Gubernur Aceh Muzakir Manaf mencopot Sekretaris Daerah Aceh, M. Nasir.

Desakan itu datang dari Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani. Ia menilai M. Nasir gagal menjalankan peran strategisnya dalam penanganan bencana. Lambannya penyaluran anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT), lemahnya koordinasi lintas Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), hingga minimnya pengetahuan kebencanaan menjadi dasar tuntutan pencopotan.

“Tanpa anggaran, berapa pun rapat yang dipimpin Sekda tidak akan berdampak,” ujar Askhalani, Kamis, 18 Desember 2025. Ia menyebut anggaran tanggap darurat baru benar-benar tersedia setelah hampir 20 hari banjir berlalu. Akibatnya, para penyintas harus menunggu lebih lama untuk mendapatkan bantuan yang seharusnya segera mereka terima.

Askhalani juga membandingkan kinerja Sekda dengan langkah Gubernur Aceh. Menurutnya, Mualem tampak pontang-panting turun ke lapangan, mengonsolidasikan berbagai pihak, sementara beban koordinasi yang seharusnya dipikul Sekda justru tidak terlihat optimal. Jika kondisi ini dibiarkan, ia mengingatkan, bencana alam berpotensi berubah menjadi bencana kemanusiaan.

Namun, tudingan itu tidak dibiarkan tanpa bantahan langsung dari Sekda Aceh. Namun menuai respon dari akademisi Universitas Sains Cut Nyak Dhien, Dr. Muhammad Ridwansyah, menilai desakan GeRAK Aceh tersebut keliru dan cenderung serampangan. Menurutnya, kritik yang diarahkan kepada Sekda Aceh tidak disertai dasar empiris yang kuat dan justru mengabaikan fakta-fakta lapangan.

Ridwansyah menyebut, selama masa tanggap darurat, Pemerintah Aceh hampir setiap malam melakukan rapat koordinasi lintas SKPA. Bahkan dalam beberapa hari terakhir, pemerintah tengah menyiapkan skema pengalihan anggaran untuk mendukung penanganan bencana.

“Tuduhan bahwa Sekda tidak memahami kebencanaan itu tidak logis. Tidak ada dasar yang jelas dari mana kesimpulan itu diambil,” ujar Ridwansyah dalam keterangan tertulisnya, 20 Desember 2025.

Ia juga mengingatkan bahwa ruang fiskal Pemerintah Aceh saat ini sangat terbatas. Karena itu, kebijakan yang ditempuh lebih difokuskan pada percepatan distribusi logistik dan membuka akses ke wilayah terisolasi, bukan sekadar memenuhi narasi “pembukaan kawasan” sebagaimana dikritik GeRAK Aceh.

Bagi Ridwansyah, perdebatan tentang siapa yang paling sibuk di lapangan tidak relevan. Gubernur turun langsung ke lokasi bencana adalah konsekuensi jabatannya sebagai kepala daerah. Hal yang sama juga berlaku bagi Sekda. Ia mencontohkan kunjungan M. Nasir ke Aceh Utara pada 12 Desember 2025 untuk meninjau langsung penanganan darurat dan kerusakan infrastruktur.

Anggaran, Sekda, dan Isyarat Kepentingan

Pengamat kebijakan publik Dr. Usman Lamreung melihat polemik ini dari sudut berbeda. Menurutnya, desakan pencopotan Sekda tidak sepenuhnya berkaitan dengan bencana, melainkan kuat dugaan bersinggungan dengan dinamika pengelolaan anggaran.

Usman menyebut, kebijakan refocusing dan pergeseran anggaran ke BTT untuk penanganan banjir berpotensi mengurangi porsi anggaran lain, termasuk yang selama ini menjadi ruang tarik-menarik politik di parlemen.

“Isu ini harus ditempatkan secara proporsional. Jangan sampai penanganan bencana dijadikan alat tawar-menawar politik,” kata Usman, Sabtu, 20 Desember 2025.

Ia menegaskan, Sekda adalah pimpinan birokrasi yang bertanggung jawab pada administrasi pemerintahan. Penunjukan Sekda sebagai koordinator posko bencana hanyalah tugas tambahan yang bersifat koordinatif. Karena itu, kegagalan penanganan bencana jika memang ada tidak bisa serta-merta dijadikan dasar untuk mencopot Sekda.

“Penanganan bencana adalah kerja kolektif. Evaluasinya harus pada sistem dan mekanisme koordinasi, bukan personalisasi jabatan,” ujarnya.

Meski demikian, kritik terhadap Sekda juga tidak sepenuhnya datang tanpa konteks. Pemerhati sosial-politik Aceh, Mahmud Padang, menilai terdapat sejumlah kegagalan koordinasi informasi yang berdampak pada kepercayaan publik.

Ia menyinggung beredarnya informasi keliru terkait korban banjir yang disebut terjebak di dalam mobil di Aceh Tamiang, serta kabar hilangnya puluhan ton beras bantuan di Bener Meriah dua informasi yang kemudian terbukti tidak benar. Menurut Mahmud, kesalahan semacam itu tidak lepas dari lemahnya verifikasi data di tingkat posko.

“Pernyataan Gubernur yang belakangan terbukti keliru bukan muncul dari kehendak pribadi, tetapi akibat informasi yang tidak terverifikasi dengan baik,” ujarnya.

Bagi Mahmud, problem ini bukan semata soal individu, melainkan cermin rapuhnya tata kelola informasi dalam situasi darurat. Jika dibiarkan, kesalahan struktural semacam ini berpotensi terus menyeret pimpinan daerah ke dalam polemik publik.

Jangan Jadikan Bencana Arena Politik

Hal yang rasional disampaikan akademisi FISIP Universitas Syiah Kuala, Aryos Nivada, mengingatkan agar polemik pencopotan Sekda Aceh tidak diletakkan dalam logika hitam-putih. Menurutnya, kritik publik sah dalam demokrasi, tetapi harus dibedakan antara evaluasi kinerja dan manuver politik untuk kepentingan ambisi dan ego. 

“Perlu kehati-hatian membaca motif di balik desakan ini. Apakah murni soal kinerja penanganan bencana, atau ada kepentingan lain yang merasa terganggu oleh kebijakan anggaran,” kata Aryos kepada Dialeksis.com.

Ia menilai, Sekda memiliki posisi strategis dalam pengendalian birokrasi dan pengelolaan anggaran. Ketika terjadi refocusing besar-besaran ke BTT, sangat mungkin muncul resistensi dari pihak-pihak yang kepentingannya terdampak. Dalam konteks itu, bencana berisiko dijadikan pintu masuk untuk tekanan politik.

Aryos juga menekankan bahwa pergantian pejabat di tengah fase darurat bukan tanpa risiko. Transisi birokrasi yang tergesa justru berpotensi mengganggu kesinambungan penanganan bencana.

“Evaluasi tetap penting, tetapi harus dilakukan secara objektif, berbasis data, dan pada momentum yang tepat. Jangan sampai penderitaan korban banjir terseret ke dalam konflik elite,” ujarnya.

Menurut Aryos, ujian sesungguhnya ada pada kemampuan pemerintah menjaga fokus meliputi memastikan penyintas tertangani, sambil menata evaluasi internal tanpa kegaduhan politik. Rasionalitas dan kebijaksanaan, katanya, menjadi kunci agar bencana alam tidak berkembang menjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintahan.

Di Aceh, bencana kerap datang bersamaan dengan ujian kepemimpinan. Banjir besar akhir 2025 bukan hanya menguji kesiapan infrastruktur dan sistem tanggap darurat, tetapi juga menguji ketenangan para pengambil kebijakan dalam mengelola kritik dan tekanan politik.

Desakan pencopotan Sekda Aceh menunjukkan betapa mudahnya tekanan politik dilakukan ketika terdapat kepentingan tertentu dari elit berkuasa yang tidak terakomodasi. Di satu sisi, kritik publik perlu dijaga sebagai alarm demokrasi, selama kritik tersebut disampaikan secara objektif dan berbasis data yang valid. Namun, jangan sampai elit justru menzalimi hak-hak korban karena enggan menggeser alokasi anggaran yang selama ini dikuasai untuk kepentingan penanganan korban bencana banjir dan longsor. Sangat miris dan tidak adil apabila para pemegang kekuasaan menolak penyesuaian penggunaan anggaran demi kepentingan korban bencana.

Pertanyaan pentingnya bukan semata apakah M. Nasir layak dipertahankan atau diganti. Yang lebih mendesak adalah apakah pemerintah Aceh mampu memastikan bahwa penanganan bencana berjalan efektif, transparan, dan berkelanjutan tanpa tersandera tarik-menarik politik.

Bagi publik, pada akhirnya kesimpulan akan tampak sederhana yakni siapa saja yang bermain dalam arena anggaran dan tidak berpihak kepada korban bencana banjir dan longsor di Aceh. Di tengah lumpur yang belum sepenuhnya mengering dan luka masyarakat yang belum pulih, Aceh sejatinya masih menunggu satu hal paling mendasar, yakni kehadiran negara yang benar-benar hadir dan bekerja dalam senyap bukan kegaduhan politik yang justru menambah beban penderitaan rakyat.

Pada akhirnya, sebagaimana tersimpul dari keterangan para narasumber, banjir Aceh pada akhir 2025 bukan sekadar ujian teknis birokrasi, melainkan ujian moral bagi para pemegang kekuasaan. Pertarungan wacana mengenai pencopotan Sekda hanyalah bayang-bayang dari konflik politik di permukaan; yang sesungguhnya dipertaruhkan adalah kesediaan para elite untuk mengalihkan ambisi dan kepentingan mereka demi kepentingan korban bencana.

Pertanyaannya kemudian menjadi sangat mendasar, apakah mereka yang selama ini berambisi mengeruk uang rakyat benar-benar tidak berkenan menggeser sebagian sumber dayanya untuk menyelamatkan rakyat yang terdampak bencana di Aceh? Apakah empati telah terkikis oleh besarnya uang dan hasrat kekuasaan, atau justru para pemegang kuasa terlalu sibuk menjaga kepentingan elite sendiri di tengah penderitaan publik?

.Aceh dengan segenap kekuatan yang ada saat ini dibirokrasi, parlemen dan lainnnya untuk bersama-sama bergandengan tangan bekerja dalam senyap, menyalurkan bantuan tanpa kompromi, dan menempatkan penderitaan rakyat di atas segala kalkulasi politik. Itulah pertanyaan yang lebih tajam dari sekadar “siapa lebih tepat”, karena jawaban sejati hanya satu yakni korban bencana harus menjadi pihak yang benar-benar diuntungkan.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
pema