DIALEKSIS.COM | Feature - Menumpangi pesawat kecil DHC-6 Twin Otter dengan kode registrasi PK-ICI, Kak Na, istri Gubernur Aceh Muzakkir Manaf, bertolak menuju Kabupaten Gayo Lues, salah satu wilayah yang terdampak banjir dan longsor dalam bencana besar yang melanda Aceh.
Keberangkatannya tidak dibungkus seremoni, tidak pula dengan iring-iringan pejabat. Ia datang sebagai seorang perempuan Aceh yang ingin melihat langsung kondisi rakyatnya: memastikan pasokan makanan, perlengkapan darurat, dan kebutuhan mendesak tiba tepat waktu.
Ada satu momen sederhana yang terekam kamera ADC-nya, namun menyimpan makna kuat. Di dalam kabin pesawat, Kak Na duduk tenang mengenakan kerudung krem, memegang sebungkus mie instan murah Intermi Rasa Kaldu Ayam.
Sekilas tampak biasa, tetapi justru di situlah pesannya. Mie tersebut adalah makanan darurat yang juga dikirimkan ke para pengungsi. Dengan memegang dan memakannya, Kak Na seperti ingin berkata: “Apa yang kalian makan, saya juga makan. Apa yang kalian rasakan, saya ikut rasakan.”
Intermi di tangannya menjadi metafora solidaritas. Bahwa kepedulian bukan soal seberapa mahal atribut yang dibawa, tetapi sejauh mana seseorang bersedia menempatkan dirinya pada posisi rakyat.
Bukan sekali ini Kak Na turun langsung di masa kritis. Bahkan sebelum status darurat bencana provinsi ditetapkan, ia sudah berada di lapangan. Ia pernah terjebak banjir di Aceh Utara, menginap dua malam di sebuah SPBU, lalu menumpang truk tangki CPO untuk keluar dari lokasi.
Ia melihat dengan mata kepala sendiri: ibu-ibu yang cemas karena kekurangan makanan, anak-anak yang lemas karena berhari-hari makan seadanya, rumah-rumah yang hanyut oleh lumpur dan arus besar. Ia hadir bukan sebagai istri pejabat, tetapi sebagai sesama manusia yang ingin memastikan tidak ada satu pun warga yang merasa sendirian.
Narasi ini pada akhirnya bukan tentang jabatan, melainkan tentang kepekaan kemanusiaan. Tentang kemauan seorang figur publik untuk hadir tanpa jarak, tanpa formalitas yang berlebihan. Kak Na membawa simbol sederhana -- mie murah, tas anyaman, tatapan yang hangat -- dan melalui itu ia mengirim pesan kuat: “empati tidak pernah membutuhkan panggung.”
Sebagaimana diungkapkan jurnalis Zulfikar Akbar (@zoelfick): “Siapa pun yang sudah menyuarakan kondisi Sumatra, memberi support untuk korban di sana, kalian adalah pahlawan meski melakukannya tanpa berharap balasan.”
Sisi itu begitu nyata dalam dirinya.
Kak Na memang a lady first bagi Aceh, bukan hanya karena posisinya, melainkan karena nurani yang ia bawa ke setiap langkah. Ia memilih hadir, membantu, merasakan, dan menguatkan. Di tengah bencana, empatinya menjadi cahaya yang menghangatkan banyak hati.
Tidak berhenti di situ, sebagai Ketua Forum Peningkatan Konsumsi Ikan (Forikan) Aceh, Kak Na juga memfasilitasi pengiriman bantuan pangan bergizi bagi para pengungsi. Bersama Dinas Sosial Aceh, Adhyaksa Dharmakarini, dan Pemilik Perahu Cek Baka, ia mengirimkan tiga ton ikan segar serta bantuan sandang pangan ke daerah terdampak bencana yang masih terisolir. Prosesi pengiriman berlangsung di Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo.
Inisiatifnya ini patut diapresiasi -- Kak Na tidak hanya memastikan masyarakat terdampak mendapatkan makanan, tetapi juga memastikan mereka memperoleh nutrisi yang layak. Bantuan bergizi seperti ikan segar menjadi sangat penting bagi anak-anak, ibu hamil, dan lansia yang tengah bertahan dalam situasi sulit.
Kepedulian yang menyentuh kebutuhan dasar inilah yang menjadikan perannya berarti. Di tengah bencana besar, Kak Na memilih untuk bertindak dengan nurani, menghadirkan empati yang diwujudkan dalam kerja nyata.[arn]