DIALEKSIS.COM | Feature - "Ketaaaaaak, keeeeetuuuuk", suara benturan kapal wisata atau perahu terdengar di tengah Danau Lut Tawar. Ribuan kubik kayu berserak di danau. Kapal sulit melaluinya.
Kecamatan ini tidak lagi berkilau, seperti namanya Bintang. Rakyat di sana sampai hari ini Jumat (5/12/2025) masih terkurung. Walau ada transportasi danau, warga di sana memilih untuk tidak keluar.
Walau seluruh perkampungan di sana tertimpa musibah, ada ratusan titik longsor mengitari danau, dan sepanjang jalan menuju Gayo Lues ini, warga di sana memilih mengungsi di kampung halaman. Warga Bintang bersatu untuk tidak keluar.
Bongkahan batu besar, ribuan kubik kayu, lumpur dan pasir menyatu dalam perkampungan penduduk yang menghantam rumah, kebun. Muaranya semuanya ke danau. Bongkahan kayu menyebar di danau membuat airnya yang biru bening berubah keruh.
Kecamatan Bintang terkurung, bagaimana nasib warga di sana saat-saat awal musibah sulit diketahui. Transportasi darat yang selama ini menjadi andalan utama terputus. Harapan satu-satunya via danau.
Mulailah masyarakat berbaris di pinggiran Danau Lut Tawar menanti kabar dari Kecamatan Bintang. Setiap perahu dan kapal yang melintas, mereka berlarian menanyakan kabar, atau melihat saudara, apakah ada yang datang.
Untuk ke Takengon dari Bintang yang hanya berjarak 15 kilometer walau menggunakan kapal atau perahu bukanlah pekerjaan mudah. Di tengah danau, ribuan kubik kayu gelondongan berserak, sangat menyulitkan kapal untuk melintas.
Pengguna kapal dan perahu harus membuka jalan dulu, menggeser kayu kayu yang berserak agar bisa dilalui kapal. Suara ketak-ketak, benturan kayu dengan kapal sangat sering terdengar.
Dialeksis.com yang melihat langsung hamparan kayu gelondongan di danau ini, terkejut dan sempat sport jantung. Bila kapal karam atau membentur baling- baling, maka kapal akan mengapung di danau tidak lagi bisa meneruskan perjalanan.
Petugas kapal berusaha menggeser bongkahan kayu secara perlahan lahan agar tidak terjadi benturan dan menyapu bolang-baling. Komando terdengar jelas, kiriiiiiii, baliiiiik ke kanan.
Warna danau yang selama ini biru bening, berubah pekat. Hamparan kayu itu yang lebih banyak menumpuk di danau seputar kawasan Kelitu, dan di daerah kampung Toweren. Untuk Toweren hamparan kayu yang tidak masuk ke danau sampai saat ini terbentang luas di area persawahan pinggiran danau.
Informasi dari Bintang yang terkurung, dimana seluruh perkampungan di sana tertimpa musibah, banjir dan longsor, hanya didapatkan dari pengguna kapal. Isak tangis di dermaga, saling berpelukan menjadi pemandangan yang selama ini tidak pernah terjadi.
Ketika ada kapal atau perahu tiba, warga yang menanti di pinggiran danau berlari menanya kabar. Ada tetesan air mata. Apalagi ketika mendengar perkampungan yang hancur lebur dilarikan batu, kayu dan tanah lumpur.
Transportasi danau itu sudah cukup lama tidak dijadikan sebagai transportasi utama. Sejak berkembang obyek wisata, transportasi danau ini digunakan untuk wisata. Namun ketika musibah melanda, transportasi ini kembali seperti sedia kala, danau merupakan jalur transportasi utama.
Dari Takengon Bintang waktu tempuhnya tergantung jenis kapal, ada yang dapat ditempuh satu jam, 1,5 jam bahkan ada yang mencapai 2 setengah jam. Ongkosnya juga tergantung jenis kapal.
Tugas kemanusian
Saat Bintang terkurung, manusia yang berhati nurani untuk kemanusian juga bermunculan. Pemilik kapal Penggulu Grub dan Tirta Bengi, Ilhamuddin, mengerahkan nahkodanya untuk membantu warga yang terperangkap.
Mantan anggota dewan ini mengajak operator kapal untuk mengabdi. Selama tiga hari mereka mengangkut warga yang terisolir di sisi selatan dan utara danau, untuk di bawa ke Takengon.
Mereka tidak mengutip ongkos transport. Asalkan ada minyak kapal, mereka siap mengangkut masyarakat yang terperangkap.
“Tiga hari hingga malam kami membantu. Kami tahan lapar demi mengangkut saudara kami. Asalkan ada minyak kapal kami bergerak, operator kapal saya sampai tumbang,”sebut Mansyur penduduk Al Muslim, operator Kapal Tirta Bengi.
Dalam penjelasannya kepada Dialeksis.com di antara deru mesin kapal yang mengelak bongkahan kayu di danau ini, Mansyur menyebutkan, kapalnya nyaris tenggelam ketika menjemput pengungsi dari Nosar.
Ada masyarakat yang menyiapkan minyak, tentunya mereka harus kami prioritaskan. Namun yang naik ke dalam kapal berdesak-desakan, bahkan keluarga yang menyiapkan minyak ada yang tidak terangkut,” sebut Mansyur yang ketika itu mengangkut warga Nosar mengungsi ke Takengon.
Kelebihan kapasitas, mereka tidak mau turun, semuanya berebut untuk naik. Keadaan ini dimaklumi karena perkampungan Nosar hancur lebur dihajar banjir bandang. Semuanya dalam kapal terlihat tegang.
“Dua operator kapal, Ansar dan Putra juga semakin tegang. Mereka tahu kapasitas kapal, isinya hanya 30 orang namun sudah di jejali 50 orang. Sedikit gelombang atau oleng, semuanya akan tenggelam di danau,”sebut Mansur.
Tidak ada pilihan, semuanya ingin keluar dari Nosar, tidak ada yang mau turun. Kericuhan terjadinya. Namun tetap tidak ada yang mau turun. Akhirnya operator dengan nekat memberikan komando, posisi duduk penumpang, dan jangan ada yang melanggar aturan.
Ketika kapal bergerak, hanya tinggal sejengkal lagi air danau masuk ke dalam kapal. Keadaan malam itu, cuaca tenang, tidak ada angin dan hujan sudah mereda. Danau tidak bergelombang. Pelan pelan kapal berlayar.
Menghindari bongkahan kayu dalam kegelapan, tetap memberikan komando agar penumpang tetap di posisi, jangan panik, bila ingin semuanya selamat. Perjalanan hampir dua jam itu mengantarkan mereka ke dermaga, ketika turun ada isak tangis saling berpelukan.
Kapal sebagai transportasi di Danau Lut Tawar sudah lama ditinggalkan, hanya dijadikan sebagai transportasi wisata. Namun ketika musibah melanda dan kecamatan Bintang terkurung, jalur danau ini menjadi pilihan utama.
Transportasi warisan leluhur itu kini kembali andalan utama. Bagaimana nasib warga Bintang, warga di arah timur Takengon ini, kabar berita didapat dari jalur kapal. Menanti kapal dari Bintang, saat ini sama dengan menanti harapan.