Minggu, 21 Desember 2025
Beranda / Ekonomi / Pascabanjir Aceh, Cabai Takengon Banjiri Kota Lhokseumawe Harga Rp25 Ribu Per Kilo

Pascabanjir Aceh, Cabai Takengon Banjiri Kota Lhokseumawe Harga Rp25 Ribu Per Kilo

Sabtu, 20 Desember 2025 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Suasana sepanjang bahu jalan pintu masuk Kota Lhokseumawe, tepatnya di kawasan Simpang Loskala. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Lhokseumawe - Di sepanjang bahu jalan pintu masuk Kota Lhokseumawe, tepatnya di kawasan Simpang Loskala, pemandangan merah menyala kini menghiasi jalanan Kota Lhokseumawe.

Puluhan pedagang musiman menggelar lapak dagangan mereka, menjajakan cabai merah dan tomat segar yang didatangkan langsung dari dataran tinggi Gayo.

Di antara deretan pedagang tersebut, ada Fadli, seorang pria asal Takengon, Aceh Tengah, yang tampak sibuk melayani pembeli. Dengan cekatan, ia memasukkan cabai-cabai segar ke dalam kantong plastik sambil sesekali menyeka keringat di dahinya.

Saat ini, Fadli menjual cabai merah seharga Rp25.000 per kilogram dan tomat seharga Rp10.000 per kilogram. Harga ini jauh di bawah harga normal pasar biasanya.

"Stok di Takengon melimpah, tapi kami tidak bisa kirim ke Medan atau ke luar daerah dengan normal. Jadi, daripada busuk di kebun, kami bawa ke sini," ujar Fadli kepada media dialeksis.com, Sabtu (20/12/2025).

Penyebab utama anjloknya harga ini adalah terjepitnya jalur distribusi. Banjir dan tanah longsor yang melanda Aceh beberapa pekan terakhir telah memutus akses utama menuju wilayah tengah.

Jembatan yang ambruk dan timbunan material longsor membuat truk-truk besar pengangkut komoditas unggulan Aceh Tengah tidak bisa melintas.

Kondisi ini membuat para petani di Takengon berada dalam posisi sulit. Panen yang seharusnya mendatangkan untung justru menjadi beban karena minimnya pembeli yang bisa menjangkau wilayah mereka.

"Akses ke wilayah tengah masih putus dan terisolir. Kami nekat membawa barang ini lewat jalur-jalur alternatif yang berisiko hanya supaya ekonomi tetap berputar. Kami membawa hasil pertanian ini lewat akses Jalan Gunung Salak," tambah Fadli.

Menariknya, fenomena dagang di pinggir jalan Simpang Loskala ini disebut Fadli sebagai wujud Korban Bantu Korban.

Para pedagang seperti Fadli adalah korban dari bencana alam yang mematikan mata pencaharian mereka di kebun. Di sisi lain, mereka menjual barang dengan harga sangat murah kepada masyarakat pesisir yang juga tengah berjuang menghadapi dampak ekonomi pasca-banjir.

"Kami ini korban bencana, pembeli juga banyak yang baru saja kena dampak banjir di daerah bawah. Jadi, kami kasih harga murah saja, yang penting modal putar dan masyarakat terbantu," jelasnya.

Meski semangat swadaya ini terlihat kuat, Fadli menyadari bahwa berjualan di pinggir jalan bukanlah solusi jangka panjang. Ia dan ribuan masyarakat Aceh Tengah lainnya sangat menggantungkan hidup pada kelancaran akses transportasi.

Ia berharap Pemerintah Aceh segera mengambil langkah cepat untuk memperbaiki jembatan yang putus dan membersihkan titik-titik longsor yang masih menutupi badan jalan.

"Kami sangat berharap pemerintah segera mengatasi persoalan infrastruktur ini. Kalau jalan terus putus, ekonomi masyarakat bukan cuma macet, tapi bisa mati total. Kami butuh jalan itu kembali normal agar petani tidak terus-terusan rugi," tutup Fadli.[nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
pema