DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di tengah tingginya harga emas dan meningkatnya beban ekonomi pemuda, tradisi mahar yang lazim disebut mayam kini dinilai bukan hanya budaya, tetapi juga berubah menjadi beban sosial yang menghambat banyak pasangan menuju pernikahan.
Teuku Nurfaizil, alumni UIN Sultan Syarif Kasim Riau yang kini menempuh pendidikan pascasarjana pada Prodi Hukum Keluarga di UIN Ar-Raniry Banda Aceh, menilai bahwa persoalan mahar di Aceh sudah saatnya ditempatkan kembali pada esensi syariat dan rasionalitas sosial, bukan sekadar ukuran gengsi dan status sosial.
Dalam praktik masyarakat Aceh, ukuran mahar dihitung dalam satuan mayam, di mana satu mayam setara 3,3 gram emas.
Dengan harga emas yang kini berkisar sekitar tujuh juta rupiah per gram, satu mayam setara kurang lebih 18 juta rupiah. Sementara mahar minimal yang lazim diminta keluarga perempuan berkisar antara 5-10 mayam.
“Artinya, pemuda yang ingin menikah harus menyiapkan minimal 90 juta rupiah. Jumlah ini tentu tidak kecil bagi kalangan pekerja muda, sementara upah minimum di Banda Aceh saja berkisar 3,5 juta rupiah per bulan. Tidak heran jika banyak pemuda memilih menunda pernikahan karena faktor finansial,” ujar Teuku Nurfaizil kepada media dialeksis.com, Jumat, 21 November 2025.
Lebih jauh, ia menilai bahwa lonjakan harga emas dari tahun ke tahun membuat standar mahar yang diwariskan dari praktik lama menjadi tidak relevan lagi terhadap kondisi ekonomi saat ini.
Nilai 1 mayam pada tahun 2000-an tentu jauh berbeda dibandingkan dengan 2025, tetapi standar sosial tetap dipertahankan tanpa melihat perubahan realitas ekonomi.
Persoalan mahalnya mahar bahkan ikut mendapat perhatian lembaga legislatif. Anggota DPRA, Martini, dalam Rapat Paripurna Penyampaian Nota Keuangan dan Rancangan Qanun APBA 2026, Selasa (18/11/2025), mengusulkan agar Pemerintah Aceh menyiapkan program subsidi mahar untuk membantu pemuda yang ingin menikah.
“Tingginya harga emas, mohon kiranya ada program dari pemerintah untuk subsidi mahar atau bantuan mahar bagi anak muda yang mau menikah,” ujar Martini dalam rapat tersebut.
Usulan ini memicu perdebatan publik. Ada yang mendukung agar pernikahan tidak semakin sulit, tetapi tidak sedikit juga yang menilai bahwa mahar justru harus dikembalikan pada esensinya, bukan semakin diseret dalam kompetisi sosial.
Menurut Teuku Nurfaizil, mahar seringkali dipersepsikan sebagai ukuran martabat perempuan.
Padahal, dalam syariat Islam, mahar adalah bentuk penghargaan dan tanggung jawab dari calon suami, bukan instrumen untuk memamerkan harga diri keluarga.
“Semakin tinggi mahar tidak menjamin kualitas rumah tangga. Kesederhanaan dan kesesuaian kemampuan justru menjadi anjuran Islam,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa alternatif bentuk mahar seharusnya dibuka selebar-lebarnya, karena mahar tidak harus berbentuk emas. Dalam fikih Syafi’i, barang apa pun yang bernilai dan bermanfaat dapat dijadikan mahar, bahkan jasa sekalipun.
Nabi Muhammad SAW menikahkan Fatimah dengan mahar berupa baju besi milik Ali bin Abi Thalib, sebuah barang bernilai dan bermanfaat pada masa itu.
"Baju besi itu simbol profesi dan tanggung jawab. Ini menjadi pelajaran penting bahwa mahar tidak harus mahal untuk bermakna,” terang Nurfaizil.
Dalam konteks kekinian, ia mencontohkan bahwa seorang penulis dapat menjadikan buku karyanya sebagai mahar -- karena memiliki nilai ekonomi, manfaat intelektual, dan mencerminkan profesi. Begitu juga petani dapat memberi hasil panen atau sebidang tanah produktif, pekebun dengan bibit pohon produktif, dan peternak dengan kambing atau sapi.
“Ini bukan soal murah atau mahal, tetapi tentang simbol tanggung jawab sesuai kemampuan dan profesi. Jika dipahami dengan benar, justru pilihan ini lebih fungsional dan berkelanjutan,” katanya.
Teuku Nurfaizil menegaskan bahwa diskursus mahar harus dikembalikan pada dua prinsip utama: nilai syariat dan kesadaran sosial. Jika masyarakat terus menempatkan mahar sebagai syarat gengsi, maka generasi muda akan semakin tertekan dan angka penundaan pernikahan akan semakin tinggi.
“Mahar bukan ajang adu gengsi. Ia simbol kesungguhan dan penghormatan. Bila paradigma ini dapat diubah, maka beban sosial akibat mahar yang tinggi dapat berkurang, dan generasi muda dapat lebih mudah membangun keluarga yang sakinah,” tutupnya.[nh]