DIALEKSIS.COM | Jakarta - Banjir bandang dan longsor yang menerjang tiga provinsi di Pulau Sumatera yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November lalu menyisakan luka sosial dan kerugian ekonomi yang sangat besar.
Data yang dihimpun menunjukkan dampak luas: lebih dari 3,3 juta jiwa terdampak, 712 orang meninggal dunia, 507 dinyatakan hilang, dan ribuan lainnya luka-luka serta kehilangan tempat tinggal.
Sebuah kajian oleh Center of Economic and Law Studies (Celios) memperkirakan total kerugian ekonomi akibat bencana di ketiga provinsi itu mencapai Rp68,67 triliun. Angka ini mencakup kehilangan pendapatan rumah tangga, kerusakan pada infrastruktur publik dan swasta, serta biaya pemulihan jangka pendek hingga menengah.
Di level provinsi, rincian kerugian yang tercatat adalah:
Kerusakan bukan hanya soal angka kerugian fisik. Celios juga mencatat penurunan penerimaan negara dari sektor pertambangan, yang tercatat hanya Rp929 miliar sampai Agustus 2025 sebuah sinyal bahwa eksploitasi sumber daya tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan lokal, apalagi bila menimbulkan kerusakan lingkungan yang memperbesar risiko bencana.
Kerugian riil dirasakan oleh rumah tangga rumah rata dengan tanah, ladang terban, jaringan transportasi putus--mengganggu mata pencaharian, akses layanan dasar, dan kelangsungan usaha mikro maupun kecil yang menjadi tulang punggung perekonomian daerah.
Pemerintah pusat dan daerah telah menyalurkan bantuan logistik, evakuasi korban, serta memulai pekerjaan pemulihan infrastruktur kritis. Namun sumber daya yang dibutuhkan untuk rekonstruksi jangka menengah dan mitigasi bencana masih sangat besar. Pemulihan bukan sekadar membangun kembali fisik, melainkan juga memulihkan mata pencaharian, layanan pendidikan, dan kesehatan bagi jutaan jiwa yang terdampak.
Para ahli menekankan bahwa pendekatan pemulihan harus bersifat terintegrasi: rehabilitasi ekologis (penanaman kembali di kawasan hulu), perbaikan tata ruang, peningkatan kapasitas sistem peringatan dini, serta program dukungan ekonomi bagi rumah tangga dan UMKM.
Dalam rekomendasinya, Celios menyerukan agar pemerintah mempertimbangkan moratorium pemberian izin baru untuk kegiatan tambang dan perkebunan sawit di daerah-daerah rawan bencana. Argumen yang disampaikan adalah bahwa kerusakan lingkungan akibat pembukaan lahan dan aktivitas ekstraktif memperbesar kerentanan wilayah terhadap banjir dan longsor biaya sosial dan ekonomi yang timbul diperkirakan jauh melebihi manfaat jangka pendek dari penerimaan sektor tersebut.
Seruan ini muncul di tengah perdebatan soal keseimbangan antara eksploitasi sumber daya untuk pendanaan pembangunan dan tanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan demi keselamatan warga.
Bencana akhir November bukan sekadar statistik; ia menandai kegagalan sistem pengelolaan ruang dan lingkungan yang menempatkan banyak komunitas dalam bahaya. Memulihkan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat berarti melakukan pembenahan struktural: kebijakan tata ruang yang tegas, pengawasan izin yang ketat, pemulihan ekologis yang nyata, dan jaminan sosial bagi korban.
Celios dan berbagai organisasi sipil menegaskan satu hal jelas: biaya pencegahan dan perlindungan lingkungan jauh lebih murah dibandingkan biaya rekonstruksi dan penderitaan manusia yang ditimbulkan bencana. Pemerintah dan pemangku kepentingan mesti segera mengambil langkah menyeluruh--bukan hanya untuk membangun kembali, tetapi membangun lebih tahan bencana.