Senin, 22 Desember 2025
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Kayu Bernomor dari Hulu Petaka: Jejak Pembalakan di Balik Banjir Aceh

Kayu Bernomor dari Hulu Petaka: Jejak Pembalakan di Balik Banjir Aceh

Senin, 22 Desember 2025 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Temuan kayu yang terdapat coretan nomor. [Foto: Istimewa]


DIALEKSIS.COM | Dialektika - Viral di media sosial, sebuah video memperlihatkan tumpukan gelondongan kayu berukuran raksasa yang terseret banjir bandang di Aceh. Yang mencolok, pada batang-batang kayu itu terdapat angka berwarna merah seolah nomor identifikasi. Seorang relawan asal Sukabumi bernama Abah Zeans yang ikut membantu di lokasi bencana merekam penemuan tersebut. Ia menunjukkan kayu-kayu besar berserakan di pemukiman warga di Kecamatan Simpang Tiga, Pidie Jaya, Aceh, pascabanjir bandang awal Desember lalu.

“Kayu ada nomornya, bayangin kayu sebesar itu masuk rumah warga,” ujar relawan tersebut dalam video yang diunggah di TikTok, terheran-heran melihat pohon gelondongan berdiameter besar bisa hanyut hingga menembus rumah warga. Temuan tak lazim ini pun segera memicu pertanyaan publik, dari mana asal kayu-kayu bernomor ini? Apakah mereka berasal dari pohon tumbang alami, atau justru jejak aktivitas penebangan hutan di kawasan hulu yang terbawa arus banjir?

Fakta bahwa beberapa batang kayu berukuran besar tersebut bertuliskan kode angka jelas menimbulkan dugaan adanya aktivitas pembalakan. Abah Zeans sendiri menduga kayu-kayu itu bukan semata pohon tumbang akibat longsor alamiah. “Ada yang bekas gergaji,” ungkapnya, menunjuk adanya bekas potongan rapi pada batang indikasi pohon sengaja ditebang sebelum banjir terjadi. Meski ia belum dapat memastikan apa arti cat merah bernomor “3” pada kayu tersebut, temuan ini cukup untuk menyulut kecurigaan bahwa bencana banjir besar yang melanda Aceh dan wilayah Sumatra lain diperparah oleh ulah manusia.

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, dalam jumpa pers, Sabtu (20/12/2025). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat korban meninggal dunia akibat bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat mengalami penambahan. Pencarian hari ini ditemukan 19 jenazah. "Untuk hari ini, 20 Desember, jumlah total korban meninggal dunia ini bertambah 19 jiwa, yang artinya, dari 1.071 jiwa meninggal dunia per hari kemarin Jumat 19 Desember, hari ini total 1.090 jiwa korban meninggal dunia

Bencana ini jelas bukan kejadian biasa skala kerusakan dan korban begitu masif. Pemerintah pun mulai menaruh perhatian serius pada temuan gelondongan kayu di lokasi bencana. Apakah kerusakan lingkungan seperti illegal logging ikut andil memperparah banjir bandang kali ini? Berikut penelusuran mendalam mengenai misteri kayu bernomor di tengah bencana, langkah investigasi pemerintah, dan pandangan para ahli serta pegiat lingkungan.

Investigasi Pemerintah: Satgas Gabungan Usut Gelondongan Kayu

Temuan puluhan batang kayu besar di lokasi banjir Aceh, Sumut, dan Sumbar segera direspons pemerintah. Presiden Jokowi disebut memberi atensi khusus atas fenomena ini. Menindaklanjuti arahan tersebut, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bersama Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni bersepakat membentuk Satgas Gabungan untuk menyelidiki asal-usul gelondongan kayu yang hanyut saat bencana.

“Sesuai dengan beberapa temuan yang menjadi atensi Bapak Presiden, kami menyambut baik dan akan bekerja sama dengan Menteri Kehutanan dan tim membantu satgas gabungan melakukan penyelidikan terkait temuan-temuan kayu yang diduga berdampak terhadap kerusakan - terjadinya jembatan putus, rumah hancur, dan korban jiwa,” kata Jenderal Sigit dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (4/12/2025).

Kapolri menegaskan, ada dugaan pelanggaran hukum di balik munculnya gelondongan kayu dalam banjir tersebut. Tim gabungan Polri-Kemenhut kini tengah melakukan pendalaman kasus. “Karena ada temuan kayu yang diduga ada kaitannya dengan pelanggaran, kita akan melakukan pendalaman terlebih dahulu bersama-sama tim,” ujarnya.

Ia telah mengerahkan personel ke lokasi bencana di Aceh dan Sumatra, dan membuka peluang pihak lain bergabung untuk mempercepat investigasi. 

“Beberapa hari ini kami sudah turunkan personel. Nanti akan bergabung dengan tim dari Kemenhut, bila perlu dengan satgas lain, sehingga kerja tim lebih cepat,” kata Sigit.

Langkah investigasi mencakup penelusuran sepanjang daerah aliran sungai (DAS) terdampak banjir, dari hilir hingga ke hulu. Tim gabungan akan menyusuri sungai-sungai yang membawa gelondongan kayu itu untuk mencari titik lokasi asalnya. Kapolri mengungkap temuan sementara di lapangan bahwa terdapat beragam jenis kayu, dan beberapa batang menunjukkan bekas potongan gergaji mesin (chainsaw). Ini menguatkan indikasi keterlibatan aktivitas tebang-pohon dalam peristiwa tersebut.

Di sisi lain, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengungkap pihaknya telah mengambil sampel kayu gelondongan yang terbawa banjir, bahkan yang sudah sampai bermuara di laut. Sampel-sampel ini diverifikasi menggunakan teknologi Alat Identifikasi Kayu Otomatis (AIKO) untuk menentukan identitas kayu termasuk nama ilmiah, berat jenis, dan kelas kayu tersebut.

“Ada teknologi namanya AIKO untuk melihat anatomi kayu. Mudah-mudahan ini bisa menjadi indikasi awal di mana asal muasal kayu itu berada,” ujarnya dalam konferensi pers di Mabes Polri (4/12/2025). Dengan AIKO, kementerian dapat mendeteksi apakah kayu berasal dari pohon hasil tebangan (bukan sekadar tumbang alami) dan memetakan dari wilayah mana kira-kira kayu itu berasal.

Selain data anatomi kayu, Kemenhut juga telah mengantongi data awal hasil pengamatan drone terhadap area hulu yang diduga sumber gelondongan kayu tersebut “Kami berharap kerja sama dengan Polri bisa sesegera mungkin mengungkap dari mana asal kayu-kayu tersebut, dan tentu apabila ada unsur pidananya akan kita tegakkan bersama,” tegas Raja Juli.

Bahkan Menhut menyebut telah terlihat indikasi awal: ada cacat tertentu di kayu yang bisa membedakan apakah pohon dirobohkan dengan bulldozer atau dipotong rapi dengan chainsaw, sehingga dapat diketahui pola dan lokasi penebangannya. Semua petunjuk ini diharapkan bermuara pada satu hal menemukan pihak-pihak yang bertanggung jawab bila terbukti ada penebangan hutan liar yang berkontribusi pada bencana.

Kerusakan Lingkungan Memperparah Bencana

Pemerintah pusat mengakui bahwa bencana banjir bandang dan longsor di Sumatra kali ini bukan semata-mata akibat cuaca ekstrem, tapi juga dipicu faktor ulah manusia. Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya menegaskan kerusakan lingkungan turut memperparah dampak bencana.

“Selain faktor cuaca ekstrem, tentunya ada faktor kerusakan lingkungan yang memperparah bencana dan ini terus ditelusuri secara serius,” kata Teddy dalam keterangan pers di Halim Perdanakusuma, Jakarta (3/12/2025). Sembari penanganan darurat dan evakuasi korban berjalan, pemerintah mulai mengusut faktor-faktor kerusakan lingkungan tersebut. Artinya, dugaan praktik deforestasi, illegal logging, alih fungsi lahan di hulu DAS, dan sejenisnya akan diinvestigasi sebagai pemicu banjir bandang besar ini.

Salah satu petunjuk awal datang dari temuan gelondongan kayu sendiri. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengungkap indikasi bahwa kayu-kayu yang terseret banjir di wilayah Sumatra Utara dan Aceh berasal dari pembukaan perkebunan sawit.

Menurut Hanif, di beberapa lokasi terjadi pembukaan lahan kelapa sawit dengan prinsip zero burning lahan dibersihkan tanpa pembakaran, sehingga batang-batang pohon besar tidak dibakar melainkan hanya ditebang dan disisihkan di pinggir lokasi[22][23]. “Ada indikasi pembukaan kebun sawit yang menyisakan log-log. Karena zero burning, kayu itu tidak dibakar tapi dipinggirkan,” ujarnya usai rapat dengan Komisi IV DPR, Rabu (3/12/2025).

Biasanya, potongan kayu sisa land clearing ini dibiarkan tergeletak di hutan atau tepi sungai. Volume banjir yang sangat besar kemudian mendorong sisa-sisa kayu tersebut hanyut ke hilir. Alhasil, gelondongan kayu yang mestinya diam di lahan bekas hutan menjadi rudal alami saat banjir datang, menghantam jembatan, rumah, dan apapun di depannya.

“Ternyata banjirnya cukup besar mendorong itu menjadi bencana berlipat-lipat,” kata Hanif, seraya menambahkan semua potensi penyebab akan dicek lebih lanjut[25]. Ia menegaskan pemerintah harus teguh menegakkan aturan lingkungan hidup terkait bencana ini, agar kejadian serupa tak berulang.

Pernyataan Menteri LH tersebut sejalan dengan pengamatan banyak pihak. Dalam kasus banjir Sumatra Barat, misalnya, organisasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengungkap bukti deforestasi di hulu DAS. Menurut Walhi Sumbar, kumpulan kayu gelondongan yang menyapu pemukiman hingga terkumpul di pantai bukan berasal dari pohon tumbang alami, melainkan hasil penebangan hutan sistematis di sepanjang hulu DAS.

Citra satelit menampakkan puluhan titik pembukaan hutan di punggungan DAS Aia Dingin (wilayah hulu Kota Padang) dan jalur hanyutan kayu dari hulu ke hilir ternyata identik dengan lokasi pembalakan itu. Ini memperkuat bukti bahwa deforestasi telah memperbesar risiko banjir bandang: ketika hutan gundul, tak ada lagi akar pepohonan yang menahan air dan tanah, sehingga hujan lebat langsung meluruhkan lereng, menyeret tanah, kayu, dan batu ke bawah.

Pemerintah Aceh pun menyadari kompleksitas persoalan ini. Juru Bicara Pemerintah Aceh Muhammad MTA menyebut banjir dan longsor yang terjadi di wilayahnya “bukanlah kasus biasa”. Menurutnya ada “kompleksitas masalah, terutama terkait kerusakan lingkungan, yang dampaknya sangat parah.” Salah satu buktinya, ya menumpuknya kayu-kayu besar yang terbawa arus tadi. Air bah yang datang bukan sekadar air berlumpur cokelat, tapi membawa material kayu dalam jumlah masif, menerjang apa pun di hadapannya.

“Menumpuknya kayu itu bukan hal sederhana. Ada faktor lingkungan yang harus dicermati serius,” kata MTA (12/12/2025). Setelah air surut, batang-batang gelondongan bergelimpangan di mana-mana, merusak pemandangan dan mengundang keprihatinan. Ini jelas indikator daya dukung lingkungan di hulu telah terganggu secara serius.

Kayu Jadi Barang Bukti: Pelarangan Pengambilan di Aceh

Pemerintah Aceh lantas mengambil kebijakan tegas terkait gelondongan kayu di area terdampak bencana. Semua material kayu tersebut dilarang diambil, dipindahtangankan, apalagi dibawa keluar dari lokasi tanpa izin resmi otoritas berwenang, karena kayu-kayu itu dianggap berpotensi menjadi barang bukti penyelidikan dugaan pelanggaran hukum lingkungan. “Kepada siapapun dilarang mengambil apalagi membawa keluar kayu tanpa izin otoritas berwenang,” tegas Muhammad MTA dalam keterangannya, Jumat (12/12/2025).

Aparat penegak hukum kini tengah menyelidiki apakah ada tindak pidana lingkungan (seperti illegal logging) yang menjadi penyebab atau pemicu besarnya dampak bencana. Dalam proses ini, tumpukan kayu gelondongan di kawasan terdampak menjadi alat bukti penting. Karena itu, pemerintah daerah mengingatkan jangan sampai ada pihak yang sembarangan memindahkan atau menghilangkan kayu - kayu tersebut. 

“Semua pihak harus berhati-hati. Setiap tindakan tanpa prosedur hukum bisa berimplikasi serius,” ujar MTA. Ia tak ingin ada oknum memanfaatkan situasi dengan mengangkut kayu untuk kepentingan pribadi, karena bisa mengaburkan jejak penyelidikan.

Gubernur Aceh (Muzakir Manaf) melalui jubirnya juga menginstruksikan seluruh jajaran di lapangan untuk berkoordinasi dalam penanganan material kayu ini. Masyarakat dan institusi yang tengah membersihkan sisa banjir diminta menumpukkan kayu-kayu pada titik yang telah ditentukan bersama otoritas. Langkah ini penting agar proses identifikasi dan investigasi dapat berjalan tertib dan akuntabel. Pemerintah Aceh bahkan mengajak masyarakat ikut memantau dan menjaga agar tidak ada kayu yang keluar secara ilegal. 

“Pemerintah berharap masyarakat ikut mengawasi agar proses ini berlangsung baik,” kata MTA. Intinya, hingga ada kejelasan asal-usul dan status hukum kayu, tidak boleh sembarang dimanfaatkan.

Menariknya, di tengah upaya penyelidikan, muncul wacana di publik tentang pemanfaatan kayu pascabencana. Sebagian berpendapat, begitu urusan hukum jelas, kayu gelondongan melimpah ini bisa saja dimanfaatkan untuk membantu korban -- misalnya dijadikan bahan membangun hunian sementara atau memperbaiki jembatan darurat.

Bahkan Kementerian Kehutanan di level pusat sempat menyatakan material kayu sisa banjir dapat dipakai untuk pemulihan, selama sesuai kebutuhan darurat dan di bawah pengawasan negara. Namun, gagasan ini menuai pro-kontra. Banyak pemerhati lingkungan mengingatkan agar isu kayu pascabanjir tidak semata dilihat sebagai peluang ekonomi, melainkan mesti diletakkan dalam konteks pemulihan lingkungan dan kepentingan masyarakat terdampak.

Sorotan Kritis: Jangan Legalkan Pembalakan Berkedok Bencana

Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina), sebuah lembaga pemerhati investasi dan lingkungan di Aceh, secara tegas mengkritik setiap wacana pengelolaan kayu pascabencana yang berorientasi bisnis. Muhammad Nur, SH, Direktur Eksekutif Forbina, menilai melimpahnya kayu pascabanjir adalah tanda kerusakan ekologis serius, bukan komoditas yang bisa langsung dieksploitasi tanpa landasan hukum dan kajian lingkungan mendalam.

“Kami mengkritik keras tawaran pengelolaan kayu pascabanjir yang hanya berorientasi keuntungan ekonomi. Ini berbahaya jika pemerintah abai pada akar persoalan, yakni kerusakan hutan dan tata kelola lingkungan yang buruk,” tegas Muhammad Nur dalam keterangannya kepada Dialeksis (21/12/2025).

Menurutnya, jika pemerintah gegabah mengizinkan pengelolaan kayu tanpa transparansi dan pengawasan ketat, hal itu berpotensi melegitimasi pembalakan liar secara tidak langsung. Bencana bisa dijadikan “pintu masuk legalisasi kayu” yang asal-usulnya patut dipertanyakan, ujarnya. Alih-alih buru-buru bicara soal manfaat ekonomi, Forbina mendesak pemerintah melakukan audit menyeluruh terhadap penyebab bencana di hulu: periksa semua izin kehutanan, aktivitas pembukaan lahan, dan tambang yang mungkin berkontribusi.

“Sebelum bicara pengelolaan kayu, pemerintah harus audit apa yang terjadi di hulu. Jika kayu terbawa arus lalu dikelola tanpa kontrol, seolah bencana jadi ajang cuci gudang kayu ilegal,” kritiknya tajam.

Meski begitu, Forbina tidak menutup mata bahwa material kayu berserakan memang perlu ditangani. Hanya saja, prinsipnya harus ekstra hati-hati, berbasis hukum, dan berpihak pada masyarakat terdampak. Muhammad Nur mengusulkan tiga poin solusinya: Pertama, pastikan status hukum setiap gelondongan kayu jelas (dari mana dan legalitasnya). 

Kedua, jika dikelola, harus di bawah kendali negara dengan melibatkan masyarakat lokal bukan diserahkan ke korporasi atau cukong kayu. Ketiga, hasil pemanfaatan (jika ada) dikembalikan untuk pemulihan lingkungan dan kesejahteraan korban bencana, bukan masuk kantong segelintir pihak. “Jangan sampai korban banjir justru tidak mendapat apa-apa sementara ada yang mengambil untung dari kayu tersebut,” ujarnya.

Forbina juga mendorong agar momentum pascabencana ini dijadikan titik balik membenahi tata kelola sumber daya alam Aceh secara menyeluruh. “Aceh tidak boleh terus-menerus jadi korban salah urus lingkungan. Jika tidak ada pembenahan serius, bencana akan berulang dan masyarakat yang menanggung akibatnya,” tutup Muhammad Nur. Pesan ini jelas menegaskan penanganan bencana tidak bisa dilepaskan dari reformasi lingkungan hidup.

Pakar Lingkungan: Tumpukan Kayu Ibarat Bom Waktu Ekologis

Para akademisi lingkungan pun angkat bicara. Dr. T.M. Zulfikar, Dosen Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah, menyebut fenomena kayu pascabanjir sebagai indikator nyata kerusakan hutan di hulu. “Kayu gelondongan yang terbawa banjir bandang dan longsor adalah sinyal bahwa daya dukung lingkungan di hulu sudah terganggu,” ujarnya kepada Dialeksis (21/12/2025). Ia mengingatkan, jangan sampai kayu-kayu besar ini dilihat semata sebagai komoditas ekonomi.

Menurut Dr. Zulfikar, tumpukan kayu di alur sungai dapat menjadi bom waktu ekologis bila tidak ditangani tepat. Kayu-kayu besar yang nyangkut di sungai bisa menghambat aliran air, mempercepat sedimentasi, dan meningkatkan risiko banjir susulan di kemudian hari apalagi saat curah hujan tinggi. “Pembersihan kayu memang diperlukan untuk mengamankan alur sungai.

Namun harus sistematis dan terukur, diawali pendataan jelas dan pengawasan ketat,” katanya, seraya menekankan instansi kehutanan dan lingkungan harus terlibat dalam proses ini. “Jangan sampai penanganan bencana membuka ruang pembalakan liar terselubung,” ia memperingatkan. Dengan kata lain, evakuasi kayu dari sungai perlu dilakukan, tapi jangan berubah jadi ajang eksploitasi baru.

Lebih jauh, Dr. Zulfikar menilai problem kayu pascabanjir tak terlepas dari pola tata ruang dan pemanfaatan lahan di Aceh selama ini. Berkurangnya tutupan hutan di kawasan hulu, lemahnya pengawasan, serta inkonsistensi penegakan aturan memperparah dampak banjir bandang dan longsor.

“Ketika hutan kehilangan fungsi lindung, tanah dan kayu mudah terbawa arus. Banjir bandang kali ini akumulasi dari tekanan ekologis yang dibiarkan terlalu lama,” ujarnya. Ia mendesak pemerintah daerah segera melakukan audit lingkungan menyeluruh di daerah terdampak, terutama di sepanjang DAS dan kawasan hulu. Audit ini penting untuk memetakan tingkat kerusakan, menentukan langkah pemulihan, sekaligus mencegah bencana serupa terulang.

Terkait wacana pemanfaatan kayu untuk korban, Dr. Zulfikar berpendapat hal itu hanya bisa dilakukan jika sesuai ketentuan hukum dan benar-benar untuk kepentingan sosial. Misalnya, kayu dimanfaatkan membangun hunian sementara bagi warga yang rumahnya hancur bukan untuk diperjualbelikan atau keuntungan segelintir pihak. “Jika dikelola secara benar, kayu pascabencana bisa memberi manfaat.

Tapi kalau dibiarkan tanpa kontrol, justru memperbesar risiko bencana di masa depan,” tegasnya. Ia juga mendorong pelibatan masyarakat lokal dalam setiap langkah pengelolaan dan pengawasan. Masyarakat setempat bukan hanya korban, tapi juga aktor penting dalam menjaga kelestarian lingkungan. “Pelibatan warga akan memperkuat pengawasan sekaligus menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa menjaga hutan dan sungai adalah bagian dari menjaga keselamatan bersama,” ujarnya.

Sebagai penutup, Dr. Zulfikar menggarisbawahi bahwa keberhasilan penanganan kayu pascabanjir tidak diukur dari seberapa cepat material itu dibersihkan, melainkan dari seberapa besar risiko bencana bisa dikurangi ke depan. “Tujuan akhirnya bukan sekadar membersihkan sisa bencana, tetapi memastikan lingkungan lebih aman dan lestari bagi generasi berikutnya. Di situlah ukuran keberhasilan kita,” pungkasnya.

Misteri gelondongan kayu bernomor di tengah banjir Aceh kini tengah diusut tuntas. Apakah benar ada jejak pembalakan liar atau kelalaian tata kelola hutan di balik bencana ini? Hasil investigasi aparat dan analisis teknologi akan menjawabnya kelak. Namun yang sudah terang, alam telah memberi peringatan keras. Kayu-kayu raksasa yang “turun dari gunung” bak membawa pesan: kerusakan hutan di hulu akhirnya menerjang balik manusia di hilir.

Bagi pemerintah dan kita semua, peristiwa ini semestinya menjadi momentum introspeksi besar-besaran. Penanganan bencana tidak cukup hanya membangun ulang infrastruktur dan rumah warga, tapi harus dibarengi upaya memulihkan lingkungan yang terluka. Hutan-hutan di Aceh dan Sumatra mesti diselamatkan, penebangan liar ditindak tegas, tata ruang diperbaiki, dan perizinan tambang/kebun dievaluasi. Tanpa pembenahan tersebut, banjir bandang akan terus berulang di masa mendatang, membawa “bom waktu” ekologis baru dari hulu.

Gelondongan kayu bernomor di Aceh bukan sekadar puing bencana ia adalah bukti dan pelajaran. Bukti bahwa ada yang salah dalam cara kita memperlakukan alam, dan pelajaran bahwa alam yang rusak pada akhirnya akan menuntut pertanggungjawaban. Semoga dari duka bencana ini, muncul kesadaran kolektif untuk lebih menjaga hutan dan lingkungan demi keselamatan di masa depan. Bencana ini hendaknya menjadi titik balik, bukan sekadar episode rutin yang dilupakan setelah air surut. [arn]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI