kip lhok
Beranda / Analisis / Wacana PJ Gubernur Aceh dari Kalangan Sipil

Wacana PJ Gubernur Aceh dari Kalangan Sipil

Jum`at, 01 April 2022 14:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Aryos Nivada, Dosen FISIP USK, Pendiri Jaringan Survei Inisiatif, Direktur Lingkar Sindikasi Grub, Pemilik media Dialeksis.com dan Nukilan.id. [Foto: For Dialeksis]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ada perhatian khusus untuk tujuh provinsi di Bumi Pertiwi pada tahun 2022 ini. Tujuh gubernur di 7 provinsi ini akan berakhir masa pimpinanya, yaitu Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat dan Papua Barat. 

Sudah pasti tujuh provinsi ini akan diisi oleh PJ kepala daerah, untuk menjaga keberlangsungan stabilitas pemerintahan sekaligus tetap berjalan pembangunan. Perlu respon cepat mencari, serta menentukan penempatan penjabat untuk tujuh provinsi ini.

Muncul wacana pengisian kekosongan PJ kepala daerah, agar diisi unsur TNI/Polri. Namun dalam hal ini perlu menjadi pertimbangan apabila posisi PJ diisi unsur tersebut, terutama di wilayah paska konflik.

Regulasi tentang penunjukan PJ kepala daerah sudah diatur dalam Pasal Pasal 201 ayat 9-11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyatakan penjabat gubernur, bupati, dan wali kota berasal dari kalangan aparatur sipil negara (ASN).

Bila merujuk pada Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada, kekosongan jabatan gubernur harus diisi dengan Penjabat yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya. Definisi pimpinan tinggi madya telah disebutkan pada Pasal 19 ayat (1) huruf b UU ASN.

Yaitu; Sekretaris jenderal kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga non-struktural, direktur jendral, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, kepala sekretariat presiden, kepala sekretariat wakil presiden, sekretaris militer presiden, kepala sekretariat dewan pertimbangan presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara.

Sementara, TNI-Polri sendiri tidak masuk dalam kategori ASN, sehingga jika mereka ditunjuk sebagai Pj kepala daerah, justru nantinya dapat memunculkan atau menghidupkan kembali dwi fungsi TNI-Polri.

Obyektif

Sudah seharusnya, pemerintah menghindari kontroversi dan spekulasi di tengah kompleksitas tensi politik 2024. Untuk menghindari ketegangan di level lokal, pemerintah perlu menempatkan prioritas utama mengisi PJ Kepala daerah dari kalangan sipil.

Disisi lain faktor yang perlu menjadi pertimbangan utama, adalah pengaruh subordinasi ikatan hierarki yang kuat antara TNI atau Polri kepada atasannya. Hal tersebut akan menyulitkan mereka untuk menjadi independen dalam menentukan kebijakan.

Kalau sikap dan loyalitas pejabat sipil, akan lebih memungkinkan mereka untuk menolak arahan maupun kebijakan yang tidak sesuai dengan kepentingan daerah yang dipimpinnya.

Lantas bagaimana dengan kriterita Gubernur Aceh? Pertama tentunya ASN. Kedua memahami tata kelola pemerintahan dan kekhususan Aceh dengan baik, terutama MoU Helsinki dan UUPA.

PJ Kepala Daerah harus memahami kultur, watak/karakter serta peta konflik Aceh. Citra netral dan non partisan (tidak memiliki citra dengan dengan kepentingan politik tertentu).

Kelima pernah berdinas di Aceh. Memiliki jejaring nasional guna mendukung kerja-kerjanya selaku PJ Gubernur, khususnya Kemendagri, dan lintas kementerian. Diterima sekaligus mampu berkomunikasi dengan unsur stakeholder di Aceh. Dan mampu menterjemahkan kepentingan dan kebijakan pusat di tingkat lokal, disisi lain mampu menjembatani prioritas kepentingan lokal kepada pihak pemerintah pusat. 

Bila melihat kriteria ini, maka sosok yang tepat untuk mengisi kekosongan PJ Gubernur Aceh haruslah diprioritaskan dari kalangan sipil.


Justifikasi pentinganya Pj Gubernur Unsur Sipil

Aceh merupakan bagian dari teritorial sangat strategis yang diapit Samudera Malaka dan Hindia. Sebagai daerah paska konflik, kehadiran militer dalam struktur pemerintahan Aceh akan kontraproduktif, karena kembali akan mempertajam image Aceh kepada pihak luar bahwa situasi Aceh belum kondisi atau belum aman. Citra image Aceh belum kondusif sangat berbahaya, akan sangat berpengaruh berpengaruh terhadap iklim investasi dan penilaian investor

Selain itu, dikhawatirkan memori masa kelam akan kembali muncul , dimana Aceh pernah dipimpin oleh militer ketika masa situasi darurat militer dan darurat sipil. 

Mengapa harus kalangan sipil? Karena sipil dinilai lebih mampu menjembatani multi stakeholder di Aceh. Sipil menjadi motor penggerak perpanjangan tangan pemerintah pusat ketimbang berlatar belakang vertikal seperti militer. 

Kehadiran sosok PJ dari kalangan sipil diharapkan mampu mereduksi pandangan buruk masyarakat Aceh yang notabene memiliki histori kelam dengan kepemimpinan militer baik semasa darurat militer maupun darurat sipil.

Kalangan sipil akan dapat diterima oleh masyarakat Aceh, terlebih apabila yang bersangkutan memahami dengan baik aspek kekhususan tata kelola pemerintahan Aceh, sebagaimana tertuang dalam MoU Helskiny dan UUPA.

Kehadiran PJ di Aceh harus mampu menjadi landasan penciptaan situasi stabil dan kondusif kedepan, terutama menjelang pemilu 2024. Prioritas dari kalangan sipil dinilai mampu untuk meredakan tensi ketegangan di Aceh, terutama menjelang pemilu 2024, sekaligus disaat bersamaan mampu menciptakan imej baru di kalangan rakyat Aceh bahwa pusat kini tidak lagi memandang Aceh sebagai daerah tidak aman.

Kiranya, tulisan analisis ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan arah keputusan dalam penempatan PJ Gubernur Aceh ke depannya. Aceh memerlukan sosok sipil dalam mengisi kekosongan pimpinan. PJ Gubernur Aceh harus dari kalangan sipil. (***)


***Aryos Nivada, Dosen FISIP USK, Pendiri Jaringan Survei Inisiatif, Direktur Lingkar Sindikasi Grub, Pemilik media Dialeksis.com dan Nukilan.id.

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda