Selasa, 16 Desember 2025
Beranda / Analisis / Bantuan Bencana dan Batas Wewenang: Ketika Danrem Lilawangsa Menuai Kontroversi

Bantuan Bencana dan Batas Wewenang: Ketika Danrem Lilawangsa Menuai Kontroversi

Senin, 15 Desember 2025 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Muhammad Ridwansyah

Dr. Muhammad Ridwansyah, Anggota Tim Pembinaan dan Pelaksanaan MoU Helsinki Lembaga Wali Nanggroe 2025 dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien


DIALEKSIS.COM | Analisis - Bencana banjir bandang yang melanda Aceh Utara pada akhir tahun 2025 memunculkan polemik terkait peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penanganan bantuan kemanusiaan. Publik dikejutkan oleh tindakan sejumlah prajurit TNI yang mengambil sebagian bantuan untuk korban banjir di Aceh Utara dan mengamankannya di markas Korem 011/Lilawangsa. Pihak TNI, melalui Komandan Korem (Danrem) 011 Kolonel Inf Ali Imran, mengklaim langkah ini bertujuan mencegah penjarahan oleh oknum organisasi masyarakat (ormas) tertentu.

Namun, aksi tersebut menuai kritik tajam karena dianggap melampaui wewenang dan berpotensi menyalahi kerangka hukum yang berlaku, terutama Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Tulisan ini akan menyajikan analisis objektif atas peran TNI dalam kasus tersebut, menguraikan landasan hukum terkait, menyampaikan kritik secara konstruktif, serta menawarkan solusi untuk mencegah terulangnya polemik serupa di masa mendatang. Tujuannya agar penanganan bencana berjalan efektif sesuai aturan, tanpa tumpang tindih peran antara aparat sipil dan militer.

Kronologi Singkat Insiden di Aceh Utara

Pada Sabtu, 13 Desember 2025, sekelompok prajurit TNI di Aceh Utara mendatangi Pelabuhan Krueng Geukuh menggunakan truk bak terbuka, lalu mengangkut sebagian bantuan logistik yang baru tiba untuk korban banjir. Setelah itu, mereka menuju gudang logistik di Pendopo Bupati Aceh Utara – tempat penyimpanan bantuan di bawah pengawasan Pemerintah Kabupaten. Di sana terjadi ketegangan antara prajurit TNI dan petugas pengelola logistik karena TNI bersikeras mengambil sebagian barang bantuan yang ada. Menurut sumber di lapangan, bantuan tersebut kemudian dibawa ke Gedung KNPI Aceh Utara di kompleks Markas Korem 011/Lilawangsa.

Belakangan terungkap bahwa langkah pengamanan bantuan itu atas perintah Danrem 011/Lilawangsa Kolonel Ali Imran sendiri. Danrem menyatakan tindakannya bertujuan “menyelamatkan bantuan” agar tidak dijarah oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.

Ia mengungkapkan bahwa selama ini ada indikasi sebagian bantuan kerap diselewengkan oleh kelompok tertentu demi kepentingan organisasi, termasuk oleh salah satu ormas, bahkan ada yang membawa simbol “bendera terlarang” dalam aksinya. Pernyataan ini mengesankan adanya kekhawatiran TNI terhadap ulah oknum ormas yang berpotensi menyalahgunakan bantuan bencana demi agenda sendiri.

Kolonel Ali Imran juga menyebut di Korem Lilawangsa terdapat Posko BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) yang berwenang mengamankan bantuan untuk korban banjir. Dengan kata lain, TNI berargumen bahwa langkah pengamanan bantuan tersebut dilakukan bukan secara sepihak, melainkan dalam kerangka posko terpadu BNPB di markas Korem. Danrem mengaku mengantongi instruksi dari Menkopolhukam (Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan) bahwa seluruh bantuan bencana harus dikoordinasikan oleh BNPB dan diatur oleh pihak Korem.

Ia memastikan bahwa bantuan yang diambil TNI tetap akan disalurkan kepada para korban banjir dan longsor di Aceh Utara, serta mengundang wartawan untuk melihat langsung proses penyalurannya di Korem.

Meskipun TNI menjanjikan transparansi lanjutan, aksi “pengamanan” bantuan oleh prajurit ini terlanjur menimbulkan kontroversi. Sejumlah pihak mempertanyakan legalitas dan kepatutan tindakan tersebut, mengingat peran TNI dalam situasi darurat sipil telah diatur jelas oleh undang-undang. Untuk memahami letak permasalahannya, perlu ditinjau dulu landasan hukum mengenai peran TNI dan instansi terkait dalam penanggulangan bencana.

Landasan Hukum: Peran TNI dan Wewenang Sipil dalam Bencana

UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur tugas pokok dan fungsi TNI. Pasal 7 UU 34/2004 menyebutkan dua jenis operasi TNI, yakni operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang (OMSP). Keterlibatan TNI dalam penanggulangan bencana alam secara eksplisit tercantum sebagai salah satu bentuk OMSP. Tepatnya, membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan memberikan bantuan kemanusiaan termasuk dalam tugas TNI. Artinya, secara legal-formal TNI memang memiliki tugas membantu penanganan bencana. Kemampuan TNI yang terlatih, disiplin, dan sigap sering kali menjadi andalan dalam keadaan darurat, misalnya untuk evakuasi korban, membuka akses wilayah terisolir, mendirikan fasilitas darurat, hingga distribusi logistik ke daerah sulit.

Namun, penting dipahami bahwa kata kunci dari peran tersebut adalah “membantu”. TNI bertindak sebagai elemen pendukung dalam konteks koordinasi sipil. UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menegaskan bahwa penanganan bencana pada prinsipnya merupakan urusan sipil yang dikoordinasikan oleh BNPB di tingkat nasional serta Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD, di Aceh dikenal sebagai BPBA) di tingkat lokal. Dalam keadaan tanggap darurat bencana, BNPB/BPBD berwenang menggerakkan sumber daya dari berbagai instansi termasuk mengerahkan personel TNI dan Polri untuk mendukung operasi kemanusiaan. Dengan demikian, struktur komando penanggulangan bencana berada di tangan otoritas sipil, sementara TNI berperan memberikan bantuan sesuai kebutuhan yang diminta.

Pada tahap tanggap darurat, biasanya dibentuk Pos Komando (Posko) bencana yang melibatkan semua unsur: BNPB/BPBD sebagai koordinator, pemerintah daerah, kementerian/lembaga terkait, organisasi kemanusiaan, Polri untuk keamanan, dan TNI untuk dukungan personel/peralatan.

Distribusi bantuan logistik umumnya diatur oleh Satgas Logistik di bawah komando BNPB/BPBD, dan pengamanan distribusi adalah domain aparat penegak hukum (Polri) dengan bantuan Satpol PP atau Linmas setempat. Tidak ada ketentuan khusus dalam UU 24/2007 yang memberi mandat kepada TNI untuk bertindak sebagai pengaman bantuan secara independen peran TNI tetap melalui perbantuan atas permintaan otoritas sipil. Bahkan dalam operasi kemanusiaan, TNI harus menghindari fungsi penegakan hukum yang menjadi tugas Polri, kecuali jika ada instruksi atau pelibatan resmi dalam kerangka penanganan bencana yang telah disepakati.

Dengan kerangka hukum tersebut, muncul pertanyaan: Apakah tindakan Danrem 011 beserta anggotanya dalam “mengamankan” dan memindahkan bantuan milik pemerintah daerah dapat dibenarkan sepenuhnya oleh aturan? Dan sejauh mana urgensi situasi bisa menjadi dasar pembenar?

Analisis Objektif: Apakah Peran TNI Sudah Tepat?

Dilihat secara niat dan konteks, langkah Kolonel Ali Imran memerintahkan prajuritnya mengamankan bantuan didasari keinginan menjamin bantuan benar-benar sampai ke korban, bukan diselewengkan. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan; sebelumnya Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) sendiri mengungkapkan kabar mengejutkan bahwa puluhan ton bantuan bencana diduga “hilang” dan tidak sampai ke penerima di wilayah lain (Bener Meriah).

Gubernur bahkan meminta aparat keamanan, termasuk Pangdam (TNI) dan kepolisian, untuk mengusut kebenaran informasi tersebut. Dalam situasi darurat di mana bantuan mengalir deras, potensi penyalahgunaan atau penjarahan oleh oknum tertentu memang nyata. TNI sebagai institusi yang disiplin mungkin merasa perlu turun tangan cepat agar jangan sampai bantuan vital bagi korban banjir dikuasai pihak-pihak tak bertanggung jawab.

Danrem 011/LW berdalih bahwa tindakan di Aceh Utara sudah sesuai koordinasi pusat, mengacu pada instruksi Menkopolhukam agar Korem membantu mengatur distribusi bantuan di bawah koordinasi BNPB. Dirinya juga menunjuk keberadaan posko BNPB di markasnya sebagai dasar legal bahwa pengamanan oleh TNI terjadi dalam kerangka posko resmi. Jika asumsi ini benar, semestinya Pemda dan instansi lokal pun dilibatkan atau minimal diberitahu sebelum TNI mengambil langkah. Sayangnya, insiden di lapangan menunjukkan adanya miskomunikasi atau bahkan tidak adanya koordinasi langsung dengan petugas pengelola bantuan daerah buktinya terjadi adu argumen antara prajurit dan pejabat logistik setempat. Hal ini memunculkan kesan bahwa TNI bertindak sepihak, meski mungkin dengan niat baik.

Dari perspektif kepatuhan hukum, di sinilah letak permasalahan utamanya. UU TNI memang membolehkan TNI terlibat dalam penanggulangan bencana, tetapi UU Penanggulangan Bencana memberikan peran dominan kepada BNPB/BPBD. Artinya, jalur komando dan koordinasi seharusnya dijaga tegak. Prajurit TNI tidak semestinya mengambil alih fungsi yang menjadi ranah sipil, seperti menyita atau mengamankan logistik tanpa didampingi aparat sipil berwenang. Apabila benar ada ormas yang hendak “membajak” bantuan pemerintah untuk kepentingan sendiri (misalnya memasang atribut organisasi pada bantuan atau bahkan membawa simbol terlarang), langkah yang semestinya ditempuh adalah tindakan hukum oleh kepolisian.

Polisi dapat menindak tegas oknum yang menjarah atau menghalangi distribusi bantuan karena itu termasuk tindak pidana. TNI dapat membantu sebatas memberi dukungan keamanan tambahan jika diminta, tetapi bukan sebagai eksekutor utama pengamanan logistik di ranah sipil kecuali situasi keamanan sudah sangat genting dan polisi kewalahan. Pada kasus Aceh Utara, tidak dilaporkan adanya kekacauan massa ataupun serangan bersenjata yang mengancam keselamatan, sehingga peran Polri seharusnya lebih dikedepankan dalam hal pencegahan penjarahan.

Kritik publik pun muncul lantaran tindakan TNI tersebut dinilai mencerminkan kekeliruan memahami peran. Nurzahri, mantan Juru Bicara Partai Aceh, secara terbuka mempertanyakan “Sejak kapan TNI berubah fungsi menjadi pengaman bantuan? Apakah Polri sudah tidak ada?”. Sindiran ini menggambarkan pandangan bahwa fungsi utama TNI bukanlah sebagai aparat penegak hukum atau pengaman logistik, karena sudah ada institusi lain yang bertugas.

Nurzahri juga mengkritik keputusan Danrem menyimpan bantuan di tempat terpisah (Gedung KNPI di kompleks Korem) alih-alih segera mendistribusikannya kepada korban di lapangan. Menurutnya, mengamankan bantuan di lokasi kosong tanpa prosedur penyaluran yang jelas hanya menunda korban menerima hak mereka, padahal masyarakat sangat membutuhkan segera. Jika alasannya ketidakpercayaan pada pemerintah daerah dalam mengelola bantuan, Nurzahri menyarankan konsistensi sikap dari pemerintah pusat,“Kalau memang tidak percaya Pemda, lebih baik ambil alih saja penanganan bencana Sumatera oleh TNI, jangan hanya bantuannya saja yang diambil,” sindirnya tajam.

 Ucapan ini menggarisbawahi potensi inkonsistensi, dimana di satu sisi TNI mengambil alih distribusi logistik, tetapi di sisi lain otoritas penanggulangan tetap di tangan sipil – situasi yang rancu dan dapat membingungkan masyarakat.

Secara objektif, dapat diakui bahwa TNI beritikad membantu dalam kondisi darurat. Banyak prestasi dan pengorbanan TNI di tengah bencana yang patut diapresiasi, mulai dari evakuasi, pembangunan jembatan darurat, hingga penyaluran bantuan ke daerah terpencil dengan heli atau perahu. Khusus di Aceh, pasca banjir besar ini, TNI AL mengerahkan KRI untuk distribusi bantuan ke wilayah terisolir, dan prajurit TNI AD bersama relawan bergerak cepat menyalurkan sembako ke desa-desa terdampak. Langkah proaktif seperti inilah yang sejalan dengan semangat OMSP dalam penanggulangan bencana.

Masalah muncul ketika peran “membantu” itu dirasakan bergeser menjadi “mengambil alih” peran instansi lain. TNI harus sangat berhati-hati agar tindakan mereka tidak ditafsirkan melampaui kewenangan, apalagi sampai memunculkan persepsi militerisme dalam urusan sipil. Berbagai komentar warganet di Aceh menunjukkan kekhawatiran tersebut: ada yang menuding TNI “sok berkuasa di bumi Aceh”, “penguasa segala bidang dari tanah wakaf sampai bantuan banjir”, bahkan ada seruan sinis “sudah saatnya TNI, Polri & DPR dibubarkan” karena frustrasi. Tentu itu ungkapan berlebihan, namun menjadi lampu kuning bahwa kepercayaan publik bisa tergerus jika TNI dinilai tidak peka batas kewenangan.

Dari analisis di atas, benang merah persoalan terletak pada pentingnya kejelasan peran dan koordinasi. TNI memiliki fungsi strategis dalam penanganan bencana, tetapi harus tetap dalam koridor hukum dan menghormati ranah sipil. Berikut ini beberapa kritik konstruktif dan solusi yang dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki ke depannya.

Kritik Konstruktif dan Solusi

Perkuat Koordinasi dan Komando Terpadu: Ke depan, setiap pelibatan TNI dalam distribusi bantuan harus melalui koordinasi yang jelas dengan BNPB/BPBD dan aparat kepolisian. Posko darurat bencana semestinya menjadi satu-satunya kanal komando. Jika Danrem atau Dandim ditunjuk memimpin sebagian tugas (misal transportasi logistik), maka pejabat sipil terkait harus dilibatkan dalam keputusan operasional. Solusinya, gelar rapat koordinasi harian di posko yang dihadiri TNI, Polri, BPBD, dan relawan untuk memastikan tidak ada aksi unilateral. Dengan komunikasi intens, TNI tidak perlu bertindak sendiri karena semua langkah disepakati bersama sejak awal.

Sesuai Prosedur Hukum dalam Penegakan: Apabila terdeteksi adanya ormas atau pihak manapun yang mencoba menyelewengkan bantuan, mekanisme penanganannya harus melibatkan penegak hukum (Polri). TNI dapat memberi intelijen atau dukungan pengamanan jika situasi mengancam, tapi penindakan (misal penyitaan barang bukti atau penangkapan oknum) sebaiknya oleh polisi sesuai prosedur hukum. Dengan demikian, tindakan hukum tetap sah dan akuntabel, menghindari tudingan bahwa militer bertindak di luar kewenangan. Pemerintah bisa menerbitkan SOP gabungan TNI-Polri-BNPB untuk skenario pengamanan logistik agar masing-masing paham peran.

Transparansi dan Pelibatan Publik: Untuk mencegah kecurigaan, TNI hendaknya meningkatkan transparansi dalam penyaluran bantuan. Langkah Kolonel Ali Imran mengajak wartawan melihat langsung proses di Korem patut diapresiasi[14]. Ke depan, dokumentasi distribusi (foto/video saat bantuan disalurkan ke warga) sebaiknya selalu dibagikan ke publik melalui media. Pelibatan lembaga independen atau ormas kredibel sebagai pengawas distribusi juga bisa dipertimbangkan. Misalnya, mengundang tokoh masyarakat atau LSM kemanusiaan untuk memantau penyerahan bantuan. Dengan pengawasan multi-pihak, celah penyelewengan oleh oknum bisa ditekan tanpa perlu tindakan sepihak.

Penegasan Batas Wewenang lewat Regulasi Teknis: Meskipun UU 24/2007 tidak merinci peran TNI, hal ini bisa diatasi dengan peraturan turunan atau kesepakatan bersama. Pemerintah pusat (BNPB, Kemendagri, TNI, Polri) dapat menerbitkan protokol penanganan bencana yang mengatur tata cara pelibatan TNI. Misalnya, prosedur bahwa setiap pengerahan TNI dalam bencana di daerah harus atas permintaan Kepala Daerah/Gubernur melalui BNPB, kecuali dalam situasi khusus yang mengancam keamanan nasional. Di sisi lain, Panglima TNI bisa mengeluarkan petunjuk internal agar jajaran di daerah tidak melakukan inisiatif di luar komando posko. Penegasan ini akan menghindarkan ambiguitas di lapangan.

Evaluasi dan Sanksi jika Ada Pelanggaran: Penting bagi institusi terkait untuk melakukan evaluasi pasca-insiden. Bila ditemukan pelanggaran (contoh: oknum ormas terbukti menyelewengkan bantuan, atau oknum prajurit bertindak di luar perintah), harus ada sanksi tegas. Oknum ormas yang menjarah harus diproses hukum, sehingga menjadi pelajaran bagi lainnya. Sebaliknya, jika ada prajurit TNI yang bertindak berlebihan (misal arogan terhadap petugas sipil), pimpinan TNI harus memberikan tindakan disiplin. Ketegasan terhadap kedua sisi ini akan mengembalikan kepercayaan bahwa hukum ditegakkan adil.

Peningkatan Kapasitas Aparat Sipil: Salah satu akar masalah bisa jadi adalah kelemahan aparat sipil dalam menjaga bantuan, sehingga TNI merasa perlu turun tangan. Maka solusinya, tingkatkan kapasitas BPBD dan Polri di daerah dalam manajemen bantuan. Pemerintah Aceh dan pusat dapat mengalokasikan personel tambahan, pelatihan logistic management, dan peralatan keamanan (misal CCTV di gudang bantuan, penjatahan kartu bagi petugas distribusi) agar kemungkinan penjarahan berkurang. Sinergi TNI-Polri juga bisa ditingkatkan, misalnya menempatkan anggota Babinsa TNI bersama Bhabinkamtibmas Polri di posko desa untuk mengawasi penyaluran bantuan langsung ke warga. Dengan demikian, peran TNI tersalurkan pada pendampingan dan tenaga bantuan, bukan sebagai pengambil alih tugas polisi.

Penutup

Dalam penanggulangan bencana, keselamatan dan kesejahteraan korban adalah prioritas utama. TNI, dengan segala kemampuan dan sumber dayanya, merupakan aset berharga bagi bangsa dalam menghadapi situasi darurat. UU 34/2004 telah membuka ruang bagi TNI untuk berperan aktif secara humaniter, namun UU 24/2007 mengingatkan bahwa panglima tertinggi dalam urusan bencana adalah koordinasi sipil (BNPB/Pemda). Kasus di Aceh Utara memberikan pelajaran penting: niat baik saja tidak cukup, harus dibarengi cara bertindak yang tepat dan sesuai aturan.

TNI perlu memastikan setiap langkah di lapangan tidak melanggar prosedur atau mencederai kewenangan institusi lain. Sementara itu, aparat sipil mesti meningkatkan kecepatan, integritas, dan koordinasi agar mampu memimpin operasi kemanusiaan tanpa keraguan, sehingga tidak memberi celah kekhawatiran akan penyelewengan. Kritik publik terhadap TNI dalam kasus ini hendaknya dilihat secara proporsional dan dijadikan cermin perbaikan, bukan untuk melemahkan semangat prajurit membantu rakyat.

Ke depan, dengan penegasan aturan, koordinasi yang solid, dan saling percaya antar instansi, insiden tumpang tindih peran seperti di Aceh Utara dapat dicegah. TNI, BNPB, BPBD, Polri, dan unsur terkait semestinya satu frekuensi dalam misi kemanusiaan, saling mengisi sesuai tugas pokok masing-masing. Hanya dengan demikian, penanggulangan bencana dapat berlangsung efektif, akuntabel, dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Akhir kata, kesigapan TNI tetap dibutuhkan, namun harus berjalan beriringan dengan supremasi hukum dan koordinasi sipil demi kepentingan terbaik bagi para korban bencana.

Penulis:  Dr. Muhammad Ridwansyah, Anggota Tim Pembinaan dan Pelaksanaan MoU Helsinki Lembaga Wali Nanggroe 2025 dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI