Jum`at, 26 Desember 2025
Beranda / Berita / Aceh / Presiden Prabowo Diminta Tak Biarkan Benturan Rakyat dan Aparat

Presiden Prabowo Diminta Tak Biarkan Benturan Rakyat dan Aparat

Jum`at, 26 Desember 2025 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Aktivis sosial-politik muda Aceh yang juga Wakil Sekretaris Umum PKS Aceh, Ahmad Abdullah Rahil. Foto: Kolase Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Aceh - Aktivis sosial-politik muda Aceh yang juga Wakil Sekretaris Umum PKS Aceh, Ahmad Abdullah Rahil, menyoroti belum adanya penetapan status darurat bencana oleh pemerintah pusat di tengah dampak bencana yang kian berat dirasakan masyarakat Aceh.

Rahil menilai kondisi di lapangan menunjukkan bahwa bencana tidak hanya merusak infrastruktur, tetapi juga melumpuhkan kehidupan sosial dan ekonomi warga. Di sisi lain, kemampuan fiskal Pemerintah Aceh dinilainya sangat terbatas untuk menangani bencana berskala besar tanpa dukungan kebijakan tegas dari pemerintah pusat.

“Bencana ini skalanya tidak kecil. Tanpa komitmen tertulis dari pemerintah pusat, baik melalui regulasi, keputusan presiden, maupun penetapan status darurat, penanganannya akan terus berjalan setengah-setengah,” ujar Rahil.

Ia mengingatkan bahwa keresahan masyarakat kian memuncak ketika tuntutan atas kehadiran negara justru berujung pada bentrokan dengan aparat keamanan. Sejumlah insiden yang viral di media sosial, termasuk kehadiran aparat bersenjata laras panjang dan warga yang mengalami luka, disebut Rahil sebagai alarm serius bagi semua pihak.

“Di mata masyarakat, seolah-olah negara dalam hal ini Presiden Prabowo membiarkan rakyat berhadap-hadapan dengan aparat. Padahal aparat menjalankan tugas pengamanan. Pertanyaannya, mengapa harus membawa senjata laras panjang untuk menghadapi warga yang sedang menagih haknya?” katanya.

Menurut Rahil, situasi ini sangat sensitif mengingat Aceh memiliki sejarah panjang konflik. Pendekatan keamanan yang tidak dibarengi kejelasan kebijakan negara, kata dia, justru berpotensi memperbesar persoalan.

“Ini bukan soal menyalahkan aparat. Mereka bekerja dalam sebuah sistem. Namun ketika negara tidak hadir secara tegas melalui kebijakan, aparat berada di posisi paling rawan, sementara masyarakat merasa ditinggalkan,” ujarnya.

Rahil yang mengaku turun langsung sejak awal bencana bersama berbagai elemen kemanusiaan menyebutkan bahwa kegelisahan warga berangkat dari rasa tidak pasti dan kelelahan menghadapi kondisi darurat yang berkepanjangan.

“Aceh tidak membutuhkan simbol kehadiran negara. Aceh membutuhkan keputusan. Ketika negara absen dalam bentuk kebijakan, gesekan sosial menjadi sulit dihindari,” tegasnya.

Ia pun mengingatkan pemerintah pusat agar tidak menciptakan situasi yang seolah membenturkan masyarakat dengan aparat keamanan.

“Jangan sampai rakyat yang sedang tertimpa bencana justru merasa berhadapan dengan negara. Ini berbahaya bagi kepercayaan publik dan berisiko membuka luka lama dalam relasi Aceh dan Jakarta,” kata Rahil.

Di akhir pernyataannya, Rahil berharap pemerintah pusat segera mengambil langkah konkret dan tegas agar penanganan bencana di Aceh berlangsung adil, manusiawi, dan bermartabat.

“Negara harus hadir sepenuhnya. Untuk rakyatnya, dan juga untuk aparatnya,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI