Langkah Pusat Terhadap KKR Aceh Dinilai Cederai Perdamaian, KontraS: Jangan Abaikan Hak Korban
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna mengatakan bahwa baru dua puluh hari sejak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berjalan, sejumlah langkah kontroversial terkait impunitas muncul dan menimbulkan kekhawatiran berbagai kalangan, khususnya di Aceh.
Salah satu isu yang memicu reaksi keras adalah rekomendasi dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, yang menyarankan agar Pemerintah Aceh mencabut Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh.
Hal ini disebut sebagai upaya yang dapat menghambat proses pengungkapan kebenaran terkait pelanggaran HAM yang terjadi selama konflik di Aceh.
Azharul Husna, menilai bahwa langkah tersebut adalah bagian dari upaya sistematis untuk melanggengkan impunitas.
"Baru dua puluh hari rezim Prabowo berjalan, namun sudah ada indikasi kuat untuk menutup ruang keadilan dan kebenaran bagi korban pelanggaran HAM di Aceh, dimulai dari wacana pencabutan status Soeharto sebagai pelaku pelanggaran HAM hingga upaya memaksa penutupan kasus Munir, kini giliran KKR Aceh yang ingin 'diselesaikan' dengan cara yang bertentangan dengan semangat perdamaian," ujarnya kepada Dialeksis.com, Selasa (12/11/2024).
Surat dari Kemendagri yang dirilis pada 7 November 2024 menyarankan agar Pemerintah Aceh mempertimbangkan pencabutan Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 yang mengatur keberadaan KKR Aceh.
Dalam surat tersebut, Kemendagri berargumen bahwa berdasarkan Pasal 229 ayat (2) dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, KKR Aceh seharusnya menjadi bagian dari KKR Nasional yang diatur secara luas dalam perundang-undangan nasional.
Namun, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan dasar hukum KKR Nasional melalui putusan tahun 2006, sehingga keberadaan KKR Aceh dianggap tidak memiliki landasan hukum yang kuat di tingkat nasional.
Surat tersebut memicu kritik keras, terutama dari kalangan aktivis HAM di Aceh. Bagi Azharul, hal ini jelas merupakan upaya untuk menghapus sejarah dan menutup hak korban atas kebenaran dan pemulihan yang merupakan hak asasi mereka. Menurutnya, KKR Aceh tidak bergantung pada UU KKR Nasional.
"KKR Aceh lahir dari semangat perdamaian yang dituangkan dalam MoU Helsinki dan didukung oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Ini adalah komitmen suci untuk menghormati hak korban," tegasnya.
KKR Aceh dibentuk sebagai salah satu mekanisme keadilan transisi yang diberlakukan pasca-perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia pada tahun 2005.
Fungsi KKR Aceh tidak hanya mencakup rekonsiliasi, tetapi juga pengungkapan kebenaran serta rekomendasi bagi reparasi kepada korban.
Bagi Azharul, menghapus KKR Aceh berarti memutus mekanisme penting untuk mengungkapkan pelanggaran HAM di masa lalu.
"KKR Aceh bukan sekadar sarana rekonsiliasi. Ini adalah amanah dari MoU Helsinki yang membawa martabat dan hak korban dalam mencari kebenaran dan mendapatkan pemulihan. Jika KKR Aceh dicabut, ini sama saja dengan menutup pintu bagi kebenaran, memutus sejarah, dan menghalangi hak korban atas keadilan," tambahnya.
Ia menegaskan, jika dasar hukum KKR Aceh adalah KKR Nasional yang telah dicabut, maka KKR Aceh seharusnya tidak pernah berdiri sejak awal.
"Faktanya, Qanun KKR Aceh disahkan pada tahun 2013, jauh setelah KKR Nasional dicabut pada tahun 2007. Ini menunjukkan bahwa KKR Aceh memiliki legitimasi tersendiri dan tidak terikat dengan KKR Nasional," ujarnya.
Menurut Azharul, surat Kemendagri ini seakan menunjukkan sikap Pemerintah Pusat yang tidak menghargai peran KKR Aceh dalam menjaga perdamaian.
"KKR Aceh adalah anak kandung perdamaian Aceh. Usaha untuk menutup atau mencabut KKR Aceh sama dengan melukai kembali korban yang selama ini menanti keadilan," ungkapnya.
Ia mendesak Pemerintah Aceh agar menolak saran dari Dirjen Otda. Dalam hal ini, Pemerintah Aceh harus bersikap tegas dan tidak boleh membiarkan ini terjadi.
"Pemerintah Aceh harus menjawab surat ini dengan jelas, bahwa KKR Aceh adalah amanah dari perdamaian yang telah susah payah dicapai. Hak korban tidak boleh diabaikan hanya karena regulasi formal yang tak relevan," ujarnya.
Azharul pun mengingatkan bahwa keadilan dan kebenaran adalah hak asasi yang tidak boleh dilanggar.
“Mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM berhak mengetahui apa yang terjadi dan berhak mendapatkan pemulihan. Setiap upaya untuk menutup KKR Aceh berarti menolak hak-hak ini. Kami tidak akan tinggal diam jika hak korban diinjak-injak,” pungkasnya.[nh]
- Pemerintah Diminta Berikan Perlindungan bagi Pengungsi di Aceh Selatan
- KontraS Aceh: Rohingya Harus Dilindungi Sebagai Kelompok Rentan dan Teraniaya
- KontraS Aceh dan AJI Bahas Perspektif Humanis Terkait Pengungsi Rohingya di Aceh
- Ratifikasi Konvensi Internasional Penting untuk Lindungi Korban Penghilangan Paksa