Minggu, 21 Desember 2025
Beranda / Berita / Aceh / Krisis Listrik Pascabencana Menandakan Aceh Belum Mandiri Energi

Krisis Listrik Pascabencana Menandakan Aceh Belum Mandiri Energi

Sabtu, 20 Desember 2025 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Direktur Eksekutif Yayasan APEL GREEN ACEH, Rahmat Syukur. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Rentetan pemadaman listrik yang melanda hampir seluruh wilayah Aceh pascabencana banjir dan longsor menandakan Aceh belum mandiri secara energi.

Di tengah kondisi darurat yang seharusnya ditopang oleh sistem kelistrikan yang tangguh, masyarakat justru harus berhadapan dengan padamnya listrik berhari-hari di sejumlah daerah.

Direktur Eksekutif Yayasan APEL GREEN ACEH, Rahmat Syukur, menilai situasi ini bukan sekadar gangguan teknis, melainkan cerminan dari persoalan struktural dalam tata kelola energi di Aceh.

“Pemadaman listrik pascabencana ini menandakan bahwa Aceh belum mandiri listrik. Sistem kelistrikan kita masih sangat bergantung pada luar daerah,” ujar Rahmat Syukur kepada wartawan dialeksis.com, Sabtu (20/12/2025).

Ia menjelaskan, selama ini aliran listrik Aceh tidak sepenuhnya dikelola secara mandiri. Energi listrik dari Aceh harus dialirkan terlebih dahulu ke Pangkalan Brandan, Sumatera Utara, sebelum kemudian disalurkan kembali ke Aceh.

Hal ini disebabkan pusat penguatan tegangan tinggi (extra high voltage) hanya tersedia di Pangkalan Brandan, sementara Aceh belum memilikinya.

“Kondisi ini membuat Aceh sangat rentan. Ketika terjadi bencana alam di Aceh, Sumatera Utara, atau Sumatera Barat, sistem transmisi terganggu dan dampaknya langsung dirasakan masyarakat Aceh secara menyeluruh,” katanya.

Padahal, menurut Rahmat, Aceh memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar dan belum dimanfaatkan secara maksimal. Mulai dari energi surya, air, angin, hingga biomassa, semuanya tersedia melimpah di berbagai wilayah Aceh.

“Energi terbarukan seperti panel surya seharusnya menjadi solusi jangka panjang. Aceh kaya sumber daya alam, tapi ironisnya justru bergantung pada energi fosil dan jaringan luar daerah,” ujarnya.

Rahmat menekankan, transisi energi bukan hanya soal kemandirian listrik, tetapi juga bagian dari upaya mitigasi bencana.

Ia menilai ketergantungan pada energi fosil dan eksploitasi lingkungan berlebihan berkontribusi terhadap meningkatnya bencana banjir dan longsor yang kini kerap melanda Aceh.

“Transisi energi menuju energi terbarukan adalah solusi untuk dua masalah sekaligus, krisis listrik dan krisis lingkungan. Ini bukan wacana, tapi kebutuhan mendesak,” tegasnya.

Untuk keluar dari ketergantungan ini, Yayasan APEL GREEN ACEH mendesak Pemerintah Aceh, khususnya Gubernur Aceh, agar segera mengambil langkah strategis melalui kebijakan yang mengikat.

“Salah satu solusi konkret adalah Gubernur Aceh harus menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) atau bahkan Qanun Transisi Energi Aceh,” kata Rahmat.

Menurutnya, regulasi tersebut harus mengatur peta jalan pemanfaatan energi terbarukan, insentif bagi pengembangan panel surya dan energi bersih lainnya, serta penguatan infrastruktur kelistrikan di Aceh agar tidak lagi bergantung pada Pangkalan Brandan.

“Tanpa kebijakan yang kuat, Aceh akan terus berada dalam lingkaran krisis yang sama setiap kali bencana terjadi. Masyarakat selalu menjadi korban,” tambahnya.

Pemadaman listrik yang hampir merata di Aceh dalam beberapa hari terakhir telah mengganggu aktivitas masyarakat, layanan kesehatan, pendidikan, hingga roda ekonomi. Di sejumlah daerah, warga terpaksa bertahan tanpa listrik di tengah kondisi pascabencana yang serba terbatas.

Rahmat Syukur menegaskan, krisis ini seharusnya menjadi momentum refleksi bagi semua pihak untuk serius membangun kemandirian energi Aceh.

“Jika tidak ada perubahan kebijakan hari ini, maka krisis listrik akan terus berulang. Aceh tidak kekurangan sumber daya, yang kurang adalah keberanian politik untuk beralih ke energi yang lebih berkelanjutan,” pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
pema