kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Keterlambatan Alih Kelola Blok Migas Rugikan Aceh, DEM Tagih Hak Otonomi Energi

Keterlambatan Alih Kelola Blok Migas Rugikan Aceh, DEM Tagih Hak Otonomi Energi

Jum`at, 04 Oktober 2024 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Presiden DEM Aceh, Faizar Rianda. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Aceh kembali menyuarakan desakan mereka terkait alih kelola Blok Pertamina EP yang hingga kini masih tertunda. 

Proses yang seharusnya menjadi tonggak kemandirian energi Aceh tersebut belum mencapai titik final, meski harapan besar telah ditumpahkan ke Pemerintah Aceh. 

Presiden DEM Aceh, Faizar Rianda, menegaskan bahwa keterlambatan ini sudah di luar batas kewajaran dan perlu diselesaikan sesegera mungkin.

“Alih kelola ini adalah hak Aceh yang jelas diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh serta Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2015. Kita sudah terlalu lama menunggu, dan kini saatnya pemerintah bertindak,” ujar Faizar kepada Dialeksis.com, Jumat (4/10/2024).

Menurut Faizar, proses mediasi yang dimulai sejak tahun 2021 antara Pemerintah Aceh dan Pertamina EP masih terhenti di tahap akhir. 

Salah satu kendala utama adalah keengganan Pertamina EP untuk mematuhi mekanisme Carve Out, yakni prosedur yang seharusnya memisahkan wilayah kerja migas sesuai dengan peraturan yang berlaku. 

Sebaliknya, Pertamina EP justru mengusulkan penggabungan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) ke dalam struktur Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). 

Langkah ini dinilai bertentangan dengan mandat undang-undang yang mengatur otonomi khusus Aceh dalam pengelolaan sumber daya alam.

“Pengusulan penggabungan BPMA ke SKK Migas jelas melanggar semangat otonomi yang diberikan kepada Aceh. Ini bukan hanya masalah teknis, tetapi juga soal pengakuan hak-hak Aceh yang harus dihormati,” lanjut Faizar.

Pada Mei 2023, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengeluarkan Keputusan Menteri No. 257.K/MG.01/MEM.M/2023 yang menginstruksikan alih kelola sebagian wilayah kerja kepada BPMA melalui mekanisme Carve Out. 

Namun hingga kini, meskipun aspek teknis telah disepakati, keputusan final belum juga diambil, menciptakan ketidakpastian bagi semua pihak yang terlibat.

“Kita sudah berada di tahap akhir, tetapi keputusan final terus tertunda. Ini adalah cermin dari lambannya birokrasi yang merugikan Aceh,” kata Faizar.

Ketidakpastian ini semakin diperparah oleh gugatan dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) yang menuntut implementasi alih kelola sesuai dengan PP No. 23 Tahun 2015. 

Mereka mendesak agar kontrak kerja antara Pertamina, SKK Migas, dan BPMA segera dirampungkan sebelum tenggat waktu pada Desember 2023.

Selain itu, usulan dari Pertamina EP melalui afiliasinya, PT Pertamina Hulu Energi Aceh Darussalam, untuk mengelola wilayah kerja yang lebih kecil juga memerlukan persetujuan dari BPMA dan SKK Migas. Namun, hal ini tetap belum memberikan solusi konkret.

Faizar menekankan bahwa alih kelola ini bukan hanya soal kepentingan ekonomi, tetapi juga langkah strategis menuju kemandirian energi Aceh.

 “Setiap hari yang tertunda, kita kehilangan peluang besar, baik dari sisi investasi maupun kesejahteraan masyarakat Aceh. Ini soal kemandirian, bukan hanya tentang kepemilikan sumber daya migas," ujarnya.

Lapangan migas di Rantau, Kuala Simpang, dan Peurelak seharusnya sudah di bawah kendali BPMA sesuai dengan PP No. 23 Tahun 2015. 

Namun hingga kini, ketidakpastian terus berlangsung, bahkan diperburuk oleh aktivitas pengeboran ilegal yang merugikan Aceh secara ekonomi dan mengancam keselamatan.

“Bayangkan berapa banyak potensi yang hilang karena ketidakpastian ini. Selain itu, aktivitas ilegal yang terjadi di lapangan migas kita terus berlanjut, menambah risiko yang lebih besar,” ungkap Faizar.

Dewan Energi Mahasiswa Aceh menegaskan bahwa penandatanganan alih kelola ini adalah simbol komitmen pemerintah untuk memperjuangkan hak-hak energi Aceh. 

Faizar juga menekankan bahwa proses ini adalah pengakuan atas kekhususan yang dimiliki Aceh berdasarkan PP No. 23 Tahun 2015.

“Ini lebih dari sekadar pengalihan wilayah kerja, tetapi juga pengakuan atas hak-hak otonomi yang diberikan kepada Aceh. Pemerintah Aceh harus segera bertindak,” tambahnya.

Penundaan yang berlarut-larut, menurut Faizar, hanya akan memperbesar kerugian yang ditanggung masyarakat Aceh. 

Jika pemerintah dapat mempercepat proses alih kelola ini, Aceh bisa memanfaatkan sumber daya energi yang dimiliki untuk menciptakan masa depan yang lebih cerah dan mandiri.

“Kita sudah terlalu lama menunggu. Setiap penundaan hanya memperbesar kerugian, baik dari segi ekonomi, energi yang terbuang, hingga dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat. Saatnya bertindak cepat dan bijaksana,” tutup Faizar. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda