Selasa, 21 Oktober 2025
Beranda / Berita / Aceh / Akademisi USK: Masyarakat Aceh Harus Bangun Kesadaran Bersama Lawan Fenomena LGBT

Akademisi USK: Masyarakat Aceh Harus Bangun Kesadaran Bersama Lawan Fenomena LGBT

Senin, 20 Oktober 2025 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Akademisi dan dosen di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Basri Effendi. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Akademisi di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Basri Effendi menyampaikan pandangan tentang fenomena LGBT di Aceh. Baginya, isu ini bukan sekadar pelanggaran moral, tapi ancaman serius terhadap tatanan sosial dan keberlangsungan generasi manusia.

“Saya pikir ini memang persoalan kita bersama. Ini LGBT seperti fenomena gunung es. Yang tampak di permukaan itu sedikit, tapi yang di bawahnya jauh lebih besar,” ujar Basri saat dimintai tanggapan oleh media dialeksis.com, Senin (20/10/2025).

Ia menegaskan, Aceh sebagai daerah bersyariat Islam tidak boleh memandang remeh persoalan ini. Karena, kata Basri, salah satu tujuan utama syariah adalah hifz al-nafs, melindungi jiwa manusia. Dan larangan terhadap perilaku LGBT, menurutnya, lahir dari prinsip perlindungan itu.

“Kenapa Allah melarang LGBT, Karena ia merusak jiwa dan keturunan. Ketika banyak orang terjerumus ke perilaku itu, maka keturunan akan terputus. Seperti yang terjadi di Jepang, banyak yang tidak mau berketurunan,” katanya.

Ia menambahkan, dampak lain yang tak kalah berbahaya adalah meningkatnya risiko HIV dan penyakit sosial lainnya yang bisa berujung pada kepunahan umat manusia.

Basri memandang, persoalan LGBT tak bisa diselesaikan hanya dengan regulasi dan aparat penegak hukum. Ia menilai akar penanganannya justru terletak pada kesadaran masyarakat.

“LGBT ini sulit ditumpas tanpa kesadaran masyarakat. Karena ini bukan hanya masalah hukum, tapi juga kesadaran sosial. Kalau masyarakat diam, kemungkaran itu akan semakin besar,” katanya.

Basri kemudian mengenang masa mudanya saat menjadi ketua pemuda. Ia bercerita bagaimana dulu mereka melakukan razia terhadap pasangan muda-mudi yang berpacaran di tempat umum.

“Kalau pacaran mudah kita deteksi. Tapi kalau sesama jenis tinggal sekamar, tanpa laporan masyarakat, kita tidak tahu. Seperti kasus yang di Rukoh itu, bisa ditangkap karena laporan dari tetangga. Mereka sudah muak, baru dilapor,” tuturnya.

Dari situ, Basri menarik kesimpulan bahwa peran masyarakat adalah ujung tombak pencegahan. Ia menilai masyarakat Aceh perlu menghidupkan kembali rasa malu sosial yang dulu menjadi benteng kuat moral kampung.

“Ujung tombak pemberantasan maksiat itu di kampung, bukan di kepolisian. Polisi itu hanya ujung. Tapi kesadaran komunal itu inti. Karena orang Aceh itu lebih takut pada masyarakat daripada hukum,” ujarnya.

“Dulu kalau orang melanggar adat, efek sosialnya besar sekali. Bisa dijauhi, tidak diundang ke hajatan, bahkan sampai tidak dishalatkan. Itu bentuk sanksi sosial yang efektif," tambahnya.

Meski mengakui bahwa Aceh sudah memiliki perangkat hukum syariah yang relatif lengkap, Basri tetap menyoroti lemahnya penegakan di lapangan. Ia menyebut, implementasi hukum perlu diperkuat agar tidak berhenti di tataran simbolik.

“Regulasi kita sudah cukup kuat. Tapi penegakannya belum maksimal. Banyak yang masih formalitas,” katanya.

Menurut Basri, hukum syariah di Aceh seharusnya bukan sekadar atribut atau label, melainkan sistem nilai yang dihidupkan bersama-sama oleh masyarakat dan pemerintah.

Baginya, syariah bukan hanya teks, tapi praksis hidup--yang harus dijalankan dengan kesadaran, bukan semata ketakutan pada hukuman.

Ia mengatakan isu LGBT bukan tentang kebencian, tapi tentang perlindungan. Perlindungan terhadap jiwa, terhadap fitrah manusia, dan terhadap masa depan generasi.

“Ketika syariah melarang sesuatu, pasti ada maslahat di baliknya. Kalau kita hilangkan kesadaran itu, maka yang rusak bukan hanya moral, tapi juga masa depan anak cucu kita. Karena bangsa yang kehilangan rasa malu, kehilangan arah. Kesadaran komunal harus kita hidupkan lagi. Kalau masyarakatnya sadar, hukum tidak perlu keras-keras. Tapi kalau masyarakat diam, hukum pun tak lagi berdaya," tutupnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI