Jum`at, 26 Desember 2025
Beranda / Berita / Aceh / AJI Lhokseumawe Kecam Perampasan Ponsel Jurnalis oleh Oknum TNI di Aceh Utara

AJI Lhokseumawe Kecam Perampasan Ponsel Jurnalis oleh Oknum TNI di Aceh Utara

Kamis, 25 Desember 2025 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Aksi damai elemen sipil menuntut pusat untuk penetapan status darurat nasional di depan kantor bupati Aceh Utara, Lhoksukon. Foto: Kolase Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Aceh Utara - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Lhokseumawe mengecam keras tindakan arogansi, intimidasi, dan dugaan kekerasan yang dilakukan seorang anggota TNI berinisial Praka Junaidi terhadap jurnalis saat menjalankan tugas peliputan di Aceh Utara, Kamis (25/12/2025).

Peristiwa tersebut dialami Muhammad Fazil, Koordinator Divisi Advokasi AJI Kota Lhokseumawe, ketika meliput aksi damai di depan Kantor Bupati Aceh Utara, Landing, Lhoksukon. Aksi itu menuntut pemerintah pusat menetapkan status bencana nasional atas banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh.

Saat meliput, Fazil merekam dugaan tindakan represif aparat terhadap peserta aksi. Rekaman tersebut merupakan bagian dari kerja jurnalistik yang sah dan dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Namun, dalam proses peliputan, seorang anggota TNI mendatangi Fazil dan memaksanya menghapus video tersebut. Fazil telah menjelaskan bahwa rekaman itu belum dipublikasikan dan masih menjadi bagian dari kerja jurnalistik. Setelah itu, anggota TNI tersebut sempat meninggalkan lokasi.

Tidak lama berselang, Praka Junaidi kembali mendatangi Fazil dan secara paksa berupaya merampas telepon genggam miliknya. Upaya tersebut disertai ancaman akan melempar ponsel jika video tidak dihapus.

Ketua AJI Kota Lhokseumawe, Zikri Maulana, menilai tindakan tersebut sebagai bentuk intimidasi kasar dan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat bersenjata terhadap warga sipil, khususnya jurnalis.

“Tindakan pemaksaan ini menunjukkan ketidakpahaman aparat terhadap Undang-Undang Pers dan prinsip kebebasan berekspresi,” kata Zikri.

Dalam insiden tarik-menarik itu, telepon genggam milik Fazil mengalami kerusakan dan tidak dapat digunakan, sehingga menghambat kerja jurnalistik serta menimbulkan kerugian materiil. Meski demikian, rekaman video dilaporkan masih tersimpan di dalam perangkat.

Fazil juga menegaskan kepada Praka Junaidi bahwa dirinya adalah wartawan profesional yang bekerja berdasarkan Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, bukan konten kreator media sosial.

AJI Kota Lhokseumawe menyatakan, peristiwa tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap kebebasan pers. Mengacu pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, wartawan dilindungi hukum dalam menjalankan profesinya. Sementara Pasal 18 ayat (1) UU Pers mengatur sanksi pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah bagi siapa pun yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik.

AJI Kota Lhokseumawe menilai tindakan Praka Junaidi tidak hanya melanggar disiplin militer, tetapi juga bertentangan dengan prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan kebebasan pers. Aparat negara seharusnya melindungi warga dan pers, bukan justru menjadi ancaman.

Atas peristiwa tersebut, AJI Kota Lhokseumawe menuntut Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto dan Pangdam Iskandar Muda Mayor Jenderal TNI Joko Hadi Susilo untuk mengusut tuntas kasus ini dan menjatuhkan sanksi tegas kepada pelaku. Selain itu, AJI juga menuntut penggantian kerugian materiil akibat rusaknya alat kerja wartawan serta jaminan perlindungan dan keamanan bagi jurnalis yang bertugas di Aceh.

AJI menegaskan bahwa pers bukan musuh negara dan kerja jurnalistik bukan ancaman keamanan. “Jika aparat bersenjata alergi terhadap kamera wartawan, maka yang bermasalah bukan pers, melainkan mentalitas represif aparat itu sendiri,” tegas Zikri.

“Pers tidak boleh dibungkam. Kekerasan terhadap wartawan adalah kejahatan terhadap demokrasi,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI