DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Satu bulan pasca bencana banjir besar yang melanda berbagai wilayah di Aceh, refleksi terhadap perjalanan panjang daerah ini kembali mengemuka. Tepat pada 26 Desember 2025, Aceh tidak hanya memperingati 21 tahun tragedi tsunami 2004 dan 20 tahun perdamaian pasca MoU Helsinki, tetapi juga memasuki fase krusial pemulihan dari bencana alam terbaru yang dinilai berpotensi mengubah arah pertumbuhan ekonomi daerah.
Founder Saman Research Institute (SRI) sekaligus intelektual Aceh, Teuku Raja Muda D. Bentara, menilai banjir besar yang terjadi akhir tahun ini bukan sekadar bencana ekologis, melainkan sinyal awal terjadinya “reset” terhadap capaian ekonomi Aceh selama dua dekade terakhir.
Bentara menjelaskan, beberapa waktu lalu ia mengembangkan sebuah platform data ekonomi Aceh berbasis data 20 tahun terakhir. Platform tersebut memuat hampir 100 grafik interaktif yang menggambarkan perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh, baik di tingkat provinsi maupun seluruh 23 kabupaten/kota.
“Rentang data saya mulai dari tahun 2005, karena itu adalah titik nol Aceh pasca tsunami dan konflik. Tahun tersebut juga menjadi momentum damai melalui MoU Helsinki,” ujar Bentara kepada Dialeksis saat berdiskusi.
Namun, menurutnya, akhir tahun 2025 justru menghadirkan ironi sejarah. Dua puluh tahun setelah fase pemulihan besar-besaran, Aceh kembali dilanda bencana berskala masif. Data pra-banjir yang ia analisis menunjukkan fakta krusial: wilayah dengan tren pertumbuhan PDRB tertinggi selama 20 tahun terakhir justru merupakan daerah-daerah yang paling terdampak parah oleh banjir kali ini.
“Selama ini ekonomi Aceh tumbuh karena ditopang oleh wilayah-wilayah tersebut. Saat tsunami, daerah-daerah itu mampu menopang pemulihan. Sekarang kondisinya terbalik. Daerah penopang ekonomi justru lumpuh akibat bencana,” jelasnya.
Berdasarkan proyeksi awal yang disusun dari kalkulasi data dua dekade, Bentara memperkirakan pertumbuhan ekonomi Aceh berpotensi mengalami kontraksi sedalam pasca tsunami 2005.
Dalam skenario normal tanpa bencana tambahan, Aceh diproyeksikan baru akan mencapai titik keseimbangan ekonomi dengan tingkat kemiskinan setara rata-rata nasional pada sekitar tahun 2030.
Namun, banjir besar yang terjadi saat ini dinilai telah mematahkan tren positif tersebut.
“Bencana ini seolah mengembalikan Aceh ke titik start tahun 2005. Saat itu, pemulihan Aceh dibantu oleh lebih dari 900 lembaga nasional dan internasional, dengan dukungan talenta terbaik dari dalam dan luar negeri,” kata Bentara.
Ia menegaskan, situasi kali ini jauh berbeda. Jika pemulihan pasca tsunami dan konflik membutuhkan waktu sekitar 25 tahun untuk mendekati rata-rata nasional, maka dampak ‘reset’ akibat banjir saat ini berpotensi memerlukan waktu yang lebih panjang.
“Kecuali Pemerintah Pusat benar-benar menangani Aceh dengan keseriusan yang bahkan melampaui peran komunitas internasional pada 2005 - 2022, Aceh bisa membutuhkan lebih dari 30 tahun lagi untuk menyamai posisi daerah lain di Indonesia,” ujarnya.
Bentara menekankan, tanggal 26 Desember 2025 menjadi momen simbolik sekaligus peringatan keras. Hari tersebut menandai 21 tahun tsunami Aceh, satu bulan pasca banjir besar, dan dimulainya tahap ketiga masa tanggap darurat bencana banjir Aceh.
Di akhir pernyataannya, ia menyampaikan pesan reflektif sekaligus ajakan kolektif. Menurutnya, jika negara tidak hadir secara optimal, maka tanggung jawab moral pemulihan Aceh tidak bisa dihindari oleh masyarakatnya sendiri.
“Pilihan terakhir ada pada kita semua. Kita harus bekerja dua kali lebih keras dibanding daerah lain untuk memulihkan Aceh, jika tidak ingin tertinggal semakin jauh,” pungkas Teuku Raja Muda D. Bentara.