Beranda / Berita / Pojok Iqbal / GUBERNUR VERSUS PRESIDEN

GUBERNUR VERSUS PRESIDEN

Kamis, 26 November 2020 20:15 WIB

Font: Ukuran: - +

Lukisan "The Death of Julius Caesar" karya Vincenzo Camuccini (1771–1844). Koleksi Glasgow Museums. Foto: Ilustrasi


Dua hari terakhir ini saya memikirkan Tempo, media yang punya sejarah menarik dengan “kekuasaan-kekuasan” yang pernah berkuasa di Indonesia. Terakhir, Tempo dengan lancang mengompori rivalitas antara Anies Baswedan dengan Joko Widodo. Pertarungan tidak seimbang, antara Gubernur Jakarta yang levelnya kepala daerah berhadapan dengan Presiden sebagai kepala negara.

Saya membaca berita Tempo via Twitter, bertajuk "Minggu Pagi, Anies Baswedan Unggah Foto Baca Buku Bagaimana Demokrasi Mati." Ulasannya cukup provokatif. Kemudian buru-buru mengecek akun Twitternya Anies. Luar biasa! saya terbahak dengan caption empu foto yang sedang santai membaca buku sampul hitam tersebut. Ia hanya menulis singkat, "Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi." Hanya itu, tidak lebih dan tidak kurang. 

Saya harus mengucapkan terimakasih kepada Tempo. Berita itu membantu menyelesaikan tulisan "Gubernur vs Presiden" yang mangkrak sejak September 2018 di laptop. Ide topik ini berawal dari terpilihnya Anies dengan sentimen melawan pengaruh "Pusat Kekuasaan" yang dianggap memihak Ahok.

Ingatan saya lantas jatuh pada tulisan lama Goenawan Mohammad (GM) dalam kolom mingguannya di Majalah Tempo, di rubrik Catatan Pinggir berjudul "Etiopia" pada November 1984. GM menceritakan kisah konfrontasi seorang gubernur terhadap pemimpin tertinggi negara Etiophia. Menimbulkan inisiatif saya menuliskan hal yang sama, dengan wilayah geografi berbeda.

Kenapa tulisan itu mandek? Dikarenakan pertentangan Anies dan Jokowi sering bias, tidak pernah benar-benar jelas. Hingga akhirnya postingan Anies yang imajinatif, diulas oleh Tempo dengan gaya provokatif, membuat para buzzer bereaksi membalasnya agresif. Dan ide menyelesaikan tulisan singkat ini kembali aktif.

Ada kesamaan tertentu situasi yang terjadi di Etiophia saat itu dengan peristiwa terkini di Indonesia. Cerita dimulai pada Haile Selassie, pemimpin diktaktor Ethiopia dari tahun 1930 sampai tahun 1974. Ia berjuluk Kaisar, Negus atau Inkarnasi Tuhan oleh loyalisnya. Selassie memulai karir politiknya menjadi Gubernur Sidamo di usia muda, tahun 1907. Keunggulan intelektual serta visi pembangunan membuat masyarakat menyukainya.

Selassie mengorganisir perlawanan perebutan tahta pemimpin Etiophia pada tahun 1917, terjadi pergantian kepemimpinan dan ia diangkat menjadi putera mahkota. Sang Kaisar baru memerintah dengan cara yang buruk. Selassie yang progresif muncul menjadi idola kaum muda dan barisan pergerakan. Prestasi yang dilakukannya seperti mendaftarkan Etiophia sebagai anggota dari Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1923. Ia juga memiliki reputasi internasional, aktif mengunjungi negara-negara besar Eropa dalam pertemuan lobi-lobi khusus.

Takdir mengantarkan Selassie menduduki kursi penguasa tertinggi Etiopia pada tahun 1930. Mengakhiri pemerintahan otoriter sebelumnya yang menyebabkan penderitaan rakyat. Besar harapan masyarakat untuk melihat negara mereka berubah menjadi lebih baik, dan terbebas dari penindasan.

Setahun setelah naik tahta, Selassie memberlakukan konstitusi modern pertama Etiopia, salah satu bagian pentingnya, pembatasan kekuasaan parlemen. Konstitusi juga membatasi suksesi tahta hanya pada keturunan Haile Selassie, mengabaikan penolakan dari pangeran dinasti lainnya.

Selassie bertindak efektif selaku diktaktor baru. Ryszard Kapuscinski, jurnalis kenamaan Polandia, membocorkan fakta kelam dalam buku The Emperor: Downfall of a Autocrat (1978). Kapuscinski menwawancarai tokoh A1 istana, mengungkapkan majikan mereka mengelola kekuasaan dengan paranoid. Selassie bertemu para menterinya setiap hari untuk memastikan keadaan tetap dikendalikannya. Jika seorang menteri berprestasi, Selassie merebut nilai penghargaan atas kehormatan. Tapi jika kebijakan seorang menteri gagal, maka menteri tersebut yang disalahkan.

Soal gaya hidup, Selassie berlaku berlebihan layaknya kaisar zalim masa lampau. Film dokumenter yang dibuat oleh Jonathan Dimbleby, Ethiopia: The Unknown Famine mengungkapkan penderitaan masyarakat Ethiopia. Perbandingan gambar orang kelaparan dengan tayangan Haile Selassie sedang memberi makan daging untuk anjingnya sambil menyantap sampanye dan kaviar. Kejadian kontras dengan kematian hingga 300.000 rakyat akibat kelaparan.

Kekuasan Selassie terus berjalan, hingga akhirnya bertemu plot cerita baru. Aktor babak baru dalam kehidupan drama politik Selassie ialah Germane Neway, seorang diangkat olehnya menjadi Gubernur Wolayita pada akhir 1950-an. Dalam artikel ilmiah yang ditulis oleh Daniel Teferra - profesor ekonomi di University of Wiconsin-Whitewater, berjudul Ethiopia: Why Land Ownership Matters, Neway mulai memberikan tanah kepada para petani yang tidak memiliki tanah, membuat bangsawan Wolayita terancam dan mengadu pada Kaisar. 

Germame Neway yang merupakan intelektual lulusan kampus ternama di Amerika Serikat, dipanggil ke Istana dan Selassie bertanya mengapa dia membagikan tanah atas kemauannya sendiri. Germame menjawab, “Yang Mulia, ini karena saya adalah Gubernur.” Neway merasa benar karena bertindak sesuai tupoksi.

Tapi Selassie tidak senang dengan “pembangkangan,” karena berbeda dengan apa yang ia pikirkan. Pernah suatu ketika, seorang wartawan bertanya kepada Selassie kapan dia akan menerapkan program reformasi tanah. Kaisar menjawab singkat, “Jangan sekarang. Nanti kapan-kapan."

Kejengkelan Selassie semakin besar, karena Neway dinilai menimbulkan kegaduhan oleh sikapnya “yang tak biasa.” Bagaimana tidak, Neway melawan kelaziman masa itu dengan menolak menerima suap, jikapun terpaksa ia terima maka akan dia alihkan kepada kegiatan sosial dan pendidikan.

Neway dicopot dari jabatan, mungkin karena ada kelompok dalam lingkaran kekuasaan yang tugasnya hanya menjadi biang gosip dan fitnah. Neway tidak diam saja, ia melawan. Perlawanan di rezim diktaktor sama seperti memesan batu nisan atas yang bertulis nama si pembangkang. Neway mati pada tahun 1960. Terlepas dari  laporan ia “mati bunuh diri,” yang jelas kematian itu yang disebabkan oleh "perbedaan pikiran" terhadap kebijakan.

Buku How Democracies Die (2018) karangan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt yang dibaca oleh Gubernur Anies, viral dimana-mana sehingga membuat heboh jagat maya, punya kesamaan dengan kisah Neway versus Selassie. Plot cerita Anies versus Jokowi, sepertinya saja baru dimulai dengan terang. Meskipun, Anies-Jokowi pernah kepergok beberapa kesempatan punya kebijakan berbeda. Paling akhir, publik mengingat perbedaan pendapat keduanya dalam penangganan Covid-19 di Jakarta. Tidak mustahil akan terjadi banyak pertentangan serupa di masa mendatang.

Dalam cuitan akun pribadi Anies, ia tidak menjelaskan makna aktivitas intelektual (membaca buku) yang dilakukannya. Aksi penuh tafsiran simbolik ini kemudian dijelaskan oleh artikel Tempo, dengan mengutip resensi dari Googlebooks, menjelaskan kematian demokrasi dengan cara: karena kudeta atau mati dengan pelan-pelan. Kematian demokrasi bisa tanpa disadari ketika terjadi dalam tahapan selangkah demi selangkah, dengan terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah, dan penindasan total atas oposisi. Ketiga langkah itu sedang terjadi di seluruh dunia.

Bagi orang-orang yang punya frekuensi politik yang bagus (bukan golongan pemakan hoaks minim literasi), menganggap sindiran satire kelas tinggi ini ditujukan kepada Jokowi. Tidak terlepas dari penilaian kondisi demokrasi terkini di Indonesia yang memburuk.

Hasil penelitian The Economist Intelligence Unit (The EIU), dalam laporan penelitian bertajuk Democracy Index 2019: A Year of Democratic Setbacks and Popular Protest, mencatat indeks demokrasi Indonesia terus menurun sejak 2015. Nilai jelek didapat dalam tiga instrumen pengukuran: Partisipasi Politik; Budaya Politik; dan Kebebasan Sipil.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ikut menjadi pertimbangan segala prasangka. Penangkapan aktivis, cara meredam demonstrasi mahasiswa, pelarangan dan intimidasi terhadap kegiatan diskusi hingga pemakaian pasal-pasal karet dalam UU ITE terhadap pengkritik kebijakan pemerintah. Padanan masalah tersebut begitu menyatu dengan kenyataan seakan Anies membaca kondisi kematian demokrasi di Indonesia, dalam gimmick yang ia lakukan pagi minggu lalu.

Anies sedang mempersiapkan lajurnya sendiri menuju kekuasaan tertinggi di republik. Menampilkan peran protagonis, berusaha meraih simpati kalangan yang kecewa terhadap kekurangan pemerintahan berjalan. Anies memiliki kesamaan dengan Neway. Tapi kita hanya bisa menebak apakah akhir cerita juga akan sama tragisnya. Setidaknya kita masih lega, jarang sekali suksesi kekuasaan di negara ini berakhir berlumuran darah. Tapi sering kali, pemain politik di negara kita merasakan situasi yang lebih kejam, kematian berkali-kali dalam politik tanpa pendarahan.

Ada alasan juga meletakkan kata ‘Gubernur’ lebih dulu dalam judul “Gubernur vs Presiden.” Sesuai adat pencantuman jadwal pertandingan olahraga, tim tuan rumah lazimnya ditulis pertama. Dalam pertarungan ini, Anies Baswedan lah yang bertindak sebagai tuan rumah. Segala kegaduhan dan psywar yang melibatkan keduanya, merupakan panggung perang milik Anies. Tujuannya jelas, agenda politik 2024. Jokowi awalnya hanya menanggapi sekedarnya saja, walau makin lama semakin serius tanggapannya.

Bagaimana kelanjutan kisah Selassie? Neway memang terlebih dulu mati, namun kematian ini menjadi inspirasi rakyat untuk melawan rezim, hingga pada akhirnya rezim ini tumbang. Awal 1970-an, rezim Selassie digoyang dengan adanya kelaparan Wollo, kawasan timur laut Etiopia, dan menewaskan 80.000 orang Etiopia.

Diperparah dengan terjadinya pelanggaran HAM yang paling banyak dicatat pemenjaraan dan penyiksaan terhadap lawan politik, serta pembungkaman terhadap kritik. Mencetuskan revolusi di 1974, ke-Kaisaran Haile Selassie runtuh. Ia tewas setahun kemudian dengan catatan medis “gagal nafas.” Baru pada tahun 1994, pengadilan menghukum beberapa perwira atas dakwaan mencekik kaisar di atas ranjangnya.

Apakah kehidupan rakyat Etiophia menjadi lebih baik dengan keruntuhan Sang Kaisar? Tidak. Pengganti Selassie, rezim junta militer yang disebut “Dergue” menerapkan pemerintahan komunis penindas yang brutal. Kehidupan di bawah Dergue, bagi banyak orang, lebih buruk daripada hidup di bawah Selassie. Sebagian rakyat Etiophia mengenang keadaan yang lebih lapang masa Selassie, membandingkan perlakuan buruk era Dergue. Manusia punya kebiasaan buruk berkala, penyesalan berulang akan masa lalu. Bahkan jika Neway masih hidup dan memimpin, belum ada jaminan garansi siklus otoritarian atau kesewenang-wenangan tidak berulang. Kadangkala, revolusi itu tidak lebih dari menumbangkan diktaktor lama, dan menggantikannya dengan seorang tiran penindas yang baru.

Iqbal Ahmady M Daud

Pengajar Ilmu Politik FISIP UNSYIAH, Penyuka kopi sanger Solong Ulee Kareng

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda