DIALEKSIS.COM | Opini - Bencana hidrometeorologi yang melanda tiga wilayah strategis di Pulau Sumatera, Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Padang (Sumatera Barat) pada akhir November 2025 bukan lagi sekadar peristiwa alam lokal. Rangkaian banjir bandang dan tanah longsor ini telah berkembang menjadi sebuah musibah nasional dengan dampak multidimensi: korban jiwa yang besar, kerusakan infrastruktur kritis secara masif, isolasi wilayah luas, gangguan ekonomi regional, dan penderitaan manusiawi yang mendalam.
Banjir bandang yang menggulung Aceh meninggalkan luka yang sangat dalam. Lebih dari 100 jiwa saudara kita meninggal, ratusan ribu mengungsi, desa hilang, jembatan putus, dan isolasi total melanda beberapa wilayah. Ini bukan sekadar musibah alam biasa; ini adalah muḥāsabah (evaluasi diri) kolosal dari Sang Pencipta kepada segenap anak negeri, khususnya kepada kita di Serambi Makkah yang mengemban amanah sebagai daerah yang menerapkan Syariah Islam secara kaffah.
Aceh memiliki sejarah gemilang. Para pendahulu kita, dari Sultan Iskandar Muda hingga para ulama dan punggawa kerajaan, bukan hanya pahlawan di medan perang, tetapi juga arsitek peradaban yang harmoni dengan alam. Mereka memahami bahwa memakmurkan bumi (‘imārat al-ardl) adalah bagian dari ibadah. Hutan rimba disematkan gelar "Hutan Keramat" atau "Hutan Tuha", dijaga karena fungsinya sebagai penjaga tata air, bukan semata karena kayunya. Nilai-nilai syariat yang ditegakkan selalu beriringan dengan hifzhul bi‘ah (menjaga lingkungan), yang merupakan bagian dari maqashid syariah: menjaga jiwa (nafs), harta (mal), dan keturunan (nasl). Banjir bandang ini, yang diperparah kayu gelondongan hasil balakan liar, adalah cermin betapa kita telah jauh melenceng dari warisan luhur itu. Kita mungkin masih teguh dalam ibadah mahdhah, tetapi kerap lalai dalam ibadah muamalah yang meliputi pengelolaan alam.
Riset ilmiah dari University of Göttingen, IPB, dan BMKG mengungkap fakta pahit: banjir adalah akibat langsung dari perubahan guna lahan masif, pemadatan tanah untuk monokultur, dan pembalakan liar. Ini adalah bentuk kerusakan di muka bumi (fasād fil ardl) yang secara tegas dilarang dalam Al-Qur’an (QS. Al-A’raf: 56).
Eksploitasi alam berlebihan (isrāf) yang mengabaikan kemaslahatan umat dan kelestarian, adalah tindakan dzalim. Bencana ini adalah konsekuensi ekologis dari sistem yang dzalim terhadap lingkungan. Ketika tanah dihutankan, ia kehilangan fungsi fithri-nya sebagai penyerap air; ia menjadi tandus, padahal Allah SWT berfirman, "Dan Kami menurunkan air dari langit dengan suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan pasti Kami berkuasa melenyapkannya." (QS. Al-Mu’minun: 18). Ukuran dan keseimbangan (mīzān) itulah yang telah kita langgar.
Lantas, bagaimana Aceh bangkit?
Pertama, bangkit dalam taubat kolektif. Bencana harus dibaca sebagai ayat kauniyyah (tanda-tanda kebesaran Allah di alam) yang memanggil kita untuk kembali kepada fitrah sebagai khalīfah fil ardl. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dan seluruh lapisan masyarakat perlu menggiatkan muhasabah publik. Bukan untuk saling menyalahkan, tetapi untuk mengakui kegagalan kolektif dalam menjaga amanah alam, serta berkomitmen pada perubahan. Upaya tanggap darurat dan penyelamatan jiwa adalah farḍu kifāyah yang menjadi prioritas utama, dan alhamdulillah telah dijalankan dengan penuh pengorbanan.
Kedua, bangkit dengan ijtihad ekologis. Penerapan Syariah Islam kaffah harus melampaui hukum pidana dan menancap kuat dalam pembangunan berkelanjutan. MPU bersama para ahli dapat merumuskan fatwa atau qanun bernuansa ekologi yang konkret: moratorium tebang hutan di daerah tangkapan air (ḥimā), kewajiban reboisasi (ihyā al-mawāt) sebagai pengganti denda, dan insentif bagi pertanian agroforestri yang menyerupai ekosistem hutan. Konsep ḥarīm (larangan) sungai dan mata air harus dihidupkan kembali, tidak hanya secara spiritual, tetapi juga dalam tata ruang fisik. Dana Keistimewaan Aceh dan dana otonomi khusus harus dialokasikan besar-besaran untuk restorasi ekosistem sebagai bentuk jihad pembangunan zaman now.
Ketiga, bangkit dengan solidaritas Islami yang nyata. Jejaring dayah, masjid, dan lembaga zakat harus menjadi tulang punggung pemulihan sosial-ekonomi. Pengelolaan zakat, infaq, dan sedekah (ZIS) harus dioptimalkan tidak hanya untuk bantuan konsumtif, tetapi untuk program livelihood berkelanjutan, seperti membiayai petani beralih ke sistem pertanian yang ramah lingkungan. Dayah-dayah, sebagai pusat penjaga ilmu, dapat mengintegrasikan pendidikan ekologi Islami dalam kurikulumnya.
Keempat, bangkit dengan kearifan dan ketegasan. Pemerintah Aceh harus berani meninjau ulang dan mencabut izin-izin usaha yang terbukti merusak DAS, meskipun nilainya besar. Penegakan hukum terhadap pembalakan liar harus tanpa kompromi, karena ia adalah baghy (kejahatan) yang merugikan seluruh masyarakat. Di sisi lain, kearifan lokal seperti Panglima Laot di pesisir atau Pawang Glee di hutan harus diangkat sebagai mitra pemerintah dalam pengawasan dan pemulihan lingkungan.
Aceh pernah bangkit dari kehancuran gempa dan tsunami 2004 dengan keteguhan iman. Kini, ujian datang dalam bentuk air yang menggulung. Bangkit kali ini berarti menjadi pelopor dalam menyelaraskan Syariah dengan keberlanjutan ekologi. Kita harus membuktikan bahwa Aceh yang Syar’i bukanlah Aceh yang tertinggal dan eksploitatif, melainkan Aceh yang maju, adil, dan menjadi rahmatan lil ‘ālamīn, termasuk bagi alam semesta.
Bencana mematikan listrik, tapi jangan sampai memadamkan "listik" akal dan iman kita untuk belajar, memperbaiki, dan menjaga warisan tanah endatu yang telah dirawat dengan nilai-nilai Islam.
Allah SWT berfirman, "Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya." (QS. Ath-Thalaq: 2-3). Ketakwaan kita hari ini harus mencakup ketakwaan dalam mengelola gunung, hutan, dan sungai. Dengan itu, kita percaya jalan keluar dan keberkahan rezeki akan Allah turunkan untuk Aceh yang bangkit, Aceh yang Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur.
Semoga!! [**]
Penulis: Prof. Dr. Apridar, S.E., M.Si (Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh)